Senin, 17 November 2008

Sejak kapan Anda Jadi Paranoid?

Oleh: Imam Nashirudin


Salah satu rekomendasi pemerintah untuk mengatasi krisis keuangan Global adalah perlunya peningkatan penyerapan APBN. Kenapa pemerintah sampai memberi instruksi untuk meningkatkan penyerapan APBN? Bukankah, jaman dulu masalah ini tidak pernah timbul? Adakah yang salah? Adakah hubungannya antara tingkat penyerapan APBN yang rendah dengan banyaknya para pejabat pengguna anggaran yang belakangan kemudian berurusan dengan team investigasi dan bahkan dengan KPK?
Berdasarkan pengamatan dan informasi yang saya terima dari berbagai sumber, baik di lingkungan Depkeu maupun diluar Depkeu, masalah tersebut lebih didasarkan atas dua hal utama, pertama, adanya kekawatiran akan munculnya tekanan atau paksaan dari pejabat “bergaya lama”, sementara aturan terbaru tentang penggunaan dana APBN sudah lebih transparan. Pejabat-pejabat tersebut secara langsung tidak terlibat dalam kepanitiaan tetapi secara structural posisinya lebih tinggi. “Emangnya kita berani nolak kalau ada permintaan atau paksaan dari atasan, emangnya kita mau jika karena masalah ini, kita musti dimutasi ke papua? ”, kata seorang teman.
Kedua adanya kegiatan administrasi yang begitu banyak dan kompleks yang banyak memakan waktu dan tenaga, sementara dia sendiri tidak boleh melalaikan tugas rutinnya sebagai PNS. Meskipun atas jerih payahnya setiap anggota panitia mendapat honor resmi, tetapi besarnya honor yang diterima tidak sebanding dengan tambahan kompleksitas kegiatan yang timbul dan resiko yang ditanggung. Dan bilamana proyek tersebut dilaksanakan tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan, maka pejabat atau panitia yang bersangkutan dianggap merugikan keuangan negara sebesar nilai kontrak. Semisal, nilai kontrak pembelian mobil pemadam kebakaran atau proyek pembangunan kantor senilai 10 Milyard. Jangka waktu antara turunnya dana dengan waktu pelaksanaan proyek sangat mepet, sehingga tidak semua prosedur bisa dilalui secara sempurna. Atas kejadian seperti ini, meskipun Gedung dan mobil pemadam kebakaran sudah benar-benar ada dan terealisir dengan harga yang wajar maka pejabat yang bersangkutan dianggap menyalahi prosedur dan dianggap merugikan keuangan negara sebesar 10 Milyard. Dan diancam dengan hukuman penjara. Mau?
Maksud tulisan ini adalah agar kita lebih ber’empati” dan agar pemerintah dan para pejabat pengambil keputusan mengetahui kekawatiran dan ketakutan para pengguna anggaran di lapangan. Instruksi yang tidak diikuti dengan revisi aturan yang mendasar, sama halnya dengan pengibaratan menyuruh kambing untuk mandi. Jangankan disuruh, dipaksapun kambing itu akan berusaha sekuat tenaga untuk menolaknya. Jadi, sejak kapan kamu jadi paranoid?

Rabu, 05 November 2008

Krisis Keuangan Global Tidak Mempengaruhi Penerimaan Pajak. Benarkah??

Oleh: Imam Nashirudin


Sebagai warga negara dan juga sebagai aparatur pajak tentu saja, saya tidak ingin realisasi penerimaan pajak tahun 2008 terganggu gara-gara krisis keuangan global. Kenapa? Karena peranan penerimaan pajak yang memberi kontribusi ke negara lebih dari 70% ini memegang peran yang sangat kritikal dan penting. Namun demikian, kalau ada statemen yang mengatakan kalau krisis keuangan tidak mempengaruhi penerimaan pajak, saya ragu dan saya jadi bertanya-tanya. Ini harapan atau kenyataan. Sayapun berharap seperti itu. Tapi apakah kondisi riil di lapangan memang begitu? Seperti kita ketahui, penerimaan pajak sangat terkait dengan kondisi makro ekonomi suatu negara. Kalau kondisi makro ekonomi baik, maka penerimaan pajak seharusnya juga baik dan begitu sebaliknya.
Ketika suku bunga pinjaman bank naik, ketika daya serap pasar Eropa dan Amerika melemah, ketika daya beli masyarakat turun, ketika nilai tukar rupiah terus melemah terhadap dolar Amerika, benarkah hal ini tidak mengakibatkan kelesuan dunia usaha? Benarkah profitabilitas perusahaan dalam kondisi seperti itu tidak akan turun? Kalau terkait dengan turunnya margin keuntungan perusahaan, memang dampaknya baru terlihat nyata pada pembayaran PPh pasal 29 tahun depan. Lalu bagaimana dengan jenis pajak lainnya? PPN dalam negeri, PPN import, PPh pasal 21 dan pajak-pajak lainnya? Contoh kongkret, kenaikan suku bunga pinjaman Bank saat ini telah mengakibatkan penurunan penjualan otomotif khususnya penjualan sepeda motor yang konon prosentase penjualan kreditnya mencapai angka 90%. Berarti ada PPN dalam negeri yang tertunda penerimaannya. Hal ini belum dihitung dengan bisnis turunannya, seperti industri mur baut, industri pelek, industri perakitan sepeda motor dll. Masalah yang sama juga dihadapi perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor konstruksi dan properti. PPN import juga akan mengalami penurunan dengan melemahnya rupiah dan penurunan daya serap pasar untuk produk-produk yang berorientasi ekspor ke Amerika dan Eropa. Apa hubungannya dengan PPN import, hubungannya adalah banyak perusahaan industri dalam negeri yang bahan bakunya diperoleh dengan cara import. Jika daya beli masyarakat turun, daya serap pasar internasional juga turun, pengusaha secara otomatis akan menurunkan pembelian import bahan baku, yang berarti penurunan penerimaan pajak dari PPN Import dan PPh pasal 22 import.
Yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini adalah, kenapa kita takut melihat kenyataan? Kenapa kita tidak berani bersikap realistis dan mengakui fakta yang ada di lapangan? Dengan melihat kenyataan yang ada, kita bisa segera mencari fokus baru, kita bisa mencari alternatif-alternatif pemikiran lain, kita bisa segera melakukan koordinasi dan mengevaluasi kembali rencana kerja tiga bulan kedepan. Sektor apa saja yang akan mengalami penurunan dan darimana penurunan penerimaan tersebut harus ditutup? Dimana posisi korps Direktorat Jenderal Pajak saat ini? Apa kemungkinan-kemungkinan yang bisa digali dengan melihat keadaan yang ada, apa kendalanya dan bagaimana mengatasi kendala-kendala yang ada secara efektif dan efisien. Apa kelemahan kita? Apa kelebihan kita? Bagaimana kemungkinan-kemungkinannya?
Singkat kata, sudah waktunya kita dan seluruh jajaran korps Direktorat Jenderal Pajak keluar dari kerangkeng perasaan aman, seolah-olah krisis tidak berpengaruh apa-apa. Demi mengamankan target penerimaan pajak hingga akhit tahun. Selamat bekerja. Sukses selalu. Jayalah Indonesiaku!

Senin, 20 Oktober 2008

Solusi Krisis Keuangan Global - TRANSPARANSI KEBIJAKAN EKONOMI

Oleh: Imam Nashirudin


Menyimak Jaring pengaman system keuangan yang diluncurkan oleh Menkeu dan Gubernur BI di Gedung Depkeu pada Kamis 16 oktober 2008 kemarin, sebagai respon atas krisis keuangan global yang tengah berlangsung, saya sedikit lega, tapi saya juga skeptis, Apakah pengambil kebijakan akan mampu menghadapi ”pressure groups” baik dari dalam negeri maupun dari para negara pemberi utang maupun negara yang punya power besar? Bagaimana caranya agar Jaring pengaman tersebut dapat dijalankan secara optimal? Saya tidak menggunakan kata efektif, mengingat asumsi-asumsi diatas.
Menurut saya, Jaring pengaman sistem keuangan akan lebih optimal dilaksanakan bila ada transparansi. Kenapa kebijakan ekonomi harus transparan? Transparansi kebijakan ekonomi sangat erat kaitannya dengan percepatan pemulihan dan pembangunan ekonomi suatu Negara. Seperti kita ketahui, dalam ilmu ekonomi kita dihadapkan dengan berbagai altrnatif tindakan, dan setiap alternatif tindakan mempunyai konsekwensi yang berbeda. Kita bebas memilih alternative tindakan kita, tetapi kita tidak bebas untuk mengambil konsekwensi dari setiap pilihan yang kita buat.
Karena dalam keputusan ekonomi selalu ada yang merasa lebih diuntungkan dan ada yang merasa menjadi korban, baik secara langsung maupun tidak. Maka kebijakan-kebijakan ekonomi selalu menarik untuk disimak dan dikaji. Dan diseputar kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil, selalu muncul berbagai pertanyaan, fair kah kebijakan itu? Misalnya kebijakan suku bunga tinggi. Dengan suku bunga tinggi, pemerintah dapat menekan inflasi, menarik masuk modal jangka pendek, cadangan devisa meningkat, rupiah menguat, tetapi sektor riil tertekan. Bila suku bunga diturunkan untuk mendorong sektor riil, modal jangka pendek akan lari dan cadangan devisa akan turun dan rupiah akan tertekan.
Dalam bidang ekonomi makro, pemerintah mempunyai dua jenis kebijakan yang bisa dijalankan secara bersam-sama atau secara terpisah untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan dalam APBN. Kebijakan itu adalah kebijakan moneter dan kebijakan fiscal. Kebijakan moneter amat efektif untuk mengatasi inflasi yang disebabkan oleh kelebihan permintaan ( demand pull inflation). Sedangkan kebijakan fiscal, efektif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja serta mengatasi kemiskinan dan inflasi yang disebabkan oleh kenaikan biaya produksi (cost push inflation).
Timbul pertanyaan mengapa perlu transparan, mengapa perlu dumumkan dan dijelaskan dengan rinci dan sejelas-jelasnya? Pertama, rakyat dan para pembayar pajak berhak mengetahui uangnya dipakai untuk siapa dan mengapa perlu dipakai? Lantas bagaimana duduk persoalan sebenarnya? Berapa uang kita sesungguhnya, berapa utangnya? Utang dalam negeri dan utang dari pasar modal luar negeri, uangnya buat apaan? Mengapa uang tinggal sebesar itu, berapa yang disebabkan oleh dampak krisis keuangan global, berapa yang disebabkan oleh mismanagement dan berapa yang disebabkan oleh penyelewengan criminal?
Alasan lain perlunya transparansi adalah agar kontrol social berjalan, agar tidak ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan dengan cara-cara yang tidak terhormat. Ada beberapa kebijakan pemerintah yang sering menjadi tanda tanya besar. Seperti kebijakan pembelian kembali saham-saham BUMN, Kebijakan untuk menambah utang, kebijakan pembiayaan deficit APBN dan kebijakan penjualan asset-asset nasional guna menutup deficit anggaran. Kenapa pemerintah mengambil kebijakan seperti itu? Apa dasarnya? Mengapa seperti itu? Apa tidak ada cara lain yang lebih kreatif untuk menutup deficit? Ada apa gerangan?
Transparansi juga memberi kesempatan kepada masyarakat untuk menilai apakah pemerintah fair dalam keputusan-keputusannya, sekaligus masyarakat dapat memberi masukan ke pemerintah. Untuk kebijakan fiscal, kita sering bertanya-tanya, kebijakan fiscal apa yang secara signifikan telah diambil oleh pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menyerap pengangguran. Apakah tidak ada alternative tindakan yang bisa dikerjakan selain ngotak-atik anggaran untuk menyeimbangkan pengeluaran dengan penerimaan demi menjaga defisit anggaran pada tingkat yang rendah? Kenapa system pajak tidak disederhanakan, dan tariff pajak diturunkan secara berarti? Bukankah pengalaman Negara lain, menunjukkan, penyederhanaan system perpajakan dan penurunan tariff pajak akan memberi insentif bagi sektor riil, sekaligus meningkatkan penerimaan Negara dan pengeluaran Negara. Tarif pajak diturunkan, tetapi rasio pajak terhadap PDB akan meningkat, karena orang akan terdorong untuk melapor semua penghasilannya dengan tariff rendah.

Penutup
Secara singkat kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil baik moneter maupun fiscal, menurut pendapat saya perlu diumumkan dan dikomunikasikan dengan lebih baik dan lebih transparan. Ketertutupan dan ketidakjelasan tentang asumsi dan latar belakang kebijakan yang diambil pemerintah akan menciptakan keragu-raguan dan kecurigaan. Secara politis, ketidak jelasan ini akan menimbulkan resistensi dan reaksi dari berbagai kalangan sehingga kebijakan itu justru menjadi tidak produktif.
Tidak selalu kebijakan ekonomi yang diambil berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Masalah ini bisa disebabkan karena banyak hal. tetapi seorang pengambil keputusan atau tim pengambil keputusan harus berani ambil resiko dan harus berani ambil tanggung jawab.

• Penulis adalah Kasi waskon l KPP Madya Jakarta Utara
• Website penulis: SOLUSI UNTUK INDONESIA dgn alamat http://host-ekonomi.blogspot.com/

Senin, 13 Oktober 2008

KRISIS KEUANGAN JILID 2, WASPADALAH !

Oleh: Imam Nashirudin, SE, AK, MM*

Menyimak Krisis subprime mortgage di Amerika Serikat, dan Anjloknya bursa saham di Asia, Eropa dan Amerika, saya ingin sedikit “urun rembug” dan berbagi pendapat tentang masalah tersebut. Apa sebenarnya yang terjadi dan mungkinkah Indonesia mengalami nasib yang sama? Bagaimana masalah yang sebenarnya, dan bagaimana kondisi Indonesia saat ini? Apakah krisis keuangan global yang kita alami saat ini akan bertambah parah? Kenapa kita tidak belajar dari masa lalu? Dimana peran pemerintah? Apakah ini masalah miss management ataukah masalah kriminal?
Mortgage yang disebut-sebut sebagai pemicu krisis keuangan di Amerika serikat, bisa dibagi menjadi dua, yaitu: prime mortgage dan subprime mortgage. Subprime mortgage adalah mortgage dengan resiko yang lebih tinggi dibanding Prime mortgage yang biasanya diberikan kepada peminjam yang memiliki sejarah kredit yang bagus atau peminjam yang dapat menunjukkan kemampuannya untuk membayar hutang. Subprime mortgage diberikan kepada masyarakat yang tidak memiliki kualifikasi diatas, dengan maksud untuk memberi kemudahan kepemilikan hunian yang layak dan sekaligus dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Munculnya industri subprime mortgage memungkinkan orang-orang yang tadinya tidak bisa membeli rumah menjadi bisa membeli rumah.
Karena resiko subprime mortage yang lebih tinggi, maka bunga yang dikenakan kepada peminjam juga lebih tinggi. Menurut data statistik, tingkat gagal bayar subprime mortgage (sekitar 7%) dan prime mortgage (sekitar 1%).
Kronologisnya terjadinya krisis keuangan di Amerika yang awalnya disebabkan oleh subprime mortgage, dapat saya jelaskan, kurang lebih sebagai berikut: masyarakat Amerika Serikat dengan kredit rating yang relatif buruk membeli rumah melalui subprime mortgage. Terjadi transaksi individual antara peminjam dan pemberi mortgage (subprime lenders)
Subprime lenders kemudian mengumpulkan berbagai mortgage dan menjual sekumpulan mortgage tersebut kepada bank komersial. Bank komersial kemudian menjual sebagian portfolio mortgage tersebut kepada investment bank.
Subprime mortgage ini ada yang dikumpulan dan dikemas ulang dalam bentuk Mortgage-Backed Securitites - MBS. MBS merupakan aset yang memiliki pendapatan yaitu ketika pemimjam mortgage membayar bunga mortgage dan ketika mereka melunasi hutangnya. Pendapatan ini bisa dipilah-pilah menjadi beberapa tranches dengan tingkat senioritas yang berbeda. Semua bunga dari peminjam mortgage pertama kali akan dibayar sebagai bunga kepada pemilik MBS dengan senioritas paling tinggi. Kalau ada sisa, baru pendapatan itu masuk ke pemilik dengan senioritas lebih rendah. Demikian seterusnya. Bisa dilihat bahwa semakin rendah tingkat senioritasnya, semakin tinggi resiko dari MBS ini. Karena resikonya yang paling rendah, maka MBS paling senior harganya juga paling mahal.
Rating agencies semacam Standard & Poor’s (S&P) memberikan rating terhadap MBS ini. Ternyata, rating AAA untuk MBS lebih besar resiko gagal bayarnya dibanding dengan surat hutang dengan rating AAA juga.
Beberapa MBS ini, bersama instrumen utang lainnya, kemudian dikemas ulang lagi menjadi Collateralized Debt Obligations (CDOs). Sama seperti MBS, CDO juga merupakan aset dengan berbagai sumber pendapatan: dari pendapatan MBS, dan dari pendapatan instrumen hutang lainnya. CDOs juga dipilah-pilah lagi menjadi beberapa tranches dengan tingkat senioritas yang berbeda. Diperkirakan ada 100 milyar dollar AS aset CDOs yang kalau dirunut balik dijamin oleh subprime mortgages (dari perkiraan total CDOs sebesar 375 milyar dollar AS).
CDOs ini kemudian dijual ke berbagai bank, perusahaan asuransi, hedge funds, reksa dana (mutual funds), dll baik di Amerika Serikat maupun di luar. Jadilah resiko subprime mortgage tersebar ke mana-mana. Ketika para pemilik property dengan system subprime mortagage tidak mampu membayar cicilan propertinya atau malahan yang bersangkutan dinyatakan bangkrut, maka imbasnya akan kemana-mana.
Hubungannya dengan kejatuhan bursa saham di Eropa, Asia dan Indonesia adalah, ketika perusahaan-perusahaan yang kantor pusatnya atau holdingnya berada di Amerika serikat mengalami krisis dan mengalami kesulitan likuiditas, maka dana-dana milik perusahaan yang diinvestasikan di pasar modal Eropa, asia termasuk Indonesia ditarik guna menambah likuiditas perusahaan induknya. Penarikan investasi besar-besaran ini kemudian diikuti dengan kepanikan investor lokal yang ikut-ikutan melepas sahamnya, sehingga pasar saham jatuh.
Fenomena seperti diatas dalam dunia bisnis sebenarnya hal yang biasa dan lumrah, dimana resiko akan berbanding lurus dengan manfaatnya. Semakin tinggi resiko maka manfaatnya juga akan semakin tinggi. Kebijakan property seperti subprime mortgage banyak diikuti Negara-negara lain, meskipun dengan bentuk dan kemasan yang berbeda. Di Indonesia, Tingkat suku bunga SBI yang rendah pada tahun 2000 an sampai dengan tahun 2007 telah diikuti oleh suburnya industri property di Indonesia yang didukung oleh banyak industri perbankan. Ketatnya persaingan untuk mendapatkan customer, memaksa industri property dan perbankan melonggarkan persyaratan yang diperlukan bagi seorang nasabah untuk memiliki property. Bahkan beberapa unit dengan type tertentu bisa dimiliki dengan uang muka beberapa ratus ribu rupiah saja dan selembar fotocopy KTP. Praktek “jor –joran” pemberian kredit ini sebenarnya bukan hanya di sector property, tapi juga merambah sector lain seperti otomotif, konsumsi dll.
Imbas krisis keuangan di Amerika Serikat telah mempengaruhi, hampir seluruh perekonomian di dunia. Pada Selasa, 8 Oktober 2008 IHSG anjlok dan diikuti dengan penutupan perdagangan saham dan derivative. Otoritas moneterpun sudah memberi sinyal kenaikan suku bunga SBI. Dalam kondisi seperti sekarang, Kenakan suku bunga SBI wajar dilakukan untuk meredam gejolak inflasi dan sekaligus menarik dana masyarakat. Kenaikan SBI ini akan diikuti dengan kenaikan suku bunga kredit. Bagaimana nasib para pengutang property dan para pengutang lainnya yang tidak kredibel ? Kredit macet, dan jika meninpa banyak nasabah, akan mempengaruhi likuiditas dan solvabilitas industri perbankan, bahkan bisa mengakibatkan kebangkrutan. Krisis perbankan akan berpengaruh ke sector riil. Kalau sektor riil terkena imbasnya, akan berakibat kepada kenaikan harga-harga komoditi, penutupan perusahaan-perusahaan, High Inflasi dan PHK karyawan besar-besaran. Meningkatnya jumlah pengangguran sebagai dampak PHK, akan mendongkrak tingkat kemiskinan dan kriminalitas. Jangan Tanya kenapa!
Penutup
Kita berharap pemerintah segera mengambil langkah konstruktif yang smart, cepat dan tegas untuk mengatasi dampak krisis keuangan global saat ini. Transparansi pengelolaan keuangan negara dimasa depan sangat diperlukan guna kontrol publik.

• Penulis adalah Kasi Waskon l KPP Madya Jakarta Utara

Selasa, 12 Agustus 2008

MODERNISASI - MENATA KINERJA - MEMBANGUN CITRA

Oleh : Imam Nashirudin, SE., Ak, MM

Kalau diamati, organisasi di pemerintahan itu mirip bangunan lengkap, tetapi didalamnya tidak ada kegiatan berumah yang bernama “kehendak bersama”, yang ada hanyalah konsep seolah-olah. Seluruh aktifitas di dalam bangunan itu dijalankan dengan prinsip yang dalam masa feodal dulu, disebut prinsip kawulo gusti.
Dalam situasi seperti itu, institusi yang ada bersifat artificial. Ada bentuk, ada isi, tetapi tidak ada makna bersama yang dibangun oleh kenyataan dan kemudian dijadikan referensi oleh seluruh anggotanya. Implikasinya jauh, dengan perspektif itu, tidak sulit melihat para pimpinan dan “politisi” di pusat, yang membuat dan mengambil kebijakan, sebenarnya tak tahu banyak tentang para pegawainya. Hal ini adalah imbas dari budaya “kawulo gusti”, dimana para punggawanya lebih nyaman membuat laporan yang bisa membuat bosnya senang, meski kondisi nyatanya tidak seperti demikian. Laporan model ini, biasa disebut laporan ABS, singkatan dari asal bapak senang. Laporan yang bias, rancu dan manipulatif tersebut akan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang salah. Garbage in, garbage out
Tidak efektifnya organisasi pemerintahan bisa disebabkan oleh banyak hal, namun ada beberapa hal untuk kondisi saat ini, yang menurut pendapat saya penting dan kritikal, yaitu kita terlalu mensimplifikasikan permasalahan, kita tidak pernah mempersoalkan dan mempelajari dengan lebih baik perihal asumsi dasar untuk menggerakkan pegawai dengan efektif. Dan hubungan antara pegawai dengan organisasi tidak pernah berada pada rasionalitas yang mutlak, semestinya kita harus berani melihat bahwa pegawai punya bangunan nalar yang rumit.
Tulisan ini banyak mengupas teori-teori yang sengaja saya pilih dan rangkum dari berbagai sumber, untuk memberi masukan kepada tim di kantor pusat dalam rangka modernisasi. Mungkin teori-teori ini pernah dipelajari, namun menurut pendapat saya, teori-teori ini sangat layak untuk disimak kembali dengan lebih seksama.


1. Teori Manajemen Sumber Daya Manusia
Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) merupakan suatu ilmu atau pendekatan terhadap manajemen manusia. Beberapa ahli manajemen memberikan suatu definisi secara khusus tentang manajemen dan sumber daya manusia. Seperti yang dijelaskan oleh Manullang (1992), tentang pengertian manajemen, sebagai berikut :
“Manajemen adalah suatu seni dan ilmu perencanaan, pengorganisasian, penyusunan, pengarahan dan pengawasan dari sumber daya yang telah ditetapkan”.

Sedangkan Siagian (1990), mendefinisikan tentang pengertian manajemen sebagai berikut :
“Manajemen adalah keterampilan untuk memperoleh hasil dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan sebelumnya daya menggerakkan orang lain di dalam organisasi”.

Kemudian Follet dalam Stoner dan Freeman (1992) secara singkat memberikan batasan tentang pengertian manajemen sebagai berikut :
“Manajemen adalah seni untuk menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain”.

Pengertian Sumber Daya Manusia dikemukakan oleh Tulus (1995), yaitu :
“SDM merupakan salah satu unsur masukan atau input yang bersama dengan unsur lainnya seperti bahan, modal, mesin dan teknologi diubah melalui proses manajemen menjadi keluaran atau output berupa barang dan jasa dalam upaya mencapai tujuan organisasi atau perusahaan”.
Pendapat Flippo (1991), menyatakan pengertian MSDM sebagai berikut :
“Manajemen Sumber Daya Manusia adalah perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan atas pengadaan, pengembangan, pemberian kompensasi pengintegrasian, pemeliharaan dan pemutusan hubungan kerja dengan maksud untuk membantu mencapai tujuan perusahaan, individu dan masyarakat”.
Menurut Cahyono (1996), terdapat 3 (tiga) prinsip dasar dalam pendekatan terhadap Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM), sebagai berikut :
a. Sumber daya manusia adalah harta yang paling penting oleh suatu organisasi, sedangkan manajemen yang efektif adalah kunci bagi keberhasilan organisasi tersebut.
b. Keberhasilan ini sangat mungkin dicapai jika peraturan atau kebijaksanaan serta prosedur yang bertalian dengan manusia dari perusahaan tersebut saling berhubungan dan memberikan sumbangan dan perencanaan strategis.
c. Kultur dan nilai perusahaan, suasana organisasi dan perilaku manajerial yang berasal dari kultur tersebut akan memberikan pengaruh yang besar terhadap hasil pencapaian yang terbaik. Karena itu, kultur ini harus ditegakkan, dari upaya yang terus menerus mulai dari puncak, sangat diperlukan agar kultur tersebut dapat diterima dan dipatuhi.

Lingkungan dan tugas manajemen SDM adalah bagaimana usaha untuk mengelola manusia (pegawai) dengan segala sumber daya yang dimilikinya seefektif mungkin guna memaksimalkan organisasi. Selanjutnya menurut Cahyono (1996), lingkup MSDM terangkum pada fungsi-fungsi manajemen yang terbagi menjadi dua bagian, sebagai berikut :
a. Fungsi-fungsi manajemen, yaitu terdiri atas perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan (actuating) dan pengawasan (controlling).
b. Fungsi-fungsi operasional, yaitu terdiri atas pengadaan (procurement), pembinaan (development), pemberian kompensasi (separation), integrasi (intergration) dan pemeliharaan (maintenance).

2. Perencanaan Sumber Daya Manusia
Perencanaan berfungsi sebagai alat untuk penyusunan strategi pengembangan Sumber Daya Manusia dalam suatu organisasi, karena memuat kajian ketetapan tentang jumlah dan jenis keahlian serta keterampilan tenaga kerja yang diperlukan.
Perencanaan sumber daya manusia didalam suatu organisasi merupakan hal yang sangat penting baik bagi organisasi itu sendiri maupun bagi tenaga kerja yang bersangkutan. Sunyoto (1992), mengemukakan :
“Perencanaan sumber daya manusia juga dapat diartikan sebagai penentuan cara memenuhi kebutuhan tenaga kerja dan penempatannya, sehingga terdapat suatu kemungkinan tercapainya suatu rencana kepegawaian yang terintegrasi dalam suatu organisasi”.
Keuntungan yang dapat ditimbulkan dengan adanya perencanaan sumber daya manusia antara lain sebagai berikut :
a. Mengidentifikasikan penggunaan sumber daya manusia.
b. Menyesuaikan kegiatan tenaga kerja dengan tujuan organisasi.
c. Membantu program penarikan dari bursa atau pasar tenaga kerja yang baik.
d. Pengadaan tenaga kerja baru secara ekonomis.
e. Dapat mengkoordinasikan kegiatan manajemen sumber daya manusia.
f. Mengembangkan sistem manajemen sumber daya manusia.
Selanjutnya disebutkan ada dua strategi perencanaan sumber daya manusia yaitu staffing dan employe development. Strategi staffing termasuk di dalamnya pengadaan pegawai (recruiting) merupakan aspek kunci yang harus direncanakan sejak awal secara matang, karena menyangkut kesesuaian pekerjaan untuk diterima didalam organisasi dan seleksi bagi pelamar luar (external applicants) dengan berdasarkan kemampuan dan keterampilan yang dibutuhkan.
Sedangkan strategi pengembangan adalah menitikberatkan peningkatan keadaan saat ini dengan memperoleh pengetahuan dan keterampilan dalam pekerjaan yang ditingkatkan melalui program pendidikan dan latihan dan program pengembangan yang disesuaikan dengan kebutuhan organisasi yang akan datang.
Stoner dan Freeman (1992), mengatakan bahwa : Perencanaan sumber daya manusia dirancang untuk menjamin bahwa kebutuhan organisasi akan pegawai dapat dipenuhi secara tetap dan tepat melalui analisis :
a. Faktor-faktor dari dalam, seperti keterampilan yang dibutuhkan sekarang dan yang akan datang, lowongan serta perluasan dan pengurangan.
b. Faktor-faktor di lingkungan luar seperti pasar tenaga kerja sebagai hasil analisis tersebut, rencana-rencana kemudian dikembangkan untuk pelaksanaan langkah-langkah lainnya dalam proses manajemen sumber daya manusia.
Suatu perencanaan sumber daya manusia memiliki kedudukan yang sangat penting (Sunyoto, 1992) :
a. Sebuah rencana membimbing ke arah sukses, artinya dengan suatu rencana, dimungkinkan melakukan pendayagunaan tenaga kerja secara optimal melalui penempatan pada jabatan-jabatan tertentu dengan jenjang karier yang sesuai dengan keterampilan individu maupun organisasi.
b. Sebuah rencana akan kemungkinan organisasi melakukan penyesuaian dengan perubahan-perubahan yang mungkin terjadi. Mampu mengantisipasi kondisi business yang akan datang secara lebih awal melakukan tindakan-tindakan untuk mempersiapkan tenaga kerja yang dimilikinya, baik melalui pelatihan, maupun mutasi, dan sebagainya disesuaikan dengan kebutuhan tenaga kerja sebagai akibat adanya perubahan-perubahan dikemudian hari.
c. Sebuah rencana mengharuskan seorang manajer untuk menetapkan tujuan yang hendak dicapai secara spesifik, baik tujuan umum maupun tujuan-tujuan bagiannya, termasuk penetapan tujuan pada masalah ketenaga kerjaan.
Sebuah rencana memungkinkan dilakukan pengawasan secara efektif dan memiliki suatu standar yang akan digunakan untuk dapat melakukan tindakan pengawasan atau evaluasi. Dengan rencana tersebut kita akan mengetahui kuantitas dan kualitas tenaga kerja yang dibutuhkan yang tentu saja akan digunakan sebagai dasar penilaian apakah kegiatan yang dilakukan telah memenuhi standar yang telah ditetapkan.
Dari berbagai pengertian tersebut di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya suatu perencanaan sumber daya manusia akan selalu mencapai empat aspek yang harus diperhatikan, yaitu :
a. Kuantitas yang tepat.
b. Kualitas yang tepat.
c. Waktu dan posisi yang tepat.
d. Perhatian terhadap individu maupun tujuan organisasi.

3. Pentingnya Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pengembangan adalah fungsi operasional kedua dari sumber daya manusia. Fungsi utama adalah rekrutmen. Pengembangan adalah suatu keharusan, karena pegawai yang baru belum mempunyai kualifikasi yang pas untuk tujuan organisasi, sedangkan pegawai lama mungkin mengalami apa yang disebut ketinggalan zaman (obsolencence atau keusangan). Itu sebabnya pengembangan perlu dilakukan secara berkesinambungan baik masa kini maupun kebutuhan masa depan.
Program pengembangan tentunya harus pula disusun berdasarkan metode ilmiah, bertujuan untuk meningkatkan kemampuan teknis, teoritis, konseptual dan semangat (morale) pegawai agar mereka mencapai prestasi puncak sesuai dengan potensinya.
Keusangan terjadi bila seorang pegawai tidak lagi mempunyai pengetahuan atau kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan dengan efektif. Keusangan tersebut bisa disebabkan oleh beberapa hal, namun biasanya disebabkan karena kegagalan seseorang untuk menghadapi teknologi, prosedur-prosedur baru atau perubahan-perubahan lainnya. Semakin cepat perubahan lingkungan terjadi, semakin cepat keusangan juga terjadi pada pegawai, misalnya seorang akuntan yang tidak mengikuti dan menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi komputer akan cepat menjadi usang dan tidak lagi dapat mengerjakan pekerjaannya dengan mengikuti trend terakhir.
Pengembangan pegawai makin dirasa pentingnya karena tuntutan pekerjaan atau jabatan. Kualifikasi pekerjaan dianggap sebagai syarat untuk meningkatkan kinerja organisasi agar sekurang-kurangnya dapat memberikan pelayanan dan produktivitas sesuai dengan standar.
Pimpinan organisasi sekarang banyak yang sudah menyadari akan pentingnya mendidik pegawai baru. Pegawai baru yang direkrut pada dasarnya sarat dengan pengetahuan yang sifatnya teoritik, yang penerapan dan pelaksanaannya masih belum dikuasai. Proses pengembangan pegawai akan melengkapinya dengan pengetahuan yang praktis, yang mampu mendorong pegawai baru itu menggunakan teori secara benar, sambil tentunya memperhatikan situasi dan kondisi lingkungan dimana teori itu harus diterapkan.
Program pengembangan sering dianggap sebagai suatu pemborosan yang harus dihindari. Namun mereka yang telah menyadari pentingnya pengembangan pegawai akan menganggap, biaya yang dikeluarkan itu sebagai investasi jangka panjang yang dapat mendorong peningkatan kinerja organisasi.
Pengembangan dalam pengertian staffing, berarti suatu proses pendidikan jangka panjang yang mempergunakan prosedur sistematik, dimana pegawai dan pimpinan dapat mempelajari pegetahuan konseptual dan teoritik untuk tujuan umum. Pengembangan juga diartikan sebagai latihan, suatu proses pendidikan jangka pendek, juga menggunakan prosedur yang sistematik dan terorganisasi dengan baik, yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan teknik untuk melaksanakan suatu pekerjaan.
Pengembangan sumber daya manusia yang dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan, diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi kerja, kemampuan melayani dan semangat kerja itu dapat dicapai melalui pelatihan dan pendidikan di bidang :
1. Pengetahuan.
2. Keterampilan.
3. Sikap pegawai terhadap tugas-tugas yang dihadapi.
Pengetahuan pegawai akan mempengaruhi pelaksanaan tugas, sangat menentukan berhasil tidaknya pelaksanaan suatu tugas
Keterampilan pegawai merupakan faktor penting dalam mencapai sukses bagi pencapaian tujuan organisasi. Bagi pegawai baru maupun pegawai lama yang menghadapi pekerjaan baru, diperlukan tambahan keterampilan guna melaksanakan tugasnya dengan baik. Pengetahuan dan keterampilan saja tidak cukup untuk menjamin suksesnya pencapaian tujuan organisasi.
Sikap pegawai terhadap pelaksanaan tugas, mitra kerja, lingkungan kerja, terhadap pimpinannya, juga merupakan faktor yang harus diperhitungkan dalam mencapai tujuan organisasi.
Adapun perbedaan dalam objek pengembangan, yaitu pengetahuan, keterampilan dan sikap, membawa konsekuensi kepada metode pengembangannya. Pengembangan pengetahuan dapat dilakukan dengan metode pendidikan layak sekolah dan pengembangan keterampilan melalui latihan-latihan keterampilan yang bisa diselenggarakan dengan program pengembangan yang baku.
4. Teori dan Perlunya Disiplin Kerja
Untuk mencapai tujuan suatu organisasi, diperlukan pegawai yang memiliki dedikasi, loyalitas, bermental baik, berwibawa, berdaya guna, bersih bermutu tinggi dan sadar akan tanggung jawab sehingga para pegawai tersebut dalam melaksanakan tugas berkewajiban untuk dapat bergairah dan berdisiplin. Dalam konteks pegawai salah satu asset organisasi, pegawai adalah faktor atau unsur yang sangat penting yaitu sebagai motivator dan pelaksana perputaran roda organisasi dan roda manajemen. Keberadaan pegawai (lower hingga top manajemen) sangat penting untuk tercapainya tujuan organisasi. Sehingga tidaklah berlebihan bila mengatakan bahwa sukses tidaknya tujuan organisasi sangat tergantung kepada para pegawai itu sendiri. Untuk mendapatkan pegawai yang betul-betul dapat dijadikan sebagai motivator dan pelaksana roda organisasi, perlu diselenggarakan pelayanan yang baik dan pembinaan yang terus menerus serta terarah. Bila hal itu dapat terlaksana secara optimal maka disiplin pegawai, dapat dicapai yang pada gilirannya dapat meningkatkan kinerja pegawai.
Selama ini disiplin diartikan hanyalah sebatas kepada masuk kantor tepat waktu, pulang sesuai dengan jam kantor yang ditetapkan dan kehadiran masuk kantor sehingga semuanya dikaitkan dengan waktu saja. Namun pengertian disiplin menurut pendapat saya tidak sesederhana tersebut diatas.
Davis dan Newstrom (1981) dalam bukunya mengartikan disiplin sebagai berikut :
“Diciplin is management action to enforce organization standar”. Bila diartikan maka disiplin tersebut adalah suatu tindakan manajemen untuk melaksanakan standar dari suatu organisasi.
Disiplin kerja dapat diartikan sebagai suatu sikap menghormati, menghargai, patuh dan taat terhadap peraturan-peraturan yang berlaku baik yang tertulis maupun tidak tertulis serta sanggup menjalankannya dan tidak mengelak untuk menerima sanksi-sanksi apabila ia melanggar tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya. Dibagian lain Munandar dalam Ravianto (1985) memberikan pengertian disiplin sebagai berikut :
“Kesadaran diri untuk mentaati nilai norma dan aturan yang berlaku dalam lingkungannya”.

Dari pengertian diatas maka dapat dikatakan bahwa disiplin kerja sebagaimana yang lazim diartikan orang umum adalah segala sesuatu tindakan yang dilakukan secara efektif dan efisien oleh seseorang untuk mencapai tujuan (standar) dari organisasi. Artinya bila pegawai yang ada dalam suatu organisasi atau organisasi tidak melakukannya, maka akan dapat mengganggu pencapaian tujuan organisasi.
Keberhasilan suatu organisasi sangat memerlukan semangat dan disiplin kerja yang tinggi dari para pegawai atau anggota organisasi yang bersangkutan. Hal ini mengingat semakin kompleksnya kegiatan yang dilaksanakan dalam pencapaian tujuan organisasi. Pencapaian tujuan organisasi baik itu organisasi besar maupun kecil tidaklah cukup hanya mengandalkan pegawai yang berpendidikan tinggi, metode kerja yang baik, pengalaman manajemen yang sudah melanglang buana serta sistem dan prosedur kerja yang baik.
Meskipun suatu organisasi memiliki tenaga kerja atau pegawai yang berkualitas tinggi di bidang skill, namun bila mereka tidak memiliki disiplin kerja yang tinggi, kualitas tinggi tersebut akan tidak berarti. Dengan demikian, disiplin kerja sangatlah diperlukan dalam suatu organisasi tersebut, dapat bertindak atau bekerja sesuai dengan yang telah ditentukan sebelumnya. Disamping itu manusia sebagai yang mempunyai rasional dan rasa sosial yang tinggi dalam melaksanakan segala aktivitas kerjanya dengan tanpa harus didorong atau dipaksa oleh berbagai peraturan atau ketentuan yang ada, tetapi bertindak atas kesadaran tinggi yang dimilikinya.
Dalam hal itu, bila segenap pegawai yang ada dalam organisasi memiliki disiplin yang tinggi baik yang timbul dari dalam dirinya sendiri maupun karena peraturan atau ketentuan yang ada, maka diharapkan tujuan organisasi akan tercapai.
Mengingat arti pentingnya peranan pegawai/personil sebagai faktor untuk menunjang suksesnya tujuan manajemen organisasi, maka langkah-langkah dan usaha yang senantiasa perlu dijalankan ialah mengintensipkan pembinaan dan pengurusan bidang kepegawaian agar lebih efektif dan berdaya guna. Peningkatan disiplin kerja pegawai memiliki hubungan erat dengan motivasi. Usaha-usaha motivasi diarahkan untuk meningkatkan semangat kerja, meningkatkan karier dan prestasi kerja pegawai. Dalam membahas lebih lanjut usaha-usaha pembinaan dan peningkatan motivasi serta disiplin kerja pegawai dari suatu organisasi atau instansi, diperlukan telaah tentang tujuan yang akan dicapai oleh organisasi atau instansi dan beberapa faktor yang menjadi unsur pemenuhan dan penunjang bagi motivasi dan peningkatan disiplin kerja.
Dalam hal ini dapat disimpulkan bila seseorang pegawai memiliki motivasi yang tinggi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, maka pegawai tersebut sangat dimungkinkan memiliki disiplin yang tinggi. Demikian juga sebaliknya bila pegawai tidak atau rendah motivasi yang dimilikinya, maka disiplin pegawai tersebut juga akan sangat rendah. .
Sikap disiplin yang tinggi dari setiap pegawai, pada dasarnya tidak terlepas dari pengaruh lingkungan, baik itu lingkungan keluarga, lingkungan pergaulan di luar kantor maupun lingkungan kerja. Seorang pegawai bila lingkungannya (keluarga, sosial dan kantor) sudah biasa dengan disiplin tinggi, maka rasa disiplin tersebut akan tertanam dalam dirinya.
Dalam lingkungan organisasi, pegawai sebagai manusia dituntut memenuhi dua kebutuhan utamanya yaitu hidup dan bekerja sama. Organisasi itu sendiri adalah merupakan bentuk kerja sama manusia, dalam organisasi kebutuhan manusia hendaknya dapat terjamin, di lain pihak kehidupan organisasi harus dapat dipertahankan.
Menjaga keseimbangan ini menjadi tugas dari pimpinan organisasi yang menurut Moenir (1987) dalam bukunya : “Pendekatan Manusiawi dan Organisasi Terhadap Pembinaan Kepegawaian”, dilakukan dengan cara :
1. Pemberian gaji.
2. Pemberian kesempatan dan dorongan untuk mengembangkan karier.
3. Pendisiplinan terhadap aturan untuk mencapai efisiensi dan efektifitas organisasi yang tinggi.
4. Pemberian istirahat yang memadai.
5. Pemberian penghargaan atas jasa atau kesetiaannya terhadap organisasi baik material maupun lmmaterial.
6. Pemberian kesempatan berhimpun dalam organisasi pegawai.
7. Pemberian fasilitas kerja maupun sosial yang adil.
8. Keselamatan, keamanan dan kesehatan kerja.
9. Pemberian perangsang.
10. Pemberian atau pengaturan rekreasi.
11. Pemberian jaminan hari tua atau pensiun.
Sejalan dengan itu pimpinan organisasi perlu berusaha agar setiap beban kerja dilaksanakan dengan suasana yang bergairah, bersemangat, saling membantu, dan penuh rasa kekeluargaan.
Ditinjau dari sisi pegawai, ada beberapa faktor yang mempengaruhi semangat kerja, mutu dan tinggi rendahnya kinerja yaitu antara lain adalah minat, harapan dan kesempatan untuk maju, usia pegawai dan faktor kebosanan terhadap kerja ataupun lingkungan kerja.
Menurut Manullang (1975) dalam bukunya “Pengembangan Pegawai”, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi tingkah laku pegawai yaitu :
1. Sasaran dari pegawai.
2. Reaksi terhadap frustasi.
3. Faktor-faktor lain.
Untuk membina pegawai diperlukan peraturan pegawai yang memuat kewajiban dan larangan agar pegawai tersebut berdisiplin. Mengacu kepada pernyataan di atas, dapat disebutkan secara eksplisit faktor-faktor utama yang dapat mempengaruhi kedisiplinan kerja pegawai:
1. Pegawai harus memperoleh kompensasi yang setimpal, baik itu kompensasi material maupun kompensasi immaterial. Pemberian kompensasi kepada para pegawai dapat sering mempengaruhi disiplin kerja pegawai. Apabila dampak suatu kompensasi terhadap disiplin kerja kurang mendapat perhatian yang mendalam dari manajemen, maka dapat merintangi kondisi disiplin kerja.
2. Keterbukaan manajemen.
Disiplin kerja bawahan tidak terlepas dari kemampuan pimpinan dalam menjalankan sistem keterbukaan. Komunikasi antara manajemen dan pegawai dalam setiap bidang, baik itu menyangkut pekerjaan ataupun masa depan pegawai. Dengan demikian setiap pegawai dapat menerima berbagai persoalan yang terjadi dengan tanpa mengalami penurunan loyalitas yang berarti terhadap organisasi. Sebaliknya bila manajemen tidak mampu terbuka dalam organisasi bukan tidak mungkin pegawai akan kehilangan loyalitas terhadap organisasi. Misalkan, kejelasan jenjang karier pegawai, mutasi, promosi atau hal yang lainnya. Hal ini secara jelas dinyatakan oleh Pamuji (1986) dalam bukunya “Kepemimpinan Pemerintah di Indonesia”, sebagai berikut :
“Apabila mereka kemudian merasa tertipu oleh fakta-fakta yang disajikan atau justru menutupi keadaan sebenarnya, maka mereka akan kecewa dan akibatnya dapat apatis atau bahkan menentang pimimpin”.
3. Ketidak jelasan Peraturan Kerja Pegawai.
Suatu organisasi yang tidak memiliki peraturan kerja, akan dimungkinkan disiplin kerja pegawai tersebut akan rendah. Karena dengan ketidak jelasan peraturan tersebut menyebabkan pegawai tidak tahu idealnya perlakuan yang diharapkan organisasi. Disamping itu organisasi tidak memiliki perangkat untuk menegor atau menghukum pegawai yang melakukan tindak disiplin.
4. Beban Kerja Yang Tidak Seimbang.
Seorang pegawai yang dihadapkan dengan beban kerja yang berlebihan dibanding dengan organisasi lain atau rekan sekerjanya akan megakibatkan terjadinya kecemburuan yang secara berangsur-angsur akan mengakibatkan semangat kerja dari pegawai bersangkutan rendah.
5. Kemampuan Pimpinan Memberikan Teladan.
Perilaku para pegawai tidak dapat dipisahkan dari perilaku pimpinannya. Pimpinan selalu berusaha dan berkeinginan agar anak buahnya atau pegawai bawahannya yang ada dalam organisasi tersebut mengikuti perilaku dia sendiri, sementara para pegawai berusaha agar mereka dapat mengikuti keinginan dari pimpinannya baik itu dari cara berpikir maupun dalam berperilaku. Oleh karena itu dapat dikatakan bila seorang pemimpin mengharapkan kedisiplinan pegawai maka dia sendiri harus lebih duluan melakukan kedisiplinan. Seorang pimpinan bila dalam sehari-hari tidak menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan target yang ditetapkan, maka jangan diharapkan bahwa anak buah akan menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan target. Demikian halnya dengan kehadiran dan kemungkinan perilaku anak buah akan mengikuti perilaku pimpinannya.

5. Teori Motivasi Kerja
Motivasi adalah merupakan pengaruh tingkah laku manusia yang pada umumnya adalah pemenuhan dari kebutuhan-kebutuhan dasar. Keinginan pemenuhan kebutuhan dari karyawan yang bersangkutan akan menyebabkan mereka untuk terangsang baik dari dalam diri sendiri maupun dari luar dirinya untuk mencapai kebutuhan dirinya tersebut.
Pimpinan adalah orang-orang yang mencapai hasil melalui orang lain yang antara lain adalah bawahan. Berhubung dengan itu menjadi kewajiban dari setiap pemimpin agar para bawahannya berprestasi. Manullang (1992) mengatakan bahwa :
“Prestasi bawahan disebabkan oleh dua hal yaitu : kemampuan dan daya dorong. Kemampuan seseorang ditentukan oleh kualifikasi yang dimilikinya antara lain pendidikan, pengalaman dan sifat pribadi. Sementara daya dorong dipengaruhi oleh sesuatu yang ada dalam diri seseorang dan hal lain yang ada diluar dirinya”.

Seorang pemimpin yang bijaksana harus mampu menghidupkan gairah kerja bawahannya dan mampu mengembangkan kepercayaan diri yang ada dalam jiwa pegawai tersebut. Gairah kerja sendiri serta sikap pegawai dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor fisik dan faktor fsikologis.
Faktor fisik antara lain terdiri dari :
1. Keadaan tempat kerja yang kurang atau tidak memenuhi syarat.
2. Gaji dan jaminan yang kurang.

Faktor psikologis antara lain terdiri dari :
1. Sistem kepangkatan yang tidak tepat.
2. Hubungan kerja yang tidak tepat.
Berdasarkan keterangan-keterangan diatas, maka dapatlah disimpulkan bahwa motivasi adalah merupakan keseluruhan usaha yang dilakukan oleh para pimpinan untuk memberikan pengarahan-pengarahan, mendorong semangat kerja, peningkatan disiplin kerja kepada orang-orang lain sebagai bawahannya secara teratur dan rasional dengan harapan agar mereka bersedia secara ikhlas bekerjasama secara berdaya guna dan berhasil guna memenuhi sebagian besar kebutuhan dan keinginan para bawahannya.
Dalam rangka membantu meningkatkan kemudahan usaha-usaha pembinaan motivasi terhadap para pegawai yang dipimpinnya agar mereka benar-benar memiliki semangat kerja dan prestasi kerja yang tinggi, maka perlu diterapkan prinsip-prinsip motivasi yang tepat, terarah dan sistematis, prinsip-prinsip tersebut ada sembilan, yaitu :
a. Pihak pimpinan di lingkungan instansi atau organisasi senantiasa dapat menjadi teladan. Seorang pemimpin adalah “Seorang yang dapat menggerakkan orang lain di sekitarnya, bawahannya di dalam pengaruhnya untuk mengikuti pemimpin itu”.
b. Para manajer senantiasa berusaha memenuhi keinginan bawahannya yang erat hubungannya dengan kelancaran dan kesuksesan pekerjaan.
c. Kepada seluruh bawahan senantiasa dijelaskan tentang tujuan, kedudukan dasar hukum, fungsi program kerja dari pada badan usaha atau instansi yang bersangkutan.
d. Perlu diberikan cara-cara atau metode kerja yang jelas.
e. Perlu diusahakan hubungan dan kerja sama yang harmonis dikalangan pegawai baik vertikal maupun horizontal.
f. Perlu dibina dan dikembangkan kompetisi yang sehat dan dinamis untuk meningkatkan prestasi kerja.
g. Perlu diusahakan kecukupan mengenai sarana kerja yang dibutuhkan, misalnya : ruangan kerja, alat tulis kantor, biaya mesin-mesin dan lainnya.
h. Mengusahakan agar ditempuh pelimpahan wewenang dan tanggung jawab yang serasi melalui azas dekonsentrasi.
i. Perlu ditempuh azas-azas koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplikasi yang sehat dan dinamis.
Zainun (1986) mengatakan dalam bukunya “Manajemen dan Motivasi”, bahwa : Motivasi dapat dilihat dalam dua segi yang berbeda, yaitu :
Disatu pihak kalau dilihat dari segi aktif/dinamis, motivasi tampak sebagai suatu usaha yang positif dalam menggerakkan dan mengarahkan daya dan potensi tenaga kerja agar secara produktif berhasil dalam mewujudkan tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Sebaliknya kalau dilihat dari segi pasif/statis, maka motivasi akan nampak sebagai suatu kebutuhan dan juga sebagai perangsang untuk dapat menggerakkan potensi sumber daya kerja manusia tersebut ke arah yang diinginkan.

Motivasi dapat diartikan sebagai dorongan (daya penggerak) di dalam individu untuk melakukan kegiatan guna mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Setiap orang dalam hidupnya memerlukan kebutuhan, baik kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani. Dengan adanya kebutuhan tersebut akan mendorong adanya rangsangan (stimulasi) dan tingkah laku balas (respon). Menurut Wood Worth dalam Simanjuntak (1979) menyatakan bahwa:
“Motivasi adalah kondisi psikologis yang berada dalam diri seseorang yang mendorong untuk melakukan sesuatu kegiatan dengan baik, sehingga mencapai tujuan yang diharapkan”.

Ditegaskan oleh Rustiyah (1982) tentang motivasi, yaitu:
“Motivasi mempunyai peranan yang penting dalam berbagai bidang kehidupan. Timbulnya motivasi dalam diri seseorang disebabkan berbagai faktor, seperti adanya kebutuhan akan sesuatu hal, keinginan terhadap sesuatu, ingin tahu, kesenangan dan lain-lain. Motivasi seperti itu disebut motivasi intrinsik, sedangkan motivasi yang berasal dari luar diri seseorang disebut ekstrintik”.

Dari uraian dan beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa motivasi pada dasarnya ditimbulkan oleh dorongan (daya batin) yang timbul dari dalam diri seseorang. Motivasi merupakan proses psikologi timbal balik atau interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi serta keputusan untuk melakukan suatu tindakan atau kegiatan yang dipengaruhi oleh beberapa faktor yang timbul dari dalam diri seseorang. Pertama faktor internal seperti : kepribadian, sikap, tingkah laku. Kedua faktor eksternal, seperti : kondisi kerja, gaji, insentif/bonus dan beberapa kebijaksanaan organisasi lainnya.
Peranan dan pentingnya motivasi dijelaskan oleh beberapa ahli manajemen misalnya menurut Semidjo (1986), mengemukakan bahwa :
“Motivasi sebagai suatu yang dikatakan penting karena peran pemimpin itu sendiri kaitannya dengan karyawan. Tiap pemimpin mau tidak mau bekerja dengan bawahannya, untuk itu diperlukan kemampuan pemimpin memberikan motivasi kepada bawahannya”.

Ditegaskan oleh Manullang (1992) mengemukakan bahwa:
“Pentingnya motivasi adalah, untuk menggiatkan karyawan atau orang-orang, agar mereka bersemangat dan dapat mencapai hasil sebagaimana dikehendaki dari orang-orang tersebut”.

Dari pengertian di atas, disimpulkan bahwa pentingnya motivasi yaitu adanya kerjasama yang baik antara atasan dan bawahan serta untuk menggiatkan pegawai agar bersemangat dalam bekerja.
Salah satu tujuan organisasi adalah tingginya produktivitas kerja pegawai. Metode untuk meningkatkan prestasi kerja, antara lain memberikan motivasi bagi pegawai, tujuan pemberian motivasi pegawai sebagai berikut :
1. Pemenuhan kebutuhan hidup dan kesejahteraan sosial bagi pegawai.
2. Pengembangan tingkat kemampuan dan keahlian para pegawai serta manajer sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Jabatan dan status sosial di organisasi hanya memberikan tingkat kepuasan dalam jangka waktu tertentu. Oleh karena pada dasarnya manusia selalu berusaha guna meningkatkan prestasi atau kemampuannya secara optimal.
3. Menimbulkan perasaan pada diri setiap pegawai yaitu adanya rasa memiliki, saling menghargai sesama rekan kerja, bangga terhadap hasil kerjanya, puas atas jabatan yang diberikan dan rasa bangga atas kemauan yang dimilikinya.
4. Adanya kebosanan dalam tugas-tugas yang diberikan oleh organisasi, adanya kebosanan tersebut dimungkinkan oleh sifat pekerjaan, atau oleh faktor lingkungan dan hubungan-hubungan sosial. Dengan demikian perlu dijaga agar kebosanan-kebosanan tersebut jangan sampai berlarut-larut dialami oleh pegawai.
5. Mengurangi suasana frustasi, stress dan hambatan hubungan kerja. Sebab untuk menghilangkan sama sekali, merupakan sesuatu yang tidak mungkin, karena batas tingkat kepuasan seseorang tidak dapat diukur secara pasti.

6. Teori Pendidikan dan Latihan
6.1. Pengertian Pendidikan dan Latihan (Diklat)
Pendidikan dan latihan merupakan salah satu faktor yang penting dalam pengembangan sumber daya manusia. Pendidikan dan latihan tidak saja menambah pengetahuan, akan tetapi juga meningkatkan keterampilan kerja dan produktivitas kerja.
Pegawai baru biasanya telah memiliki kecakapan dan keterampilan dasar yang dibutuhkan perusahaan, tetapi tidak jarang pula pegawai baru yang diterima tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan yang diberikan. Bahkan pegawai lama pun masih banyak melakukan kesalahan-kesalahan dalam pekerjaan mereka.
Dalam usaha mendekati dan meraih manfaat latihan dan pengembangan, para spesialis sumber daya manusia dan manajer harus memahami kebutuhan akan latihan (need assessment), penyusunan dan tujuan-tujuan latihan dan pengembangan serta prinsip-prinsip belajar. Prinsip-prinsip belajar harus digunakan dalam penyusunan program seperti partisipasi dalam proses belajar mengajar, repetisi atau pengulangan setiap pelajaran, relevansi atau keterkaitan antara obyek-obyek latihan dengan tujuan-tujuan latihan, trasfer guru/instruktur dan peserta latihan dan akhirnya evaluasi keberadaan umpan balik (feedback).
Menurut Ranupandojo dan Husnan (1990) pendidikan diartikan sebagai berikut :
“Pendidikan dan latihan adalah suatu kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan umum seseorang, termasuk didalamnya peningkatan penguasaan teori dan keterampilan”.

Menurut Koswara (1980) mengemukakan definisi latihan/pelatihan, sebagai berikut:
“Pelatihan adalah kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan oleh setiap pimpinan dan pelatihan bagi karyawan mengenai arti pentingnya setiap bidang kerja yang bersangkutan sehingga mereka menjadi lebih menaruh minat dan perhatian terhadap bidang kerja serta sebagai jembatan untuk memperkembangkan pengetahuan, kecakapan, pengalaman dan karier karyawan”.

Dari kedua pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pelatihan adalah suatu proses belajar yang diarahkan kepada penajaman konsep, keterampilan dan sikap tertentu yang sesuai dengan tuntutan profesi dalam rangka meningkatkan prestasi kerja para pegawai.
Pelatihan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan seseorang agar dapat bekerja lebih efektif dalam mencapai tujuan perusahaan melalui standar-standar yang telah ditetapkan oleh pihak manajemen. Selanjutnya pegawai akan memiliki rasa percaya diri dan kompensasi.

6.2 Tujuan Pendidikan dan Latihan (Diklat)
Tujuan dilakukannya pendidikan dan latihan dapat dikemukakan sebagai berikut :
a. Peningkatan pengetahuan baik teknis maupun manajemen.
b. Peningkatan keterampilan yang lebih banyak bersifat teknis dan prosedur kerja yang sistematis.
c. Agar setiap peserta dapat melakukan pekerjaannya secara lebih efisien.
d. Mengurangi pengawasan.
e. Meningkatkan produktivitas.
f. Meningkatkan motivasi.
g. Meningkatkan semangat kerja.
h. Meningkatkan rasa tanggung jawab.
i. Meningkatkan kestabilan dan keluwesan organisasi.

6.3 Manfaat Pendidikan dan Latihan (Diklat)
Manfaat pendidikan dan pelatihan bagi pegawai atau perusahaan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu :
a. Bagi perusahaan manfaat yang diperoleh adalah :
 Pengurangan perpindahan pegawai.
 Pengurangan jumlah kerusakan dalam pemakaian bahan baku, peralatan serta perlengkapan lainnya.
 Peningkatan prestasi kerja pegawai.
b. Bagi karyawan manfaat yang dapat diperoleh adalah :
 Menambah kemampuan dalam pengetahuan dan kecakapan tentang kegiatan perusahaan.
 Mempersiapkan pegawai untuk memperoleh kesempatan untuk naik ke posisi jabatan yang lebih tinggi.
 Dengan pendidikan dan pelatihan dapat mengembangkan proses kejiwaan, meningkatkan harga diri, memperbesar rasa hormat orang lain terhadap dirinya baik di dalam maupun di luar perusahaan.

6.3.1 Metode Pendidikan Dan Latihan (Diklat)
Untuk melaksanakan pendidikan dan pelatihan yang baik agar dapat memberikan manfaat dan tercapainya tujuan yang diharapkan. Ada beberapa metode yang dapat dilakukan yaitu :
a. Metode di luar pekerjaan (off the job training)
Pendidikan dan pelatihan dengan menggunakan metode ini berarti pegawai sebagai peserta keluar sementara dari kegiatan atau pekerjaannya.
b. Metode di dalam pekerjaan (on the job training)
Pendidikan dan pelatihan ini berbentuk penugasan kepada pegawai baru oleh supervisor atau oleh pegawai lama yang sudah berpengalaman.
Cara ini mempunyai banyak keuntungan antara lain :
 Sangat ekonomis.
 Para peserta pendidikan dan pelatihan sekaligus berada dalam situasi kerja yang nyata.
 Memberikan praktek yang aktif bagi para peserta terhadap pengetahuan yang dipelajari.
 Para peserta belajar sambil berbuat dan dengan segera dapat mengetahui apakah yang dikerjakan itu benar atau salah.
7. Teori Kinerja Pegawai
7.1. Pengertian Kinerja
“Job Performance ialah succesful role achievement yang diperoleh seseorang dari perbuatannya”.
Dari batasan-batasan tersebut diketahui bahwa yang dimaksud dengan job performance ialah hasil yang dicapai oleh seseorang menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan. Tingkat keberhasilan seseorang di dalam melaksanakan tugas pekerjaannya dinamakan level of performance. Orang yang level of performancenya tinggi dikatakan orang yang produktif, sedang orang yang level of performance tidak mencapai standar disebut tidak produktif atau performancenya rendah. Jadi dapat disimpulkan bahwa kinerja (performance) seseorang dipengaruhi oleh dua hal, yaitu faktor-faktor individu dan faktor-faktor situasi.
Kinerja pegawai dalam organisasi merupakan tanggung jawab utama seorang manajer, dimana manajer membantu para pegawainya agar berprestasi lebih baik
Penilaian kinerja dilakukan untuk memberi tahu pegawai apa yang diharapkan manajemen untuk membangun pemahaman yang lebih baik satu sama lain. Penilaian kinerja harus mengkaji kinerja pegawai.
Suatu penilaian kinerja yang mengkaji kepribadian pegawai kurang berguna untuk mengkaji produktivitas atau kontribusi yang telah diberikan pegawai untuk mencapai sasaran-sasaran organisasi atau perusahaan. Sasaran penilaian kinerja adalah untuk membuat pandangan tentang diri mereka (pegawai) sendiri seperti apa adanya. Pegawai yang dinilai harus mengenali kebutuhan untuk memperbaiki kinerja kerja dan memberikan komitmen terhadap suatu rencana perbaikan kinerja. Harus ada kesepakatan bersama tentang rencana pengembangan untuk masa penilaian kinerja mendatang. Manajemen harus tetap mengawasi kemajuan pegawai sepanjang tahun pada saat rencana pengembangan tersebut dilaksanakan. Pegawai akan memberi respon yang lebih baik bila pegawai terlibat dalam penulisan standar kinerja untuk kinerja yang akan datang serta menggunakan ukuran-ukuran yang telah saling disepakati dengan pihak manajemen organisasi atau perusahaan.
Standar kinerja berfungsi sebagai tujuan-tujuan tertentu yang harus dicapai oleh pegawai dalam bekerja, dimana standar kinerja tersebut realistis, dapat diukur dan dapat dicapai oleh jabatan pekerjaan pegawai tersebut. Standar kinerja dapat dibuat untuk setiap individu dengan berpedoman pada uraian jabatan, dimana setiap pegawai mengusulkan sasaran-sasaran sendiri kepada manajemen secara tertulis, bila keduanya menyepakati setiap sasaran, kemudian dapat dibuat pernyataan sasaran secara tertulis. Umumnya setiap jabatan memiliki 5 sampai 10 uraian tugas yang diungkapkan secara spesifik dan dapat diukur yang terdiri atas pernyataan sasaran bagaimana sasaran tersebut diukur, serta langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelesaikannya.
Standar kinerja dianggap memuaskan bila pernyataannya menunjukkan beberapa bidang pokok tanggung jawab pegawai, membuat bagaimana suatu kegiatan kerja akan dilakukan dan mengarahkan perhatian kepada mekanisme kuantitatif bagaimana hasil-hasil kinerjanya akan diukur. Suatu contoh standar kinerja yang baik adalah “Kinerja dapat menerima bila 90% dari disain sistem umum disajikan kepada pemakai yang tepat pada waktunya dan pemakai menyetujui disain tersebut”.

7.2. Penilaian Kinerja
Bagi pegawai, penilaian memberikan umpan balik tentang pelaksanaan kerja mereka, misalnya tentang kemampuan, kekurangan, potensinya dan sebagainya yang pada gilirannya bermanfaat untuk perbaikan kinerja, penyesuaian kompensasi, pengembangan kariernya dan sebagainya. Sedang bagi organisasi atau perusahaan, hasil penilaian kinerja dapat dipakai sebagai pertimbangan untuk pengembangan keputusan, tentang berbagai hal, seperti kebutuhan program pendidikan dan latihan, rekrutmen, seleksi, program pengenalan, penempatan dan sistem imbalan.
Penilaian kinerja terdiri dari tiga langkah, yaitu mendefinisikan pekerjaan, menilai kinerja dan memberikan umpan balik. Mendefinisikan pekerjaan berarti memastikan bahwa pimpinan organisasi atau perusahaan dan pegawai sepakat tentang tugas-tugasnya dan standar jabatan. Menilai kinerja berarti membandingkan kerja aktual pegawai dengan standar yang telah ditetapkan.
Adapun faktor-faktor yang dinilai, dapat berbeda antara satu jenis pekerjaan dengan jenis pekerjaan lainnya. Hal ini tergantung pada segi-segi apa yang dipandang kritikal dalam mengukur keberhasilan seseorang dan menunaikan kewajibannya, seperti kesetiaan, prakarsa, kerajinan, ketekunan, sikap kerja sama, kepemimpinan, kejujuran, ketelitian, kecermatan dan kerapian.
Dessler (1992) menyebutkan beberapa faktor secara umum, yaitu :
1. Mutu – kecermatan, ketuntasan, dan dapat diterima kerja yang dijalankan.
2. Produktivitas – mutu dan efisiensi dari kerja yang dihasilkan dalam periode waktu tertentu.
3. Pengetahuan jabatan – keterampilan dan informasi praktis atau teknis yang digunakan pada jabatan.
4. Ketersediaan – sejauh mana seseorang dapat diandalkan menyangkut penyelesaian tugas dan tindak lanjut.
5. Ketersediaan – sejauh mana seseorang pegawai tepat pada waktunya meninjau periode istirahat yang ditetapkan dan catatan kehadiran keseluruhan.
6. Ketidaktergantungan – sejauh mana kerja dijalankan dengan sedikit atau tanpa supervisi.

7.3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kinerja
Faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation), hal ini sesuai dengan pendapat Davis (1981) yang merumuskan bahwa :
- Human Performance = Ability + Motivation
- Motivation = Attitude + Situation
- Ability = Knowledge + Skill
Faktor Kemampuan
Secara psikologis, kemampuan (ability) pegawai terdiri dari kemampuan potensi dan kemampuan realistis (knowledge + skill). Artinya pegawai yang memiliki kemampuan potensi di atas rata-rata, maka ia akan lebih mudah mencapai pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya (The Right Man In The Right Place, The Right Man On The Right Job).
Faktor Motivasi
Motivasi terbentuk dari sikap (attitude) seorang pegawai dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri pegawai yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi atau perusahaan.
Mc Clleland (1987) berpendapat bahwa “Ada hubungan yang positif antara motif berprestasi dengan pencapaian kinerja”.
Motif berprestasi adalah suatu dorongan dalam diri pegawai untuk melakukan suatu kegiatan atau tugas dengan sebaik-baiknya, agar mampu mencapai prestasi kerja (kinerja dengan predikat terpuji).
Selanjutnya Mc Clelland (1987) mengemukakan 6 karakteristik dari pegawai yang memilih motif berprestasi tinggi yaitu :
1. Memilih tanggung jawab pribadi yang tinggi
2. Berani mengambil resiko
3. Memiliki tujuan yang realistik
4. Memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang untuk merealisasikan tujuannya
5. Memanfaatkan umpan balik yang konkret dalam seluruh kegiatan kerja
6. Mencari kesempatan untuk merealisasikan rencana yang telah diprogramkan

Berdasarkan pendapat Mc Clelland tersebut pegawai akan mampu mencapai kinerja maksimal jika ia memiliki motif berprestasi tinggi. Motif berprestasi yang perlu dimiliki pegawai harus ditumbuhkan dari dalam diri pegawai dan akan membentuk suatu kekuatan diri dan jika situasi lingkungan kerja turut menunjang maka pencapaian kinerja akan lebih mudah.
Oleh karena itu kembangkanlah motif berprestasi kerja dalam diri dan memanfaatkan serta ciptakan situasi yang ada pada lingkungan kerja guna mencapai kinerja maksimal.

7.4. Pencapaian Kinerja Organisasi Atau Perusahaan
Kinerja suatu organisasi dapat dilihat dari seberapa efektif suatu produk/jasa diteruskan pada para pelanggan. Sumber Daya Manusia adalah perancang, penggagas dan yang meneruskan pelayanan-pelayanan tersebut. Karenanya, salah satu sasaran dari Manajemen Sumber Daya Manusia adalah menciptakan kegiatan yang memberi kontribusi menuju superior organization performance (Forbringer and Oeth, 1998). Hanya dengan cara ini para praktisi Sumber Daya Manusia menyesuaikan klaim yang telah mereka berikan pada suksesnya strategis suatu organisasi/perusahaan.

Penutup

Kalau diibaratkan sebuah kapal, DJP adalah sebuah kapal besar yang setiap gerakannya tentu membutuhkan ketelitian dan kecermatan. Sedemikian besarnya kapal kita sehingga apabila ada perubahan arah, para penumpang yang ada di dalam kapal mungkin tidak merasakannya. Namun, apabila kita naik ke atas dek, tentu dapat kita lihat dengan jelas betapa kapal kita telah berubah arah. Dari atas dek itu, kita menjadi yakin bahwa pada tahun-tahun lalu kita berlayar mengarungi ombak besar dan batu karang, tahun ini kapal itu telah berubah arah menuju laut lepas sehingga segera dapat melaju ke arah pulau yang dituju.
Meskipun disana-sini kita masih melihat kekurangan dan menghadapi sejumlah tantangan, secara umum dengan modernisasi kita telah on track dan mulai memasuki jalan panjang untuk menuju organisasi yang profesional dan berkelas dunia. DJP telah bergerak maju untuk mewujudkan visi yang telah ditetapkan. Ke depan, saya percaya bilamana organisasi kita (DJP) dikelola dengan sikap yang lebih profesional dan lebih konstruktif, kinerja DJP masih dapat terus ditingkatkan.

Penulis adalah Kasi Pengawasan dan Konsultasi l KPP Madya Jakarta Utara




Tentang Penulis


Imam Nashirudin,SE.,Ak,MM lahir di Kebumen, 17 November 1969. Menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Ekonomi, Jurusan Akuntansi UGM (1994) dan menyelesaikan pendidikan S2 di Jakarta.
Tahun 1994 – 1997 bekerja di PT Tensindo Group sebagai kepala bagian pembenahan dan pengembangan sistem. Tahun 1997 hingga sekarang bekerja di Direktorat Jenderal Pajak. Penugasan pertama sebagai pelaksana di KPP Tegal (1998). Tahun 2000 promosi ke KPP Cilacap sebagai Korlak PPh badan dan tahun 2002 promosi menjadi kasi TUP KPP Salatiga. Tahun 2004 pindah tugas ke Bidang PPN Kanwil DJP Jakarta IV. Tahun 2005 pindah tugas ke KPP Madya Batam sebagai kasi pemeriksaan. Tahun 2007 hingga sekarang bertugas di KPP Madya Jakarta Utara sebagai kasi waskon l.

Rabu, 09 Juli 2008

NEGARA AGRARIS YANG KEKURANGAN PANGAN

(Versi Indonesia dari artikel Sdr abdul Zaini, yang dikirimkan dan telah dimuat di Forum Solusi Untuk Indonesia)


Oleh : Abdul Zaini *


Harga pelbagai kebutuhan pokok yang tinggi kita rasakan bersama dari hari ke hari harga kebutuhan pokok tak kunjung turun tetapi bahkan terus merangkak naik mulai dari beras, minyak goreng, kedelai, lombok dan lain-lain. Tentunya bagi keluarga yang memiliki penghasilan pas-pasan harus pandai-pandai mengatur keuangan bahkan tak jarang banyak masyarakat kita yang harus gali lubang tutup lubang untuk mempertahankan hidup. Bagi mereka sekedar untuk makan merupakan hal yang sangat istimewa.


Sebagai anak seoarang petani kecil di desa saya benar-benar merasakan bagaimana memprihatinkan menjadi keluarga petani, saya yang waktu itu masih umur belasan tahun harus membantu orang tua untuk bisa sekolah, yaitu dengan memelihara kambing karena memang penghasilan orang tua dari pertanian memang tidak mencukupi. Penghasilan orang tua saya hanya bisa digunakan untuk makan sehari-hari. Di daerah kami yang mayoritas adalah petani berusaha mencari pendapatan lain dengan memelihara binatang ternak dan dengan modal yang ala kadarnya maka tak jarang kami serumah dengan binatang ternak kami.


Dalam diri saya atau mungkin setiap anak petani tidak bercita-cita untuk menjadi petani karena hasil dari pertanian tidak menjanjikan untuk dapat hidup layak dengan naiknya harga pupuk, dan rendahya harga jual beras, cabe, bawang dan produk pertanian lainnya waktu musin panen membuat petani selalu mengalami kerugian ataupun hasilnya hanya cukup untuk makan sehari-hari.


Negara kita merupakan negara agraris yang hampir 60 % penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan tinggal di desa-desa tentunya ini adalah potensi yang sangat besar. Pada pemerintahan presiden Soeharto negara kita pernah mengalami swasembada beras bahkan negara kita ekspor beras ke negara lain. Melihat kondisi sekarang sangat bertolak belakang hampir semua bahan pokok yang ada di negara kita impor dari negara lain ketergantungan ini yang sulit untuk diantisipasi dari dalam negeri sehingga kalau negara pengekspor bergejolak perekonomiannya maka negara kita terkena imbasnya.


Sektor pertanian belum mampu menjadi pemasok kebutuhan pangan dalam negeri, hasil pertanian yang jauh dari layak menyebabkan sektor ini jarang dijadikan tumpuan hidup oleh generasi muda profesi petani merupakan jalan terakhir sehingga kualitas pertanian kita rendah dibandingkan dengan negara lain, sumber daya manusia terserap ke sektor-sektor lain yang lebih menjanjikan dan lahan pertanian banyak yang biarkan kosong.


Kebijakan pemerintah yang telah ditempuh belum mampu mengatasi hal ini, dari segi kesejahteraan petani masih tetap seperti tahun-tahun sebelumnya dan belum ada perubahan yang berarti. Diharapkan kedepan sektor pertanian harus menjadi skala prioritas bagi setiap rezim pemerintah yang memimpin negeri ini, kebijakan yang berkesinambungan yang diperlukan meskipun berganti-ganti presidennya tetapi kebijakan pertanian seharusnya memiliki arah yang jelas.


Kebijakan yang berkesinambungan ini pernah diterapkan pada masa pemerintahan Presiden Soharto yaitu dengan Repelita dan hasilnya cukup memuaskan. Pemerintahan sekarang tak ada salahnya belajar dari keberhasilan yang telah dicapai oleh pada masa Orde Baru.


Untuk mencapai swasembada pangan maka sektor pertanian harus di dorong seoptimal mungkin yaitu dengan menjadikan sektor pertanian sebagai andalan produksi dalam negeri yaitu dengan menyediakan sumber daya manusia yang mengerti tentang pertanian. Untuk itu sektor pertanian harus menjadi sektor yang menjanjikan dan menjamin kesejahteraan bagi para petani sehingga generasi muda tertarik bahkan bangga menjadi seorang petani.


Anak seorang petani Desa Sukosari Kecamatan Mantup Kabupaten Lamongan Jawa Timur
Sekarang tinggal di Balikpapan Kalimantan timur

Kamis, 03 April 2008

Agricultural Country Which Lacking Of Food Ironic Really

By : Abdul Zaini*


Price all sort of requirement of high fundamental us feel with from day to day price requirement of fundamental still not go down but even continue to crawl to go up to start from rice, cooking oil, soy, paprika and others. It is of course to family owning production by the skin of one's teeth have to be clever arrange finance even do not seldom many society we which must rob Peter to pay Paul to live on. For them simply to eat to to represent very special matter.

As child a small farmer in my countryside really feeling how to concern to become farmer family, I who at that time still age flog year have to assist old fellow to be able to go to school, that is by looking after goat because it is true production of old fellow of agriculture it is true fall short. Production of my old fellow only can be used to eat everydayly. In our area which is majority is farmer try to look for other earnings by looking after livestock animal and with capital which its rate ala hence do not we are house seldom with our livestock animal.

In myself or possible each every farmer child do not want to become farmer because result of from agriculture do not promise to be able to live competent gone up him manure price, and lower price him sell rice, cabe, other agriculture product and onion of time of musin crop make farmer always experience of loss and or its result only last for eating is everyday.

Our state represent agricultural country which almost 60 % its resident have living as farmer and live in countrysides it is of course this isvery big potency. At governance of president of Soeharto state we have experienced of the self sufficiency rice even our state of rice exporting to other state. See present condition very leaving for behind most of all staple exist in our state of import of depended other state this which difficult to anticipate from within country so that if state of exporter flare up its economics hence our state is hit by its glimpse.

Agricultural sector not yet can become the source of requirement of domestic food, agricultural produce which far from competent cause this sector seldom be made by fulcrums live by farmer profession the rising generation represent as a last resort so that the quality of agriculture of compared to low us of other state, absorbent human resource to other sectors which more promising and agriculture farm a lot let emptily

Policy of government which have been gone through not yet can overcome this matter, from facet prosperity of farmer still like yrs. previously and there is no change meaning. To be expected to the fore agricultural sector have to become priority scale for every governmental regime which lead this country, continual policy which needed though flit its president but policy of agriculture ought to have clear direction.

Continual policy have been applied at a period of governance of President of Soharto that is with Repelita and result nya is well enough. Governance now nothing;there is no is wrong of him learn from efficacy which have been reached by at a period of New Order.

To reach self sufficiency in food hence agricultural sector have to in pushing as optimal as possible that is by making agricultural sector as domestic product pledge that is by providing human resource understanding about agriculture. For that agricultural sector have to become sector promising and guarantying prosperity to all farmer so that the rising generation interest proud to even become a farmer.


* Child a farmer of Countryside of Sukosari District Of Mantup Sub-Province of Lamongan East Java
* Now live in town of Balikpapan Province of Kalimantan east

Senin, 17 Maret 2008

BPK RI VS Direktorat Jenderal Pajak : Upaya-upaya BPK Menembus Dinding Tebal DJP

Oleh: Putri Widyawati


Sesuai dengan amanat konstitusi yang dituangkan dalam amandemen UUD 45 pasal 23E bahwa BPK RI sebagai satu-satunya lembaga eskternal pemeriksa keuangan negara.
Keuangan negara yang menjadi obyek pemeriksaan BPK adalah keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang meliputi pula di dalamnya pengelolaan dan tanggung jawab penerimaan negara yang bersumber dari pajak.

Berkaitan dengan itu, BPK mempunyai kewenangan memeriksa Direktorat Jenderal Pajak, sebagai institusi yang memberi kontribusi paling besar dalam menyumbang APBN mencapai 70%.
Namun kewenangan BPK harus terganjal dengan pasal 34 UU No 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Polemik tentang pemeriksaan oleh BPK terhadap Institusi DJP sampai saat ini belum menemui titik temu kesepakatan. Berbagai alternatif telah diupayakan.
Ketua BPK, Anwar Nasution pernah mengirim surat kepada Ketua DPR RI Agung Laksono. Dalam surat tersebut Ketua BPK menyampaikan pendapat BPK mengenai RUU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang saat itu drafnya sedang dibahas Panitia Khusus (Pansus) DPR.

Berkaitan dengan pembatasan akses pemeriksaan itu, dalam surat itu BPK mengimbau DPR untuk mengubah ketentuan dalam Pasal 34 Ayat 2a huruf b Undang-Undang Perpajakan. Karena dinilai bertentangan dengan Pasal 23 E UUD 1945, yang memberikan kedudukan konstitusional bagi BPK sebagai satu lembaga pemeriksa keuangan negara.
Tetapi rupanya RUU telah ditetapkan menjadi UU No 28 tahun 2007 dan pasal 34 masih tidak berubah. Dan langkah BPK untuk memeriksa penerimaan dan piutang dari sektor pajak terganjal.

Sebenarnya hubungan antara BPK dan DJP mengalami pasang surut. Tahun 2001 – 2006 barangkali merupakan hubungan terbaik antara BPK RI dan DJP. Dimana BPK dapat melakukan pemeriksaan dan mendapat akses masuk memperoleh data-data yang diperlukan. Tidak banyak kendala yang diperoleh karena tiap tahun BPK mengajukan surat permohonan ke Menteri Keuangan untuk mendapat akses masuk terhadap data-data. Dan dari DJP selalu mendapat respon baik dengan dikeluarkan semacam Surat Keputusan dari Dirjen Pajak tentang ijin memperoleh data-data yang dibutuhkan dalam rangka pemeriksaan.

Namun sejak tahun 2007, surat ijin tersebut menjadi barang langka yang tidak bisa dikeluarkan oleh Dirjen Pajak maupun Menteri Keuangan, dengan alasan pasal 34 ayat (1) dan ayat (2a) UU 28/2007.
Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2a) UU 28/2007 lengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2a) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) adalah:
a. Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan.
b. Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara.

Berulang kali BPK melayangkan surat ke DJP maupun Menteri Keuangan, tapi tidak mendapatkan hasil yang diharapkan.

Menurut penulis, ada beberapa alternatif yang dapat dicoba berkaitan dengan pembatasan pemeriksaan. Dapat digunakan untuk jangka menengah atau jangka panjang. Alternatif yang penulis sajikan sebenarnya adalah kumpulan dari yang pernah penulis baca dari berbagai media.

