Senin, 17 Maret 2008

Menggali Potensi Penerimaan Negara dari Zakat sebagai Solusi Pengentasan Kemiskinan. Mungkinkah?

Oleh: Kartika Sari


Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) meminta DPR menjadikan zakat sebagai pengurang pajak karena zakat dapat berperan dalam pengentasan kemiskinan. Karena itu, DPR diminta untuk segera mengamandemen UU Pajak Penghasilan (PPh).
Saat ini zakat baru ditetapkan sebagai pengurang penghasilan kena pajak (PKP) dan bukan sebagai pengurang langsung atas pajak. Hal tersebut berdasarkan UU No 17 tahun 2000 tentang amandemen atas UU No 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan (PPh) dan UU No 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Kebijakan tersebut dinilai tidak berdampak besar terhadap perkembangan zakat di Indonesia.

Akhir-akhir ini, berkembang aspirasi untuk mengamandemen UU No. 38/ 1999 dan revisi UU No. 17 tahun 2000 yang sedang dalam pembahasan. Berbagai usulan telah disampaikan agar pembayaran zakat mengurangi kewajiban pajak (tax deductable).
Keinginan tersebut sama sekali bukan tanpa dasar. Di negara-negara Amerika dan Eropa, donasi yang dikeluarkan perseorangan atau perusahaan diterima pemerintah sebagai bagian pembayaran pajak. Di Malaysia, zakat yang dibayarkan telah diakui sebagai pengurang pajak.

Zakat memiliki peran sosial sama seperti pajak. Termasuk berperan pengentasan kemiskinan. Karena itu, zakat sudah selayaknya menjadi pengurang pajak agar masyarakat termotivasi untuk membayar zakat. Dengan demikian, zakat sebagai pengentas kemiskinan dapat berkembang pesat di Indonesia.
Ketua I Baznas, Eri Sudewo juga mengungkap hal serupa. Bila pajak dapat dijadikan sebagai pengurang pajak, maka zakat dapat menjadi instrumen pendukung program pemerintah. Hal tersebut dilakukan dengan mendorong pengelolaan pajak untuk kepentingan infrastruktur non sosial. Sedangkan, zakat untuk pengelolaan sosial. `’Jadi, zakat dikelola untuk kepentingan sosial pengentas kemiskinan dan bencana. Sedangkan, pajak digunakan untuk membangun infrastruktur. Saya kira konsep ini cukup tepat,” katanya.

Penanganan kemiskinan dengan mendorong perkembangan zakat lebih baik dibandingkan dengan berutang ke luar negeri. Namun, saat ini, pemerintah memilih menangani persoalan kemiskinan di Indonesia dengan mencari utang luar negeri.
Berdasarkan hasil pengkajian Baznas, potensi zakat profesi satu tahun di Indonesia bisa mencapai sekitar Rp 32 triliun. Kalau potensi dana zakat tersebut disadari pemerintah dan dikelola dengan baik, maka permasalahan kemiskinan di Indonesia dapat diatasi dengan segera tanpa harus berutang.
Dualisme kewajiban pajak dan zakat tersebut telah dikompromikan dengan Undang-undang nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat dan Undang-undang nomor 17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan, dengan mengakui zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak.

