Selasa, 04 Maret 2008

PARADOKS EKONOMI

Oleh: Imam Nashirudin, SE., Ak., MM


Buntut penutupan usaha di berbagai tempat di Indonesia terasa makin getir. Karyawan yang di PHK bertebaran. Beban hidup yang dirasakanpun makin bertambah berat. “Jaman susah begini, kenyang urusan belakangan yang penting perut terisi,” kata sholihin, korban PHK yang kini jadi tukang ojek. Maka, sudah beberapa bulan ini, makan siangnya kerap diisi dengan ubi atau singkong rebus.

Kondisi ekonomi katanya membaik, rupiah stabil bahkan menguat, inflasi turun dan IHSG naik. Tapi kenapa hidup tetap saja terasa berat. Apanya yang salah? Apakah data-data yang dipakai sebagai dasar untuk membuat statemen oleh para ekonom itu salah? Apa tidak salah kalau para pengamat memberikan pernyataan-pernyataan tentang kondisi ekonomi kita yang sudah baik, sehingga tidak lama lagi pabrik-pabrik akan bekerja kembali, lapangan kerja akan terbuka dan daya beli akan meningkat. Apa statemen-statemen itu benar dan layak untuk dipercaya?

Kita tidak dapat menyalahkan para pengamat, Kalau kemudian angka absolutnya kemiskinan meningkat dan pengangguran bertambah, itu urusan lain, karena para ekonom memang begitu. Yang dia sebutkan satuan-satuan ekonomi, yang kalau mengecil minusnya dianggap membaik, dan begitu sebaliknya, kalau angka minusnya bertambah besar, maka ekonomi dianggap memburuk. Memang ada perbedaan antara bahasa yang biasa dipakai oleh para ekonom dengan apa yang dirasakan oleh rakyat banyak, terutama yang miskin. Kita mesti tahu, bahasa yang dipakai oleh para pengamat adalah bahasa, sesuai dengan yang diperoleh dari bangku kuliah. Kata-kata yang disampaikan oleh para pengamat bukanlah nilai absolutnya, tetapi trend-nya.

Misalnya, stabilitas dan menguatnya nilai rupiah. Dengan menguatnya rupiah, banyak yang berpendapat bahwa titik terendah sudah terlewati dan ekonomi akan bangkit kembali. Apakah benar selalu demikian gambarannya? Kalau penguatan itu didasarkan atas membaiknya fundamental ekonomi, itu benar. Tapi bisa juga menguatnya nilai rupiah disebabkan oleh factor-faktor lain. Seperti, implikasi penetapan bunga yang tinggi oleh pemerintah. Bunga yang tinggi akan menggiurkan pemegang dollar untuk memasukkan uangnya ke Indonesia dan ditanamkan dalam bentuk rupiah. Mari kita berhitung betapa menariknya suku bunga tinggi. Bila kita punya uang 100.000 dollar AS didepositokan di luar negeri dengan bunga 5% per tahun, maka bunganya 5.000 dollar AS. Kalau uang itu dirupiahkan dengan kurs Rp 10.000,- per dollar AS misalnya, menjadi 1 milyar rupiah. Dengan bunga 15% setahun, hasilnya Rp 150 juta atau senilai 15.000 dollar AS. Berarti, 3kali lipat daripada deposito di luar negeri.
Menariknya penempatan uang dalam deposito rupiah jelas membuat permintaan rupiah meningkat. Maka, sesuai dengan hukum permintaan, bilamana permintaan naik dan jumlah barang yang diminta tetap, maka nilainya akan naik. Sehingga permintaan tersebut akan menguatkan nilai rupiah.. Faktor yang melandasinya? Yakni, suku bunga yang tinggi.

Faktor lain, kenyataan bahwa penerimaan nasional tidak cukup untuk membiayai APBN. Untuk menutup kekurangan tersebut, pemerintah berutang ke luar negeri dalam bentuk dollar. Untuk biaya sehari-hari pemerintah harus menjual dollar. Jadi pasokan dollar meningkat dan permintaan rupiah bertambah.
Factor eksternal, yakni melemahnya dollar AS terhadap mata uang lainnya di dunia. Sebab, kalau nilai rupiah terhadap dollar tidak ikut menguat, akan terjadi arbitrase valuta. Jadi bukan pencerminan dari menguatnya fundamen ekonomi Indonesia, melainkan pencerminan dari melemahnya dollar AS.

Apa artinya inflasi tahun lalu 10 % dan sekarang 5% ? Artinya, kalau harga barang pada awal tahun 2005 Rp 10.000,- maka pada akhir tahun menjadi Rp 11.000,0 dan akan meningkat lagi pada saat ini menjadi Rp 11.000,- ditambah dengan 5% atau Rp 11.550,-.
Lho? Harga masih meningkat kok dikatakan sudah bagus? Inilah paradoks antara ekonom dengan perut. Ekonom mengatakan membaik, tetapi perut rakyat justru bertambah lapar.
Itu tadi belum memperhatikan pendapatannya. Kalau pendapatan dianggap tetap besarnya, perut menjadi bertambah lapar.

Bercerita tentang perut dan lapar, penulis teringat dengan penggemblengan yang dilakukan oleh sebuah perguruan silat di jawa tengah. Untuk mencapai tingkat tertentu dalam ilmu yang didalaminya, seorang murid harus digembleng dengan menahan lapar atau ngrowot, puasa hanya dengan makan umbi-umbian rebus atau ngalong, puasa hanya makan buah-buahan selama 21 hari. Jika mau mutih, makan nasi putih saja.
Mereka harus mampu mengenali diri sendiri, dan berlanjut dengan memahami sinyal-sinyal dari alam. Jika ngrowot sudah rampung, diteruskan ngebleng, tidak makan dan minum plus tidak tidur selama 72 jam. Rasa bosan , capek, ngantuk dan lapar harus ditekan sampai sirna.

Konon seseorang yang sedang menjalani laku penggemblengan akan mengalami perjalanan spiritual yang luar biasa. Di kamar yang gelap ia bisa melihat aneka cahaya silih berganti. Dan kamar itu bau wewangian yang khas, tapi bukan parfum. Ngrowot dan makan siang tukang ojek sholihin, yang korban PHK, sama: umbi-umbian. Namun, karena beda tujuan dan caranya, hasilnya pun jadi lain

Tidak ada komentar: