Rabu, 16 Juli 2014

Ultimum Remedium dalam Penegakan Hukum Pajak

Oleh: Imam Nashirudin




Ultimum Remedium merupakan salah satu azas yang terdapat didalam hukum pidana kita yang menyatakan bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakan hukum. Hal ini mempunyai makna apabila suatu tindak pidana dapat diselesaikan melalui jalur lain hendaklah jalan tersebut terlebih dahulu dilalui. Jalan lain yang dimaksud adalah penyelesaian secara kekeluargaan, negosiasi, mediasi perdata ataupun hukum administrasi.
Ditjend Pajak Sebagai institusi yang diberi tugas untuk mengamankan penerimaan negara dari sektor pajak, yang peranannya mencapai 70% di APBN diberi kewenangan untuk melakukan berbagai langkah atau upaya guna mengamankan target penerimaan negara dari sektor pajak. Langkah langkah yang  ditempuh aparatur pajak diatur dalam Undang Undang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP), Undang Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), Undang Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) dan aturan aturan turunan lainnya seperti Peraturan pemerintah Pengganti Undang Undang  (Perpu), Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Menteri Keuangan (KMK) dan lain lain.Upaya upaya tersebut antara lain melalui himbauan, pemeriksaan, penagihan, penagihan dengan surat paksa, pemblokiran rekening, penyitaan asset, pencekalan hingga upaya pidana. Yang sering menjadi pertanyaan adalah, apakah setiap data yang diketahui oleh petugas pajak dan atau koreksi dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh aparat pajak merupakan pelanggaran pidana? Apakah wajib pajak yang melakukan pelanggaran pidana pajak harus dijatuhi hukuman kurungan badan? Dapatkah pidana pajak diselesaikan dengan cara lain selain pemidanaan?
Tidak semua data ataupun koreksi pemeriksaan merupakan pelanggaran pidana. Data atau koreksi yang terkait dengan koreksi fiskal, time different dan perbedaan perlakuan dalam akuntansi bukanlah koreksi  yang bersifat pidana. Data atau koreksi pajak yang dapat berimplikasi pada pelanggaran pidana misalnya data penjualan yang tidak dilaporkan dengan nilai yang sebenarnya. Misalnya property yang dijual dengan harga per unit 1,5 Milyard tetapi dengan tujuan untuk mengecilkan jumlah pajak yang dibayar, didalam laporan SPT  tahunannya dilaporkan nilainya hanya sebesar 700 juta per unit, data pembelian yang dimark up guna memperbesar Harga pokok produksi agar memperkecil laba, yang akhirnya dapat memperkecil pajak yang harus dibayar, penerbitan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya dan lain lain. Namun demikian, wajib pajak yang melakukan pelanggaran pidana pajak, diberi ruang untuk menyelesaikan permasalah tersebut tanpa harus menjalani hukuman paksa badan ataupun kurungan penjara. Langkah langkah tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
Didalam pasal 8 ayat ( 4) dan ayat ( 5) UU KUP dijelaskan bahwa:
Ayat 4:
Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang dapat mengakibatkan:
            a.            pajak-pajak yang masin harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil;
            b.            rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar;
            c.            Jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau
            d.            jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil
dan proses pemeriksaan tetap dilanjutkan.
Ayat 5:
Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar, harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud disampaikan.
Didalam pasal ini diterangkan bahwa , meskipun telah dilakukan pemeriksaan dengan syarat Ditjen Pajak belum mengeluarkan ketetapan,  wajib pajak dengan kesadaran sendiri dapat menyampaikan pembetulan atas ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan, dengan syarat syarat sebagaimana diatur dalam pasal 8 ayat ( 4) UU KUP diatas, dan ditambah dengan sanksi kenaikan sebesar 50%, maka tindakan lebih lanjut berupa pemidanaan wajib pajak dapat dihentikan, dengan syarat pengungkapan yang dilakukan itu sudah benar .
Kalau data, informasi atau laporan sudah ditindaklanjuti dengan pemeriksaan bukti permulaan, yaitu pemeriksaan dalam rangka mencari alat bukti lebih lanjut terkait pelanggaran pidana yang dilakukan oleh wajib pajak, pemeriksaan dapat dihentikan dengan cara wajib pajak melakukan pengungkapan sendiri ketidakbenaran pengisian surat pemberitahuan yang disampaikan dengan membayar sanksi denda sebesar 150%. Syaratnya belum dilakukan penyidikan dan pengungkapan tersebut telah benar. Hal ini diatur dalam pasal 8 ayat (3 ) UU KUP yang berbunyi sebagai berikut:
Ayat 3:
Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
Walaupun, tindakan pemeriksaan bukti permulaan sudah dinaikkan ke tindakan penyidikan, penyidikan dapat dihentikan dengan syarat wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar                 atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan. Hal ini diatur dalam pasal 44B UU KUP
(1)    Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan.
(2)    Penghentian penyidik tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan uang pajak  digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Dengan kemajuan tehnologi dan dengan adanya kewajiban pihak ketiga untuk menyampaikan data dan informasi ke Ditjen Pajak sebagaimana diatur dalam pasal 35 A Undang undang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP), telah memudahkan Ditjen Pajak untuk mendeteksi adanya tindakan kecurangan dalam masalah pajak.  Pengungkapan ketidakbenaran dengan cara melakukan pembetulan surat pemberitahuan  pajak yang telah disampaikan, dapat menghindarkan wajib pajak dari pengenaan sanksi pidana.