Sayangnya, karena zakat hanya diakui sebagai biaya, maka dampak bagi kewajiban pajak masih relatif kecil. Sehingga regulasi tersebut belum cukup efektif untuk meningkatkan pajak maupun zakat. Lain halnya jika pembayaran zakat mengurangi kewajiban pajak, hilangnya kewajiban ganda itu tentu sangat melegakan umat Islam.
Ada kekhawatiran pada sebagian kalangan, bila zakat mengurangi pajak, maka perolehan pajak akan berkurang. Kekhawatiran tersebut tidaklah beralasan. Penerimaan zakat tidak akan banyak mengurangi penerimaan pajak.
Fakta empiris membantah kekhawatiran tersebut. Data penerimaan zakat dan pajak di Malaysia selama tahun 2001-2006, terlihat bahwa peningkatan zakat ternyata seiring dengan peningkatan pajak. Artinya saat zakat mengurangi pajak, maka penerimaan zakat dan pajak justru meningkat.
Beranikah kita mencontohnya?
Di negara serumpun, Malaysia, realisasi pengelolaan zakat oleh negara bukan basa-basi. Hasilnya sangat signifikan. Di Malaysia, pendapatan zakat dan pajak mengalami peningkatan pasca penerapan kebijakan zakat sebagai pengurang pajak. Ternyata, dana pajak yang dikumpulkan tidak mengalami penurunan. Dalam laporan Kementerian Keuangan Malaysia 2006 dan Laporan Pusat Pungutan Zakat Malaysia 2006, terungkap bahwa pendapatan pajak dan zakat memiliki korelasi positif. Ustadz Didin mengambil contoh, pada tahun 2001 pendapatan zakat sebesar 321 juta ringgit dan pendapatan pajak berkisar pada angka 79,57 milyar ringgit. Tahun berikutnya, pendapatan zakat naik menjadi 374 juta ringgit. Demikian pula dengan pendapatan pajak yang naik menjadi 83,52 milyar ringgit. Pada tahun 2005, pendapatan zakat telah mencapai angka 573 juta ringgit, sedangkan pajak 106,3 milyar ringgit. Dengan demikian, prosentase pendapatan zakat terhadap pajak relatif konstan, yaitu berkisar antara 0,4% (2001) hingga 0,54% (2005), tegasnya.
Prof. Dr. H. Didin Hafidhuddin, Ketua BAZNAS, mengatakan bahwa UUD Pasal 34 telah mengamanatkan kepada negara untuk memperhatikan dan mengangkat nasib fakir miskin, akan tetapi hingga kini menurut beliau belum ada UU khusus yang berbicara pengentasan kemiskinan. Oleh karena itu menurut Ustadz Didin, sangatlah tepat jika zakat dijadikan instrumen oleh negara dalam mengurangi angka kemiskinan. Disinilah relefansi usulan agar zakat dapat mengurangi pajak, bukan hanya sekadar pengurang penghasilan kena pajak, berdasarkan UU No. 17 tahun 2000 dan UU No. 38 tahun 1999.
Perlu juga disadari bahwa sesungguhnya antara UU no 17/2000 dan UU No 38/1999 tidaklah konsisten. Sebab seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa didalam UU No 17/2000 dinyatakan bahwa yang dapat dikurangkan atas penghasilan kena pajak hanyalah zakat penghasilan (zakat profesi). Padahal pada saat yang sama di dalam UU No 38/1999 disebutakan bahwa zakat (tanpa ada embel−embel atas penghasilan) dapat dikurangkan atas penghasilan kena pajak. Sementara sangat jelas bahwa yang dimaksud zakat di dalam UU No 38/1999 adalah semua harta yang wajib disisihkan oleh kaum muslimin sesuai dengan ketentuan agama, yang terdiri atas ; emas, perak, dan uang ; perdagangan dan perusahaan; hasil pertanian; hasil perkebunan; hasil pertambangan; hasil peternakan; hasil pendapatan dan jasa; serta rikaz.
Hal lain yang patut disayangkan, bahwa UU Zakat tidak menetapkan sanksi yang seimbang antara pengelola dan muzaki.Dikatakan dalam UU No 38 / 1999 pengelola zakat yang terbukti lalai tidak mencatat atau mencatat secara tidak benar harta zakat, infak, sedekah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat, diancam hukuman kurungan selama−lamanya tiga bulan dan atau denda sebanyak−banyaknya Rp 30 juta. Idealnya, sanksi hukum tidak hanya dikenakan kepada pengelola zakat saja, tapi juga kepada muzaki yang tidak melaksanakan kewajibannya.
