Selasa, 04 Maret 2008

IMPLIKASI PENGAWASAN PAJAK TERHADAP PEREKONOMIAN NASIONAL

Oleh: Imam Nashirudin, SE., Ak, MM

Setiap pemakai laporan keuangan tidak bisa menghindari untuk mengambil keputusan, meskipun keputusan itu adalah keputusan untuk tidak melakukan apapun. Untuk mengurangi resiko dalam pengambilan keputusan, pemakai laporan keuangan memerlukan data yang benar. Untuk menjamin keakuratan dan kebenaran angka-angka yang tersaji dalam laporan keuangan, maka diperlukan suatu pemeriksaan.

Dalam menyelesaikan tugas pemeriksaan, auditor dihadapkan dengan berbagai masalah Mereka harus mengambil tindakan atau memilih suatu alternative tindakan untuk mencapai sasaran mereka. Tanpa sasaran dan tanpa data yang jelas mengenai sasaran tersebut, keputusan yang diambil akan sia-sia. Keputusan yang baik akan mencakup 2 sasaran secara bersamaan, yaitu efisiensi dan efektivitas Efisiensi adalah penggunaan sumberdaya dalam jumlah minimum yang diperlukan untuk mencapai sasaran. Efektivitas dilain pihak, menekankan pada hasil, khususnya tingkat pencapaian tujuan dari pemakaian sumber sumber.

Untuk menjamin kewajaran dan merefleksikan kondisi perusahaan yang sebenarnya, maka laporan tersebut diaudit oleh akuntan publik. Laporan keuangan yang sudah di audit tadi, dipakai sebagai dasar oleh berbagai pihak untuk pengambilan keputusan. Para pemakai laporan keuangan tersebut meliputi manajemen, investor, kreditor, pemerintah dan secara teoritik karyawan, supplier dan masyarakat, yang dalam realitanya di Indonesia tidak bisa memanfaatkan laporan keuangan tersebut secara langsung. Manajemen sebagai pemakai utama laporan keuangan membutuhkan informasi tersebut untuk mengetahui kemampuan mereka dalam mengelola perusahaan, investor membutuhkan informasi laporan keuangan untuk mendapatkan informasi mengenai deviden yang akan dibayarkan, juga prospek perusahaan dimasa depan. Kreditur membutuhkan informasi untuk mengetahui apakah pembayaran bunga oleh perusahaan dapat mereka terima tepat waktu, juga untuk mengetahui keamanan kredit yang mereka berikan.

Pemerintah memerlukan informasi untuk kepentingan perpajakan dan perencanaan ekonomi.
Maka, kalau laporan keuangan yang sudah diaudit tadi ternyata tidak mencerminkan kebenaran atau kewajaran, celakalah yang mengambil keputusan. Lalu yang menjadi pertanyaan vital adalah, apakah laporan audit perusahan-perusahaan di indonesia memang dapat dipercaya sebagai cerminan dan gambaran kewajaran dan kebenaran suatu perusahaan? Mengenai hal ini kita bisa belajar dari sejarah, kita bisa melihat kembali kasus kredit macet perbankan yang masuk ke BPPN. Karena BPPN tidak yakin dengan laporan keuangan hasil audit yang disampaikan oleh para banker, maka BPPN meminta konsultan asing, yaitu Lehman Brothers dan JP Morgan untuk melakukan audit dengan cara lain. Cara lain tersebut tidak disebut audit, tetapi due diligence, atau penelitian sungguh-sungguh.

Hasil due diligence tersebut sungguh mengagetkan , ternyata hasilnya berbeda jauh, bagai bumi dan langit. Asset yang terkandung dalam neraca audit JP Morgan dan Lehman Brothers jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai asset hasil audit yang tercantum pada neraca yang disampaikan oleh para banker, bahkan ada yang nilainya Cuma 20% dari nilai asset yang tercantum dalam laporan keuangan. Siapa yang salah? Dan kenapa bisa demikian? Hal ini bisa terjadi karena, due diligence oleh JP Morgan dan Lehman Brothers dilakukan atas dasar keyakinan mereka terhadap nilai asset sesungguhnya, setelah mereka melakukan berbagai penelitian, pengujian dan pembandingan dengan cermat.

Tidak demikian dengan akuntan publik. Akuntan disini bekerja dengan cara melakukan verifikasi antara angka yang tercantum dalam laporan keuangan yang disusun manajemen perusahaan dengan dokumen dasar. Jadi, kalau ada pembelian aktiva sebesar 200 Milyar dan transaksi itu didukung oleh kwitansi atau bukti pembayaran lain sebesar 200 milyar, maka transaksi tersebut dianggap benar. Bagaimana kalau manajemen perusahaan dan penjual aktiva bohong? Misalnya nilai aktiva tersebut sebenarnya Cuma 100 milyar tetapi dibukukan 200 milyar dan kwitansinya dibuat 200 milyar?

Bukankah pegangan akuntan public di Negara maju juga didasarkan atas dokumen dasar pembukuan seperti yang diberikan oleh manajemen? Benar, tetapi di sana apa yang tercantum dalam dokumen dasar mencerminkan kebenaran. Mereka tidak akan mau mengeluarkan kuitansi sebesar 200 milyar kalau transaksinya Cuma 100 milyar. Kenapa? Karena dia akan menciptakan laba palsu bagi perusahaannya, laba yang tidak ada dan dia akan dikenakan pajak atas laba yang tidak ada. Di Indonesia lain. Konon dia berani menerbitkan kuitansi sebesar 200 milyar walaupun harga sebenarnya Cuma 100 milyar, karena kontrol pajak di Indonesia lemah.

Statemen tersebut belum tentu benar 100 prosen, tapi kita bisa menjadikan statemen tersebut sebagai bahan koreksi dan introspeksi kita untuk perbaikan ke depan. Benarkah selama ini kontrol pajak kita lemah? Benarkah kasus-kasus seperti diatas dapat lolos dari pantauan tim pemeriksa pajak? Bagaimana itu bisa terjadi? Apakah ini masalah kemampuan teknis pemeriksa yang tidak memadai, ataukah masalah mental pemeriksa? Jikapun statemen itu benar, saya yakin, kasus lemahnya kontrol pajak di Indonesia bukanlah satu-satunya sebab timbulnya kasus “pepesan kosong” di BPPN, kasus dimana nilai riil asset sesungguhnya yang disita jauh lebih kecil nilainya jika dibandingkan dengan nilai aktiva yang tercantum dalam laporan keuangan hasil audit.

Penutup
Apakah pernah disadari betapa dahsyatnya akibat buruk dari lemahnya kontrol pajak terhadap perekonomian nasional kita. Kita menjadi saksi sejarah, betapa carut marutnya ekonomi kita saat krisis tahun 1998, dan bahkan dampaknya masih terasa hingga kini. Krisis ekonomi yang utamanya disebabkan oleh krisis perbankan yang berimbas ke sektor riil. Bunga bank waktu itu mencapai 70 prosen, sektor riil mati, banyak perusahan tutup , PHK dimana-mana, pengangguran melonjak dan angka kemiskinan meningkat tajam. Kita perlu belajar dari sejarah, agar kasus serupa tidak terulang dimasa yang akan datang.

1 komentar:

Jagat in Treason we Trust mengatakan...

Pak , saya numpang baca ya.
artikel ny sangat membantu untuk menyeleseikan tugas Hukum Pajak Pusat dan daerah.di yogyakarta,trimakasih. hehehe