Pak Anwar Nasution dalam kapasitasnya sebagai pimpinan lembaga negara, tentu bisa memperoleh selembar surat, seperti yang bernomor S-1234/MK.04/1987 yang ditandatangani Menteri Keuangan (saat itu) Radius Prawiro. Surat itu dikirim kepada Menko Ekuin dan Pengawasan Pembangunan pada 3 November 1987. Surat bertajuk Realisasi pemberian restitusi pajak itu muncul setelah Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan bukti bahwa dalam proses pemberian restitusi pajak telah terjadi sejumlah penyimpangan. Dokumen itu kemudian dibawa ke sidang kabinet dan disampaikan langsung kepada Presiden (saat itu) Soeharto. Menanggapi temuan BPKP itu, Radius menjawab dengan mengutip Pasal 34 UU KUP lengkap dengan penjelasannya, persis seperti disampaikan oleh Darmin maupun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Mendengar penjelasan tersebut, Presiden Soeharto menjawab, "Jika menteri keuangan tidak bisa membuat surat izin kepada BPKP untuk mengaudit pajak, maka saya sendiri yang akan menandatangani surat itu." Tidak sampai 24 jam kemudian, kata seorang mantan pejabat BPKP, sebuah surat dengan tembusan kepada Kepala BPKP dan Dirjen Pajak sudah ada di meja kerja Menko Ekuin dan Wasbang saat itu. Surat itu menjadi awal kerja sama Ditjen Pajak dan BPKP yang terus berlangsung hingga hari ini, tak sebatas pemeriksaan khusus restitusi pajak, tetapi juga pemeriksaan khusus WP grup, pemeriksaan khusus WP potensial, tim pemeriksaan gabungan dan tim optimalisasi penerimaan negara. Mungkinkah surat Radius itu bisa dijadikan yurisprudensi, sehingga BPK, yang derajatnya di atas BPKP, bisa mengaudit pajak?

Atau bisa juga perang dingin ini dicairkan dengan semacam Mou atau kesepakatan antara BPK RI dengan DJP tentang kemudahan BPK RI mendapatkan data-data yang diperlukan, sementara pihak DJP juga tidak dianggap melakukan pelanggaran pasal 34. Seperti yang sedang diusahakan selama ini. Sehingga akan diperoleh win-win solution.

DJP menawarkan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bisa memeriksa Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) untuk menilai kinerja petugas pajak. Namun pemeriksa harus menandatangani komitmen untuk tidak membuka hasil pemeriksaan kepada publik.
Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution mengatakan pihaknya telah tiga kali bertemu dengan Ketua BPK Anwar Nasution untuk membicarakan protokolnya. Pembicaraan itu telah dilakukan sejak satu tahun lalu.
"Saya sudah bicarakan dengan Pak Anwar. Kalau yang mau dinilai kinerja petugas pajak, ya bisa dilihat hasil pemeriksaan SPT petugas pajak,: kata Darmin di Gedung DPR Jakarta, kemarin. Menurut dia, pembicaraan masih berjalan hingga saat ini.
Dirjen Pajak Darmin Nasution mempersilakan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit hasil pemeriksaan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) petugas pajak. Namun, ia meminta agar BPK tidak memeriksa seluruh SPT Wajib Pajak. "Kita menawarkan ke BPK, untuk hasil pemeriksaan silakan dicari sampel. Kan, nggak mungkin juga kalau diperiksa semua. Terserah kepada BPK untuk memilih sampelnya. Nah, itu boleh diperiksa," kata Dirjen Pajak Darmin Nasution kepada wartawan. Menurutnya, dari sampel yang diambil BPK harus diperiksa secara menyeluruh untuk mengetahui berapa banyak petugas pajak yang melakukan penyimpangan. Selain itu, BPK juga harus memberitahu berapa banyak petugas pajak yang memeriksa dengan benar. "Kalau sampelnya 500, ya 500-nya yang diperiksa. Dan hasilnya kita minta, dari 500 itu berapa petugas pajak yang pemeriksaannya betul. Berapa yang tidak betul,"
katanya.

BPK belum bisa menerima tawaran tersebut, karena tetap saja ada pembatasan akses data pemeriksaan.
Apalagi pernyataan Pak Darmin di anulir lagi oleh Bu Menteri.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai pernyataan Dirjen Pajak tidak dapat diartikan bahwa BPK dapat mengakses wajib pajak sampai detail. "Jadi bukan berarti BPK dapat mengakses data wajib pajak hingga detail. Informasi yang akan diberikan kepada auditor BPK hanya besaran setoran pajak dari masing-masing wajib pajak," jelasnya. Menurut dia, pada dasarnya pemerintah tidak menginformasikan hal baru terkait dengan audit yang akan dilakukan BPK di Ditjen Pajak.

Kesepakatan belum dicapai, dan BPK telah mempersiapkan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Seperti yang terjadi saat sekarang.
Badan Pemeriksa Keuangan tetap menginginkan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, yang merupakan amandemen ketiga Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Ketua BPK Anwar Nasution menegaskan pihaknya tetap akan mengajukan rencana uji materi (judicial review) terhadap undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
Pernyataan Anwar sekaligus menegaskan bahwa BPK enggan menempuh jalur dialog dengan Departemen Keuangan. Alasannya, kebaikan hati pejabat pemerintah saat ini tidak menjamin amanat konstitusional yang dimiliki BPK tetap berjalan.

Bahwa apa yang dilakukan oleh BPK selama ini, agar bisa mengakses data ke DJP adalah sebagai sebuah upaya. Sehingga BPK sebagai pemeriksa eksternal keuangan negara dapat melakukan tugasnya sesuai dengan yang diamanatkan dalam konstitusi.
Bahwa dalam melaksanakan amanat konstitusi tersebut BPK mendapat ganjalan dari sebuah peraturan yang lahir dari pemerintah setelah melalui persetujuan DPR, yaitu pasal 34 UU no 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan dan Tata Cara Perpajakan.

Dalam mencapai cita-cita, seseorang harus punya rencana A, rencana B, rencana C dan selanjutnya. Jika rencana A gagal, maka gunakan rencana B. Jika rencana B gagal gunakan rencana C dan seterusnya. Bisa juga untuk mencapai cita-cita dengan menggabungkan beberapa rencana. Makin banyak alternatif rencana, makin mudah mencapai cita-cita.
Jika BPK diibaratkan seseorang yang sedang meraih cita-cita, maka BPK telah menempuh rencana A. Sementara rencana A belum menemukan hasil, rencana B telah dijalankan.
Semoga BPK masih mempunyai banyak rencana, agar dapat masuk, menembus dinding tebal DJP untuk mencapai tujuan seperti yang sudah diamanatkan dalam konstitusi.

*Penulis tinggal di Jakarta

Menggali Potensi Penerimaan Negara dari Zakat sebagai Solusi Pengentasan Kemiskinan. Mungkinkah?

Oleh: Kartika Sari


Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) meminta DPR menjadikan zakat sebagai pengurang pajak karena zakat dapat berperan dalam pengentasan kemiskinan. Karena itu, DPR diminta untuk segera mengamandemen UU Pajak Penghasilan (PPh).
Saat ini zakat baru ditetapkan sebagai pengurang penghasilan kena pajak (PKP) dan bukan sebagai pengurang langsung atas pajak. Hal tersebut berdasarkan UU No 17 tahun 2000 tentang amandemen atas UU No 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan (PPh) dan UU No 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Kebijakan tersebut dinilai tidak berdampak besar terhadap perkembangan zakat di Indonesia.

Akhir-akhir ini, berkembang aspirasi untuk mengamandemen UU No. 38/ 1999 dan revisi UU No. 17 tahun 2000 yang sedang dalam pembahasan. Berbagai usulan telah disampaikan agar pembayaran zakat mengurangi kewajiban pajak (tax deductable).
Keinginan tersebut sama sekali bukan tanpa dasar. Di negara-negara Amerika dan Eropa, donasi yang dikeluarkan perseorangan atau perusahaan diterima pemerintah sebagai bagian pembayaran pajak. Di Malaysia, zakat yang dibayarkan telah diakui sebagai pengurang pajak.

Zakat memiliki peran sosial sama seperti pajak. Termasuk berperan pengentasan kemiskinan. Karena itu, zakat sudah selayaknya menjadi pengurang pajak agar masyarakat termotivasi untuk membayar zakat. Dengan demikian, zakat sebagai pengentas kemiskinan dapat berkembang pesat di Indonesia.
Ketua I Baznas, Eri Sudewo juga mengungkap hal serupa. Bila pajak dapat dijadikan sebagai pengurang pajak, maka zakat dapat menjadi instrumen pendukung program pemerintah. Hal tersebut dilakukan dengan mendorong pengelolaan pajak untuk kepentingan infrastruktur non sosial. Sedangkan, zakat untuk pengelolaan sosial. `’Jadi, zakat dikelola untuk kepentingan sosial pengentas kemiskinan dan bencana. Sedangkan, pajak digunakan untuk membangun infrastruktur. Saya kira konsep ini cukup tepat,” katanya.

Penanganan kemiskinan dengan mendorong perkembangan zakat lebih baik dibandingkan dengan berutang ke luar negeri. Namun, saat ini, pemerintah memilih menangani persoalan kemiskinan di Indonesia dengan mencari utang luar negeri.
Berdasarkan hasil pengkajian Baznas, potensi zakat profesi satu tahun di Indonesia bisa mencapai sekitar Rp 32 triliun. Kalau potensi dana zakat tersebut disadari pemerintah dan dikelola dengan baik, maka permasalahan kemiskinan di Indonesia dapat diatasi dengan segera tanpa harus berutang.
Dualisme kewajiban pajak dan zakat tersebut telah dikompromikan dengan Undang-undang nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat dan Undang-undang nomor 17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan, dengan mengakui zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak.

Sayangnya, karena zakat hanya diakui sebagai biaya, maka dampak bagi kewajiban pajak masih relatif kecil. Sehingga regulasi tersebut belum cukup efektif untuk meningkatkan pajak maupun zakat. Lain halnya jika pembayaran zakat mengurangi kewajiban pajak, hilangnya kewajiban ganda itu tentu sangat melegakan umat Islam.
Ada kekhawatiran pada sebagian kalangan, bila zakat mengurangi pajak, maka perolehan pajak akan berkurang. Kekhawatiran tersebut tidaklah beralasan. Penerimaan zakat tidak akan banyak mengurangi penerimaan pajak.
Fakta empiris membantah kekhawatiran tersebut. Data penerimaan zakat dan pajak di Malaysia selama tahun 2001-2006, terlihat bahwa peningkatan zakat ternyata seiring dengan peningkatan pajak. Artinya saat zakat mengurangi pajak, maka penerimaan zakat dan pajak justru meningkat.
Beranikah kita mencontohnya?
Di negara serumpun, Malaysia, realisasi pengelolaan zakat oleh negara bukan basa-basi. Hasilnya sangat signifikan. Di Malaysia, pendapatan zakat dan pajak mengalami peningkatan pasca penerapan kebijakan zakat sebagai pengurang pajak. Ternyata, dana pajak yang dikumpulkan tidak mengalami penurunan. Dalam laporan Kementerian Keuangan Malaysia 2006 dan Laporan Pusat Pungutan Zakat Malaysia 2006, terungkap bahwa pendapatan pajak dan zakat memiliki korelasi positif. Ustadz Didin mengambil contoh, pada tahun 2001 pendapatan zakat sebesar 321 juta ringgit dan pendapatan pajak berkisar pada angka 79,57 milyar ringgit. Tahun berikutnya, pendapatan zakat naik menjadi 374 juta ringgit. Demikian pula dengan pendapatan pajak yang naik menjadi 83,52 milyar ringgit. Pada tahun 2005, pendapatan zakat telah mencapai angka 573 juta ringgit, sedangkan pajak 106,3 milyar ringgit. Dengan demikian, prosentase pendapatan zakat terhadap pajak relatif konstan, yaitu berkisar antara 0,4% (2001) hingga 0,54% (2005), tegasnya.
Prof. Dr. H. Didin Hafidhuddin, Ketua BAZNAS, mengatakan bahwa UUD Pasal 34 telah mengamanatkan kepada negara untuk memperhatikan dan mengangkat nasib fakir miskin, akan tetapi hingga kini menurut beliau belum ada UU khusus yang berbicara pengentasan kemiskinan. Oleh karena itu menurut Ustadz Didin, sangatlah tepat jika zakat dijadikan instrumen oleh negara dalam mengurangi angka kemiskinan. Disinilah relefansi usulan agar zakat dapat mengurangi pajak, bukan hanya sekadar pengurang penghasilan kena pajak, berdasarkan UU No. 17 tahun 2000 dan UU No. 38 tahun 1999.
Perlu juga disadari bahwa sesungguhnya antara UU no 17/2000 dan UU No 38/1999 tidaklah konsisten. Sebab seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa didalam UU No 17/2000 dinyatakan bahwa yang dapat dikurangkan atas penghasilan kena pajak hanyalah zakat penghasilan (zakat profesi). Padahal pada saat yang sama di dalam UU No 38/1999 disebutakan bahwa zakat (tanpa ada embel−embel atas penghasilan) dapat dikurangkan atas penghasilan kena pajak. Sementara sangat jelas bahwa yang dimaksud zakat di dalam UU No 38/1999 adalah semua harta yang wajib disisihkan oleh kaum muslimin sesuai dengan ketentuan agama, yang terdiri atas ; emas, perak, dan uang ; perdagangan dan perusahaan; hasil pertanian; hasil perkebunan; hasil pertambangan; hasil peternakan; hasil pendapatan dan jasa; serta rikaz.
Hal lain yang patut disayangkan, bahwa UU Zakat tidak menetapkan sanksi yang seimbang antara pengelola dan muzaki.Dikatakan dalam UU No 38 / 1999 pengelola zakat yang terbukti lalai tidak mencatat atau mencatat secara tidak benar harta zakat, infak, sedekah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat, diancam hukuman kurungan selama−lamanya tiga bulan dan atau denda sebanyak−banyaknya Rp 30 juta. Idealnya, sanksi hukum tidak hanya dikenakan kepada pengelola zakat saja, tapi juga kepada muzaki yang tidak melaksanakan kewajibannya.
Bicara zakat di Indonesia, agaknya tertakdir kisruh. Guratan sejarah tak bisa ditepis, profesionalitas pengelolaan zakat dimulai dari masyarakat. LAZ bangkit karena negara tak mau tahu soal zakat. Diakui atau tidak, UU 38 tahun 1999 diilhami maraknya LAZ. Namun hadirnya UU itu, agaknya disemangati memangkas LAZ. Saat Jusuf Kalla menjabat Menko Kesra di era Gus Dur, ia tak sepakat zakat dikelola negara. Hal senada diulang ketika Munas FOZ di Balikpapan tahun 2003. Alasannya sederhana, dia tak percaya.
Sepekan menjelang tutup Ramadhan 1427 H, Presiden SBY tunaikan zakat via Baznas. Esoknya Wapres RI juga bayar zakat. Namun JK tetap konsisten dengan opininya. Zakatnya tak ditunaikan di lembaga bentukan pemerintah. JK punya postulat sendiri, yang pilihannya jatuh pada LAZ NU (Nahdatul Ulama).
Sebagian pejabat yang berwenang di zakat, meyakini bahwa soal zakat di Indonesia bersumber pada UU 38 tahun 1999. Namun bagi arsitek UU, pengelolaan zakat belum menjalankan petuah UU. Jika ditilik dari isi UU itu, ada dugaan terjadi pemaksaan multiperan di satu tubuh. Baznas dipaksa punya tiga peran: regulator operasional, pengawas, dan sekaligus berfungsi sebagai operator. Mustahil bisa diraih kinerja terbaik, jika pengatur laku berperan juga sebagai pengawas dan bahkan jadi pemain.
Sudah berkali-kali kelembagaan zakat diadvokasi untuk dibenahi. Ada tiga alternatif yang digagas. Pertama, jika pemerintah sungguh-sungguh, bentuk segera kementerian zakat dan wakaf. Agar efisien dan efektif, pilih kementerian non-departemen. Mintalah bantuan Ditjen Pajak sebagai gerai penghimpunan zakat di seluruh Indonesia. Syaratnya, dengan terpaksa Baznas ditutup, agar tak terjadi dualisme manajemen dan komando.
Alternatif kedua, bentuk Ditjen Zakat sederajat dengan Ditjen Pajak. Agar zakat bisa mengurangi pajak, Ditjen Zakat ditempatkan di Depkeu. Karena tugasnya hanya menghimpun dana, maka pendayagunaan zakat mesti melibatkan BAZ kabupaten/kota dan LAZ. Alternatif ketiga, jika ditjen sulit dibentuk, saatnya Baznas diprofesionalkan. Ihlaskan Baznas independen di bawah presiden atau wapres.
Dana zakat yang terhimpun dimasukkan ke dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan penggunaan PNBP dana zakat sesuai dengan prosedur penggunanaan PNBP. Dalam penyaluran dana zakat disesuaikan dengan Alquran dan Sunnah Rosul, yang ditetapkan dalam suatu peraturan dari pemerintah. Selain itu, yang tak bisa ditawar-tawar lagi adalah SDM pengelolanya haruslah handal, berkualitas, amanah, dan memiliki kafa’ah (kapabilitas) syari’ah dan manajamen zakat tentunya. Oleh karena itu, SDM yang selama ini mengelola BAZ dan LAZ dengan amanah dan profesional, harus dilibatkan, tentunya setelah melalui proses fit and proper test yang ketat. Dengan demikian diharapkan, jika zakat dikelola ‘satu pintu’ oleh negara oleh SDM profesional dan amanah, selain lebih ‘yunnah’ juga insya Allah akan lebih multimanfaat bagi ummat.
Apabila yang diinginkan Baznaz dikabulkan pemerintah, yaitu zakat sebagai pengurang pajak. Dilanjutkan dengan pengelolaan dana zakat yang transparan dan profesional maka itu adalah kemajuan yang hebat. Umat Islam tidak ragu-ragu menunaikan zakatnya melalui lembaga resmi pemerintah. Dan saya yakin, dana zakat yang terhimpun akan optimal, dan sangatlah tepat jika zakat dijadikan instrumen oleh negara dalam mengurangi angka kemiskinan.
Karena seiring dengan kekuatan yang besar, datang tanggungjawab yang besar.

Penulis adalah seorang dosen dan tinggal di Jakarta

Selasa, 04 Maret 2008

PENYELESAIAN PALSU DALAM PEMERIKSAAN

Oleh: Imam Nashirudin, SE., Ak, MM[1]

Pemeriksaan dilakukan dengan tujuan Untuk menguji kebenaran, kewajaran dan merefleksikan kondisi perusahaan, ataupun kondisi suatu institusi/departemen yang sebenarnya. Laporan keuangan yang sudah di audit tadi kemudian dipakai sebagai dasar oleh berbagai pihak untuk pengambilan keputusan.

Maka, kalau laporan keuangan yang sudah diaudit tadi ternyata tidak mencerminkan kebenaran atau kewajaran, celakalah yang mengambil keputusan. Lalu yang menjadi pertanyaan vital adalah, apakah laporan audit di indonesia dapat dipercaya sebagai cerminan dan gambaran kewajaran dan kebenaran suatu perusahaan/Organisasi/institusi? Untuk menjawabnya kita perlu belajar dari sejarah, Kita bisa menengok kasus kredit macet di BPPN yang nilainya mencapai trilliunan rupiah. Dalam tulisan ini Saya tidak akan membahas panjang lebar tentang krisis ekonomi yang diawali dengan krisis perbankan tersebut. Pada saat ini saya akan membahas timbulnya penyelesaian palsu dalam pemeriksaan yang dampaknya berimbas ke berbagai sektor termasuk sektor perbankan dan berakibat sangat buruk bagi perekonomian kita.
Auditor dalam suatu organisasi merupakan subyek dari dua sumber kekuasaan yang berbeda, yaitu kekuasaan birokratis dan kekuasaan profesional. Kekuasaan profesional merupakan kompetensi keahlian yang diakui, yang mendorong seseorang untuk secara sukarela mengikuti arahan profesinya. Sedangkan kekuasaan birokratis sebaliknya, merupakan kekuatan perintah yang memiliki legitimasi karena berada dalam posisi resmi, yang mewajibkan bawahannya untuk mengikuti arahan dibawah ancaman atau sanksi.
Tekanan dari pimpinan atas perilaku etis, faktor mental dan rendahnya kemampuan teknis auditor dalam hal pemeriksaan akan mendorong seorang auditor untuk membuat penyelesaian palsu dalam pemeriksaan (false sign of). False sign of atau penyelesaian palsu adalah suatu tindakan dari seorang auditor yang membuat laporan tidak sesuai dengan temuan faktual di lapangan, ataupun membuat laporan pemeriksaan yang tidak didasarkan atas pengujian yang semestinya. Hal ini biasanya disebabkan oleh banyaknya tugas pemeriksaan yang harus diselesaikan, pendeknya jangka waktu pemeriksaan, rendahnya penguasaan teknis pemeriksaan, intervensi pimpinan, ataupun masalah mental pemeriksa.

KEBIJAKAN PEMERIKSAAN
Dalam tulisan ini saya ingin mengusulkan perlunya peninjauan kembali tentang beberapa aturan kebijakan pemeriksaan di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, di lingkungan dimana sekarang saya bekerja, diantaranya tentang kebijakan pemeriksaan dengan kriteria rutin khususnya pemeriksaan untuk kriteria SPT lebih bayar, mengingat jumlah tenaga fungsional yang dimiliki DJP sangat terbatas sedangkan volume pekerjaannya cukup banyak, kemudian masalah aturan tentang penentuan besarnya target penyelesaian pemeriksaan, luas pemeriksaan, jangka waktu penyelesaian pemeriksaan, sistem pembinaan dan recruitment tenaga auditor. Penetapan target yang tidak terlalu tinggi dan volume pemeriksaan yang tidak terlalu banyak akan mendorong pemeriksa untuk menghasilkan laporan pemeriksaan yang berkualitas dan menghindarkan terjadinya penyelesaian palsu. Sistem pembinaan dan recruitment auditor yang baik akan menghasilkan seorang auditor yang profesional dan dapat diandalkan.

Penutup
Intervensi dari pimpinan struktural maupun non struktural dengan berbagai pertimbangan, penetapan target penyelesaian pemeriksaan yang terlalu tinggi, jangka waktu penyelesaian pemeriksaan yang pendek, luasnya pemeriksaan, penguasaan teknis pemeriksaan yang rendah serta faktor mental individu yang rendah akan mendorong auditor untuk melakukan tindakan tidak etis berupa pembuatan penyelesaian palsu.
Pembinaan dan pengawasan yang baik akan mendorong tingkat penyelesaian pemeriksaan dan akan mendorong peningkatan kualitas hasil pemeriksaan.
[1]Penulis adalah Ketua Forum SOLUSI UNTUK INDONESIA

EVALUASI KINERJA DAN KAMBING HITAM

Oleh : Imam Nashirudin, SE., Ak, MM

Dalam ungkapan Belanda, “Kambing Hitam” ialah Zondebok, artinya “bandot yang berdosa”. Dari sudut mayoritas alam hewani di belahan dunia yang bermusim dingin itu, domba berbulu putih tebal adalah mayoritas, sedangkan kambing yang berbulu hitam dan berkulit tipis nyaris tidak ada. Seandainya kancil di tanah air masih bisa berbicara seperti didalam dongeng, pasti dia akan meng “kick balik” istilah itu: Kambing hitam? What is that? Apaan tuh! Ganti: domba putih! Bilang sama orang kompeni Belanda, disini jangan cari zondebok, tapi carilah zondeschaap!
Terlepas dari kebenaran terminology penggunaan istilah kambing hitam di Indonesia, tapi istilah tersebut sering digunakan apalagi pada akhir tahun, dimana target kinerja biasanya akan dievaluasi.

Bagi yang kinerjanya bagus tidak ada masalah, namun bagi yang kinerjanya jelek, biasanya siap-siap mencari kambing hitam ataukah siap-siap untuk dijadikan kambing hitam? Waspadalah, kalau anda dijadikan kambing hitam, anda harus siap untuk disembelih oleh siapa saja. Kambing hitam, kalau kambing qurban, itu mulia.
Mengkambinghitamkan pihak lain, seperti, anak buah yang serba “minim”, kurangnya sarana dan prasarana, menurut saya adalah tindakan yang tidak “gentle” dan menunjukkan tidak adanya koordinasi. Seorang Pimpinan harus berani ambil resiko dan harus berani ambil tanggung jawab, jika target yang telah ditentukan tidak bisa dipenuhi.
Target yang ditetapkan oleh suatu institusi biasanya dibuat dengan pertimbangan pertimbangan dan asumsi tertentu. Seperti target penjualan, target penerimaan pajak, target penyaluran kredit dan lain lain. Adapun halnya dengan target penerimaan negara dari sektor pajak yang dibebankan ke Direktorat Jenderal Pajak yang kemudian target tersebut didistribusikan ke tiap-tiap kantor, tidak bisa dilepaskan dari faktor faktor eksternal seperti pertumbuhan ekonomi dalam negeri, adanya bencana alam, tingkat keamanan, kepastian hukum, inflasi dan lain lain. Sayangnya banyak orang yang lebih melihat pada hasil akhir dan tidak secara teliti melihat proses pencapaian target tersebut. Jika target yang dibebankan pada suatu institusi atau suatu kantor terlalu rendah, tentu dengan mudah, tanpa upaya yang ekstra mereka akan dengan mudah pula mencapainya. Begitupun sebaliknya dengan beban yang terlalu besar, suatu kantor atau institusi akan kesulitan untuk memenuhi target tersebut.
Dalam proses evaluasi, mustinya DJP melihat bagaimana proses untuk memenuhi target tersebut dilakukan. Pertama sekali, tentu saja, apakah target yang dibebankan tersebut telah dialokasikan secara benar dan adil? Benar dan adil disini, harus mempertimbangkan potensi nyata yang ada pada suatu kantor. Kemudian dilihat, apakah responsibilities centre tersebut telah melakukan langkah-langkah strategis yang tepat dan cukup guna mencapai target yang ditetapkan? Apakah kendala-kendala pencapaian target tersebut controllable bagi pusat responsibilities center tersebut? Bagaimana jika tidak tercapainya target dikarenakan oleh variable-variable yang uncontrollable. Penilaian secara profesional dengan memperhatikan kaidah-kaidah ilmiah terhadap tiap-tiap responsibilities center menurut saya mutlak diperlukan guna peningkatan kinerja DJP ke depan. Saya setuju, jika hasil evaluasi yang dilakukan secara obyektif dan ilmiah tersebut dijadikan dasar untuk pemberian reward and punishment, karena DJP perlu pimpinan-pimpinan di pusat-pusat responsibilities center yang tahu tugasnya. DJP perlu kandidat yang lebih baik guna menghadapi tantangan-tantangan yang lebih kompleks, dan DJP tidak perlu menyediakan tempat untuk on the job training, bagi kandidat yang tidak punya nyali dan keberanian untuk ”bertempur” di lapangan.
Singkatnya, semoga kita mau bersabar dan berpikir serta mengambil keputusan berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah. Kita tidak hidup di republik mimpi seperti yang ditayangkan di televisi. Mari kita berpikir dan bertindak dengan menggunakan nalar dan akal sehat kita. Reward and Punishment sebagai instrument untuk memotivasi pegawai di lingkungan kantor modern mutlak diperlukan. Selamat bekerja, Selamat berkarya, Jayalah Indonesiaku!