Bicara zakat di Indonesia, agaknya tertakdir kisruh. Guratan sejarah tak bisa ditepis, profesionalitas pengelolaan zakat dimulai dari masyarakat. LAZ bangkit karena negara tak mau tahu soal zakat. Diakui atau tidak, UU 38 tahun 1999 diilhami maraknya LAZ. Namun hadirnya UU itu, agaknya disemangati memangkas LAZ. Saat Jusuf Kalla menjabat Menko Kesra di era Gus Dur, ia tak sepakat zakat dikelola negara. Hal senada diulang ketika Munas FOZ di Balikpapan tahun 2003. Alasannya sederhana, dia tak percaya.
Sepekan menjelang tutup Ramadhan 1427 H, Presiden SBY tunaikan zakat via Baznas. Esoknya Wapres RI juga bayar zakat. Namun JK tetap konsisten dengan opininya. Zakatnya tak ditunaikan di lembaga bentukan pemerintah. JK punya postulat sendiri, yang pilihannya jatuh pada LAZ NU (Nahdatul Ulama).
Sebagian pejabat yang berwenang di zakat, meyakini bahwa soal zakat di Indonesia bersumber pada UU 38 tahun 1999. Namun bagi arsitek UU, pengelolaan zakat belum menjalankan petuah UU. Jika ditilik dari isi UU itu, ada dugaan terjadi pemaksaan multiperan di satu tubuh. Baznas dipaksa punya tiga peran: regulator operasional, pengawas, dan sekaligus berfungsi sebagai operator. Mustahil bisa diraih kinerja terbaik, jika pengatur laku berperan juga sebagai pengawas dan bahkan jadi pemain.
Sudah berkali-kali kelembagaan zakat diadvokasi untuk dibenahi. Ada tiga alternatif yang digagas. Pertama, jika pemerintah sungguh-sungguh, bentuk segera kementerian zakat dan wakaf. Agar efisien dan efektif, pilih kementerian non-departemen. Mintalah bantuan Ditjen Pajak sebagai gerai penghimpunan zakat di seluruh Indonesia. Syaratnya, dengan terpaksa Baznas ditutup, agar tak terjadi dualisme manajemen dan komando.
Alternatif kedua, bentuk Ditjen Zakat sederajat dengan Ditjen Pajak. Agar zakat bisa mengurangi pajak, Ditjen Zakat ditempatkan di Depkeu. Karena tugasnya hanya menghimpun dana, maka pendayagunaan zakat mesti melibatkan BAZ kabupaten/kota dan LAZ. Alternatif ketiga, jika ditjen sulit dibentuk, saatnya Baznas diprofesionalkan. Ihlaskan Baznas independen di bawah presiden atau wapres.
Dana zakat yang terhimpun dimasukkan ke dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan penggunaan PNBP dana zakat sesuai dengan prosedur penggunanaan PNBP. Dalam penyaluran dana zakat disesuaikan dengan Alquran dan Sunnah Rosul, yang ditetapkan dalam suatu peraturan dari pemerintah. Selain itu, yang tak bisa ditawar-tawar lagi adalah SDM pengelolanya haruslah handal, berkualitas, amanah, dan memiliki kafa’ah (kapabilitas) syari’ah dan manajamen zakat tentunya. Oleh karena itu, SDM yang selama ini mengelola BAZ dan LAZ dengan amanah dan profesional, harus dilibatkan, tentunya setelah melalui proses fit and proper test yang ketat. Dengan demikian diharapkan, jika zakat dikelola ‘satu pintu’ oleh negara oleh SDM profesional dan amanah, selain lebih ‘yunnah’ juga insya Allah akan lebih multimanfaat bagi ummat.
Apabila yang diinginkan Baznaz dikabulkan pemerintah, yaitu zakat sebagai pengurang pajak. Dilanjutkan dengan pengelolaan dana zakat yang transparan dan profesional maka itu adalah kemajuan yang hebat. Umat Islam tidak ragu-ragu menunaikan zakatnya melalui lembaga resmi pemerintah. Dan saya yakin, dana zakat yang terhimpun akan optimal, dan sangatlah tepat jika zakat dijadikan instrumen oleh negara dalam mengurangi angka kemiskinan.
Karena seiring dengan kekuatan yang besar, datang tanggungjawab yang besar.

Penulis adalah seorang dosen dan tinggal di Jakarta

Tidak ada komentar: