Rabu, 03 Juni 2009

JANGAN NASEHATI SAYA!

Oleh: Imam Nashirudin*

Dalam sebuah seminar di Singapura beberapa waktu yang lalu, seorang ekonom dari Indonesia dengan nada keras menyatakan kepada para ekonom dari IMF untuk tidak terus-menerus menasehati. Kata-katanya kurang lebih seperti ini, “Jangan nasehati saya, kami tidak butuh nasehat kalian, kami lebih tahu apa yang dihadapi negeri kami dan kami lebih tahu apa yang musti kita lakukan. Ekonom Indonesia yang bicara keras itu, tidak lain adalah iron lady kita, ibu Sri Mulyani. Saya salut atas sikap dan ketegasannya. Dan terbukti, sekarang negeri kita putus hubungan dengan IMF dan sekarang kita tidak punya utang dengan IMF. Semua hutang sudah dilunasi. Tapi berdasarkan sebuah laporan, yang tidak saya mengerti adalah, kenapa hutang ke IMF yang bunganya lebih lunak dihindari tetapi kita mengambil hutang lain yang lebih mahal, yaitu hutang melalui obligasi pemerintah di pasar modal luar negeri. Apakah ini karena adanya tekanan secara politis ataukah karena sebab lain? Mudah-mudahan bukan karena emosi sesaat, emosi karena seorang yang bergelar doctor ekonomi terus menerus dinasehati seperti halnya menasehati mahasiswa S-1 yang baru mengambil mata kuliah pengantar ekonomi l.
Kesuksesan melunasi hutang ke IMF menjadi salah satu kebanggan dan komoditi oleh salah sebuah Parpol. Hutang ke IMF, menjadi nol, katanya. Bagaimana dengan timbulnya hutang baru yang totalnya lebih besar dan bunganya lebih mahal, bung!
Saya bukanlah orang yang alerkhi dengan hutang untuk membiayai pembangunan, karena memang secara faktual pendapatan negara kita tidak mencukupi untuk membiayai pembangunan. Masalahnya adalah kita tidak tahu pasti berapa uang kita sesungguhnya, berapa utangnya? Utang dalam negeri dan utang dari pasar modal luar negeri, uangnya buat apaan? Mengapa uang tinggal sebesar itu, berapa yang disebabkan oleh dampak krisis keuangan global, berapa uang yang dipakai untuk membiayai para pejabat Negara melakukan kampanye dan berapa yang disebabkan oleh mismanagement dan berapa yang disebabkan oleh penyelewengan criminal?
Menurut saya, perlu ada transparansi, agar tidak ada kecurigaan dan tidak ada prasangka buruk terhadap pemerintah. Kemenangan dalam pemilu akan terasa hambar kalau diliputi dengan berbagai tuduhan-tuduhan kecurangan yang tidak perlu, ataupun kecurangan-kecurangan yang sebenarnya memang tidak dilakukan. Karena seperti diketahui, potensi kecurangan melalui penggunaan dana pemerintah untuk kepentingan money politic oleh kandidat incumbent sangatlah besar dan hal ini sebenarnya sudah lama disadari oleh para ekonom di seluruh dunia dan masalah tersebut banyak dibahas di textbook-textbook ekonomi. Di negara-negara lain, kasus Money politik oleh kandidat incumbent biasanya dilakukan dengan cara pemberian bantuan dan subsidi ke kelompok-kelompok masyarakat tertentu, kenaikan gaji Pegawai pemerintah, sumbangan-sumbangan social dan lain-lainnya.
Manusia adalah tempatnya salah dan lupa, sehingga ajaran agama menyuruh kita untuk saling mengingatkan dan saling nasehat-menasehati dalam hal kebaikan. Berapa banyak orang cerdik pandai di negeri Pancasila ini yang akhirnya tergelincir oleh masalah uang dan atau oleh masalah selangkangan. Dengan adanya transparansi, masyarakat dapat ikut membantu mengawasi dan mengingatkan agar pemegang amanah rakyat selalu berjalan dalam rel yang benar.

Selamat melaksanakan pesta demokrasi, semoga pemilu Presiden aman buat semua anak bangsa. (Bang Nash)

Rabu, 27 Mei 2009

Neoliberalisme vs Ekonomi Kerakyatan

Oleh: Imam Nashirudin


“Saya tidak tahu apa itu neoliberalisme dan apa itu ekonomi kerakyatan, tapi yang saya rasakan adalah bahwa semakin hari dan semakin tahun saya merasa bertambah miskin ,” kata seorang peternak ayam petelur. Bisnis yang saya jalankan ini adalah bisnis keluarga yang dikelola secara turun-temurun. Tahun 1980 an, nilai hasil panen telur ayam kami satu becak, senilai dengan sebuah televise berwarna 14 inchi. Maksud saya, pada tahun 1980 an, kalau telur satu becak itu laku semua, uangnya cukup untuk membeli satu buah televisi berwarna 14 inchi. Bagaimana kondisi saat ini? Apakah di tahun 2009 sekarang ini, satu becak telur senilai dengan satu buah televisi berwarna 14 inchi? Sangat tidak cukup! Satu becak telur, nilainya saat ini paling sekitar Rp 300.000,- sedangkan harga televise berwarna 14 inchi mencapai 1,5 juta. Bukankah ini suatu bukti bahwa pengusaha kecil semakin miskin dan semakin tidak berdaya? Apakah ini implikasi paham neoliberalisme yang secara tidak sadar telah kita terapkan? Kenapa bisa seperti ini? Bagaimana penjelasannya?
Pengusaha kecil dan menengah biasanya menghadapi pasar persaingan sempurna atau pasar yang mendekati persaingan sempurna. Dalam kondisi seperti itu, pengusaha berada dalam posisi yang lemah jika harus berhadap-hadapan dengan faktor-faktor eksternal. Misalnya, kenaikan Tarif dasar listrik sebesar 5%. Bagi pengusaha ayam petelur, kenaikan ini akan secara signifikan mempengaruhi besarnya biaya operasional. Namun demikian, pengusaha ayam petelur tadi tidak bisa begitu saja menaikkan harga jual telurnya sebesar kenaikan biaya operasionalnya. Kenapa? Karena dia menghadapi pasar persaingan sempurna, dimana di masyarakat banyak orang yang melakukan bisnis serupa. Jika dia nekad menaikkan harga jual telurnya hingga bisa menutup kenaikan biaya produksinya, maka produknya tidak akan laku. Dengan kenaikan biaya operasional sebesar 5%, jika diikuti dengan kenaikan harga jual sebesar 2% saja sudah bagus. Artinya, dengan adanya kenaikan tarif dasar listrik, keuntungan pengusaha ayam petelur tadi akan semakin kecil.
Bagaimana untuk industri besar yang padat modal, seperti halnya pabrik pembuat televisi seperti dalam contoh diatas? Pabrik besar biasanya menghadapi pasar oligopoli, pasar dimana produsen untuk barang yang sama jumlahnya sedikit. Dalam kondisi pasar oligopoli, produsen lebih mudah menyesuaikan harga jual jika terjadi kenaikan biaya operasional. Sebagai contoh, kenaikan tarif dasar listrik sebesar 5%, akan lebih mudah diikuti oleh produsen televisi tadi dengan menaikkan harga jual produk akhirnya bahkan melebihi kenaikan tarif dasar listrik, meskipun komponen biaya listrik bukan merupakan komponen biaya utama dalam industri televisi. Artinya, dengan adanya kenaikan tarif dasar listrik, keuntungan para pemilik modal besar tidak terpengaruh, bahkan dengan alasan kenaikan tarif dasar listrik tadi, para pengusaha mempunyai alasan untuk menaikkan harga jual produknya lebih tinggi jika dibandingkan dengan kenaikan biaya operasinya. Contoh diatas menunjukkan bahwa orang yang kaya (pemilik modal besar) akan semakin kaya dan orang yang miskin akan semakin miskin. Tanpa keberpihakan dan tanpa tindakan yang nyata dari pemerintah, pembangunan yang dilakukan akan meminggirkan pengusaha kecil dan akan menjadikan rakyat kebanyakan menjadi semakin miskin. Kebijakan ekonomi yang lebih mementingkan pemilik modal besar adalah salah satu ciri kebijakan ekonomi neoliberalisme.
Tulisan ini dibuat untuk menjawab berbagai pertanyaan yang ditujukan ke saya dan tidak untuk dimaksudkan guna dukung-mendukung pasangan capres-cawapres tertentu. Umumnya kandidat capres dan cawapres menegaskan diri sebagai penyokong ekonomi kerakyatan sambil terbata-bata menjelaskan maksudnya. Mudah-mudahan contoh kasus diatas bisa membantu menjelaskan. Kita butuh kandidat yang cermat menghitung setiap rencana kebijakannya, lalu dengan elegan menawarkan itu kepada kita sebagai suatu solusi atas permasalahan yang ada dan sebagai janji yang terukur.


Jumat, 08 Mei 2009

Love is Found in Usual Event

Oleh: Imam Nashirudin


Pernahkah anda jatuh cinta? Atau pernahkah cinta anda bertepuk sebelah tangan? Cinta, kata orang jawa bisa timbul karena adanya frekfensi pertemuan yang tinggi, Tresno jalaran soko kulino. Anda boleh percaya, boleh juga tidak. Tapi ”Javanese proverb” tersebut cukup efektif dan banyak memberi bukti. Bagi yang cintanya bertepuk sebelah tangan, bisa mencoba resep kuno itu.
Pertemuan yang bisa membangkitkan benih benih cinta itu bisa terjadi secara sengaja ataupun tidak disengaja. Pertemuan yang tidak disengaja bisa terjadi dimana saja, di kantor, di kereta, di pasar atau di tempat main golf. Seperti kisah cinta seorang pejabat yang golfer dengan caddy perempuan yang sering menemaninya main di sebuah lapangan golf terkenal di Tangerang. Pertemuan yang disengaja bisa terjadi karena ada maksud tertentu dari seseorang, tetapi bisa juga karena system kerja atau organisasi yang mengkondisikan. Misalnya, pegawai pajak yang secara kedinasan harus melayani wajib pajak tertentu selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, karena job discriptionnya memang demikian ataupun karena system organisasinya mengkondisikan demikian. Pertemuan yang sering seperti ini bisa menimbulkan benih-benih cinta. Jika benih cinta yang dimaksud adalah antar pegawai pajak yang masih lajang dengan wajib pajak yang masih lajang pula, hal ini tidak mengapa. Namun kalau pertemuan ini menimbulkan cinta yang salah bagaimana? Cinta salah disini yang saya maksudkan adalah cinta yang mengakibatkan pegawai tadi lupa bahwa dia digaji oleh Negara untuk mengawasi dan mengamankan penerimaan Negara dari sector pajak. Cinta yang mengakibatkan pegawai pajak berkolusi dan menutupi kesalahan wajib pajak ataupun melakukan intervensi dengan berbagai alasan untuk membela kesalahan wajib pajak. Bagaimana target penerimaan pajak bisa tercapai bila kondisi ini timbul? Bagaimana “merusaknya” kalau yang terkena mabuk cinta ini pejabat tinggi yang punya banyak kewenangan? Apa kata dunia...
Masalahnya adalah bagaimana agar tidak timbul cinta terlarang didalam suatu organisasi? Adilkah bila ada kejadian ”cinta terlarang” tersebut, kemudian kita semata-mata menyalahkan pegawai tanpa mengevaluasi system yang ada?
Menurut pendapat saya, saat ini adalah “moment” yang tepat bagi kita untuk mengevaluasi diri, mendiagnosa ulang, dan menyusun “blue print” baru sistem pengelolaan pegawai yang lebih baik dan lebih transparan. Pengelolaan pegawai disini meliputi pola rotasi pegawai yang baik, terstruktur, transparan, terukur dan terstandarisasi. Hubungan keluarga dekat seperti pasangan suami istri yang berada di organisasi yang sama, penempatan pegawai selama belasan tahun bahkan puluhan tahun di kota tertentu bisa menimbulkan kolusi. Sistem yang baik akan menginspirasi pegawai dan akan mengeliminir terjadinya korupsi,kolusi dan nepotisme.

Jumat, 01 Mei 2009

Puisi Tukul dan Pola Mutasi Pegawai

Oleh: Imam Nashirudin


Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak kau kehendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun rumah dan merampas tanah
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang dirontokkan di bumi kami sendiri
Jika kami bunga dan engkau adalah tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Dengan keyakinan kami
Dimanapun tirani dan kedzaliman harus tumbang!

Puisi diatas berjudul bunga dan tembok karya wiji Tukul, salah seorang aktivis yang hilang atau dihilangkan pada kasus reformasi 1998. Puisi tersebut menggambarkan bahwa Tukul bukan hanya seorang aktivis dan penyair tetapi dia juga seorang yang menyuarakan penderitaan rakyat kecil. Puisi tersebut saya angkat dalam awal tulisan ini untuk menggambarkan nasib orang yang vokal dan berani berpendapat beda dengan pengambil kebijakan dimasa lalu, apalagi kalau pendapat tersebut mengganggu kenyamanan pemegang kekuasaan. Tukul saat ini tidak diketahui keberadaannya, hidup atau mati. Tetapi semangat untuk menyuarakan pendapat demi kemajuan dan kebaikan terus bermunculan di jaman sekarang, khusus di lingkungan DJP, suara-suara pembaharuan telah ditampung dalam situs KITSDA dan website kepegawaian. Saya salut dan angkat jempol tinggi-tinggi untuk hal ini. Dari masalah mobil dinas yang penggunaannya seperti mobil pribadi, larangan merokok, angka kredit sampai pola mutasi dan promosi. Mudah-mudahan teman-teman yang berani berpendapat dan memberi masukan mendapat apresiasi yang baik dan tidak bernasib seperti Tukul. Terkait dengan pembahasan tentang mutasi dan promosi pegawai yang selalu ramai dibicarakan secara antusias dan bahkan oleh sebagian pegawai dianggap ”masih gelap”, saya ingin sekedar ikut urun rembug demi kebaikan korps DJP yang kita cintai. Apa sebenarnya yang jadi persoalan? Kenapa bisa seperti itu? Bagaimana system pengelolaan SDM kita saat ini? Bagaimana system promosi dan mutasi pegawai? Sudahkah berjalan adil, selaras dan transparan? Menurut pendapat saya, masih banyak pegawai yang merasa tidak nyaman dengan system pengelolaan SDM yang sekarang, pertanyaannya adalah apa yang membuat tidak puas dan bagaimana agar system yang ada bisa memuaskan banyak orang. Kalau kita melakukan analisa dengan pendekatan system, kita akan dihadapkan pada 2 pertanyaan dasar, yaitu apakah masalah ketidakpuasan tersebut disebabkan oleh struktur system yang ada sekarang ataukah pada proses bekerjanya system tersebut. Saya contohkan sebagai berikut: seorang dokter ahli yang menangani keluhan pasien sesak nafas, dia akan melihat dan menganalisa, apakah terjadinya sesak nafas disebabkan oleh masalah pada struktur pernafasannya ataukah pada proses bekerjanya elemen-elemen yang terkait dengan sistem pernafasan pasien. Struktur pernafasan itu terdiri dari hidung, tenggorokan dan paru-paru. Masalah tersebut terletak di hidung, tenggorokan atau paru-paru? Ataukah terletak pada proses bekerjanya hidung, proses bekerjanya tenggorokan ataukah proses bekerjanya paru-paru yang tidak normal? Terkait dengan sistem kepegawaian di DJP, perlu dicermati apakah masalah yang mengakibatkan banyak keluhan terletak pada struktur sistemnya ataukah pada proses bekerjanya elemen-elemen tersebut. Dengan mengetahui dan memahami letak permasalahannya, maka kita bisa ”memberi obat” yang tepat dan efektif. Menurut pendapat saya, yang jadi persoalan para pegawai bukanlah ketidakbersediaan seseorang ditempatkan di suatu daerah tetapi lebih pada rasa keadilan dan transparansi pengelolaan SDM. Fit and proper test yang dilakukan secara transparan, terstandarisasi dan terukur secara langsung bisa menjadi salah satu solusi. Ketertutupan dan ketidakjelasan tentang asumsi dan latar belakang kebijakan pengelolaan SDM yang diambil akan menciptakan keragu-raguan dan kecurigaan. Secara manajemen, ketidak jelasan ini akan menimbulkan resistensi dan reaksi negatif dari para pegawai, sehingga kebijakan itu justru berbuah menurunnya kinerja pegawai.
Modernisasi yang telah digulirkan, sebenarnya menjadi momentum yang baik untuk menata kembali pola mutasi dan promosi di lingkungan DJP. Jawaban klise seperti hidup adalah pilihan dan silakan memilih untuk tetap bekerja dan berkarier di DJP atau di tempat lain atau bukankah sudah ada kontrak diawal bekerja kalau bersedia ditempatkan diseluruh Indonesia? Menurut saya jawaban-jawaban tersebut sudah usang dan tidak membangun. Apalagi secara factual, tidak sedikit pegawai yang selalu berkarier di satu kota besar tertentu selama belasan tahun bahkan puluhan tahun. Betapa enaknya bisa selalu bertugas di kota yang dipenuhi dengan fasilitas social dan fasilitas umum yang baik. Pernahkah terdengar ada istri pegawai yang meninggal ketika hendak melahirkan, karena ketiadaan dokter dan fasilitas kesehatan yang memadai di suatu daerah terpencil. Pernahkah terpikirkan nasib pendidikan anak-anak para pegawai, yang penempatannya di daerah yang kualitas pendidikannya sangat rendah? Kalau DJP diibaratkan sebuah agama, akankah keluhan pegawai dijawab dengan kata-kata, silakan pindah agama, jika agama yang kalian anut tidak bisa menjamin keselamatan dan tercapainya tujuan hidup kalian!

Penutup
Kalau diibaratkan sebuah kapal, DJP adalah sebuah kapal besar yang setiap gerakannya tentu membutuhkan ketelitian dan kecermatan. Sedemikian besarnya kapal kita sehingga apabila ada perubahan arah, para penumpang yang ada di dalam kapal mungkin tidak merasakannya. Namun, apabila kita naik ke atas dek, tentu dapat kita lihat dengan jelas betapa kapal kita telah berubah arah. Dari atas dek itu, kita menjadi yakin bahwa pada tahun-tahun lalu kita berlayar mengarungi ombak besar dan batu karang, tahun ini kapal itu telah berubah arah menuju laut lepas sehingga segera dapat melaju ke arah pulau yang dituju.
Meskipun disana-sini kita masih melihat kekurangan dan menghadapi sejumlah tantangan, secara umum dengan modernisasi kita telah on track dan mulai memasuki jalan panjang untuk menuju organisasi yang profesional dan berkelas dunia. DJP telah bergerak maju untuk mewujudkan visi yang telah ditetapkan. Ke depan, saya percaya bilamana organisasi kita (DJP) dikelola dengan sikap yang lebih profesional dan didukung oleh pegawai yang militan, bersemangat, bersih, kompeten dan dapat diandalkan, kinerja DJP masih dapat terus ditingkatkan.

Jumat, 03 April 2009

PILIHLAH YANG TERBAIK

Oleh: Imam Nashirudin


Gue Kagak ngiler sama harta
Gue kagak ngiler sama tahta..
Gue ngiler kalau tidur miring.


Tulisan tersebut tertera di bak belakang sebuah truk. Tulisan tersebut mengingatkan saya pada sebuah acara talk show yang diadakan oleh sebuah stasiun televisi swasta. Dalam dialog tersebut, Seorang calon presiden ditanya oleh seorang Mc yang cantik, “kelemahan manusia biasanya terletak pada 3 hal. Harta, wanita dan tahta, saudara lemah dalam point yang mana? Dengan gugup sang bakal capres menjawab dengan berputar-putar yang intinya malah menjauh dari substansi pertanyaan. Kenapa harus takut dan berputar-putar menjawabnya? Apanya yang salah, jika seseorang menyukai harta, tahta dan wanita cantik? Yang salah barangkali, kalau yang ditanya capres wanita dan dia menyukai wanita. Harta, tahta dan wanita cantik memang ditakdirkan untuk menjadi magnet dan daya tarik bagi manusia. Manusia bergerak, berusaha dan mau bekerja keras dikarenakan manusia punya tujuan dan kepentingan, ada motivasi tertentu. Dengan harta yang diperoleh, manusia bisa mencukupi kebutuhan hidup pribadi dan keluarganya. Dengan tahta, seseorang akan lebih mudah mengimplementasikan gagasan-gagasannya. Dan dengan mempunyai pasangan yang cantik, menarik dan shalekhah, maka kita akan mendapatkan ketentraman hati. Dalam hal ini, tentu saja cara mendapatkannya harus melalui cara-cara yang benar, baik dan tidak melanggar ketentuan.

Seorang pemimpin, baik di level negara seperti presiden, maupun pimpinan di suatu unit kerja akan sangat banyak mempengaruhi warna kehidupan suatu organisasi. Dan secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada tercapai atau tidak tercapainya misi suatu organisasi.
Sehubungan dengan adanya fenomena diatas dan khususnya karena DJP memegang posisi dan peranan yang penting dan kritikal dalam mesin besar perekonomian nasional, maka perhatian kita tertuju pada pengelolaan dan pemenuhan pegawai yang akan ditempatkan di posisi-posisi strategis. Bagaimana agar kita tidak salah menempatkan orang dan bagaimana agar kita tidak salah pilih? Secara umum, pada hemat saya, penempatan untuk posisi-posisi strategis masih lebih didominasi oleh struktur birokrasi dan panjangnya gelar yang dimiliki oleh seseorang daripada memikirkan bagaimana memperoleh substansi yang sungguh-sungguh berkualitas.

Kalau kita memikirkan hal-hal yang substansial, maka masalah procedur birokrasi hendaknya dijadikan embel-embel saja . Untuk mengisi formasi-formasi penting, Fit and Proper test mutlak diperlukan, dan mutlak perlu ditanyakan ke setiap calon pimpinan tiap-tiap responsibilities centre. Apakah dia masih sanggup dan mampu untuk melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan tuntutan organisasi? Sanggup dan mampu disini bukan hanya terkait masalah skill, kompetensi dan sikap mental yang sesuai tuntutan organisasi, tetapi juga meliputi mampu secara fisik. Seorang pimpinan harus mempunyai kesehatan yang baik, karena diperlukan mobilitas dan stamina yang tinggi untuk bisa mengendalikan dan menggerakkan suatu organisasi dengan efektif.
Pengalaman identik dengan learning by doing, sedangkan pendidikan identik dengan learning by studying. Mempertentangkan kedua hal tersebut dalam pembinaan dan pengembangan pegawai dapat membawa akibat yan tidak diinginkan dan sangat tidak relevan bagi kinerja Direktorat Jenderal Pajak. Apalagi jika tidak disesuaikan dengan kebutuhan , kondisi dan situasi organisasi. Kedua-duanya sama-sama mengandung unsur bertambahnya ilmu dan sama-sama merupakan proses belajar. Antara pendidikan dan pengalaman sebenarnya dapat menjadi suatu sinergi. Ketajaman orang berpengalaman akan lebih terasah jika dibarengi dengan proses peningkatan diri melalui pendidikan formal. Kepandaian orang yang berpendidikan akan semakin bermanfaat bagi Direktorat Jenderal Pajak jika dibarengi dengan diberikannya pengalaman tentang perpajakan kepada mereka. Pilihan antara yang berpendidikan VS berpengalaman haruslah dikerangkakan dalam pola win-win system dengan mengacu kepada kepentingan dan kinerja Direktorat Jenderal Pajak sebagai target akhir.

Penutup
Untuk tetap menjaga azas keadilan dan mendapatkan orang yang tepat untuk dikembangkan, maka pemilihan secara transparan dan melalui system yang jelas dan berpola adalah merupakan solusi yang terbaik. Sebagai contoh, untuk dapat menduduki jabatan tertentu, pola pemilihan dan pengangkatan didasarkan atas test yang terstandarisasi dengan persyaratan yang terstandarisasi dan pemilihan berdasarkan yang terbaik dan terukur secara langsung

Rabu, 11 Maret 2009

How To Get Money

Oleh: Imam Nashirudin



Kalau diibaratkan orang sakit, maka kondisi perekonomian dunia dan kondisi perekonomian Indonesia saat ini sedang sakit. Sakitnya kondisi perekonomian dalam negeri berimbas pada turunnya realisasi penerimaan pajak pada bulan pebruari, dan mungkin juga pada bulan-bulan selanjutnya.

Lazimnya orang yang sakit parah, terkadang pasien menginginkan sesuatu (want) tetapi yang dikatakan (say) berbeda dengan yang diinginkan. Dan terkadang berbeda pula dengan yang diperlukan (need). Sebagai contoh, seorang pasien jantung mungkin menginginkan makan daging ayam, tetapi dalam kondisi labil, yang dikatakan, dia ingin makan sate kambing. Dokter yang menangani pasien tersebut tentu tidak akan begitu saja memenuhi keinginan dan apa yang disampaikan pasien, karena jika dipenuhi, sate kambing akan sangat membahayakan sakit jantung yang di derita. Yang diperlukan oleh pasien tersebut adalah obat dan mengatur pola hidup agar dia lekas sembuh.

Analog tersebut saya sampaikan untuk menanggapi berbagai pihak dalam mengatasi tantangan berat sebagai akibat deraan krisis keuangan global. Khusus untuk DJP, imbas krisis keuangan global yang telah secara nyata mempengaruhi penerimaan pajak secara nasional telah ditindak lanjuti dengan pembentukan berbagai komisi yang diberi tugas secara khusus untuk membahas berbagai hal, seperti komisi mapping, profile, potensi dan tax gap serta komisi pertukaran dan pemanfaatan data. Tujuan pembentukan komisi komisi tersebut tidak jauh dari pengamanan penerimaan pajak tahun 2009. Pertanyaannya adalah tepatkah kebijakan tersebut untuk saat ini? Apakah langkah-langkah tersebut mendesak dan diperlukan saat ini? Apakah yang disampaikan (say) sama dengan yang diperlukan (need) untuk mengamankan penerimaan pajak tahun 2009?

Menurut pendapat saya, yang diperlukan DJP untuk saat ini adalah bagaimana kita bisa memotivasi seluruh pegawai agar mereka mau lebih bekerja keras dan meningkatkan kinerja guna mengamankan penerimaan pajak. Mapping, profile, tax gap dan pertukaran data tidak akan memberikan hasil optimal jika tidak dilakukan oleh pegawai di lapangan dengan motivasi dan dedikasi yang tinggi. Ibarat sebuah pasukan perang dengan peralatan tempur yang modern dan mahal, tetapi tidak didukung dengan mental para prajurit yang gigih, berdedikasi dan punya semangat juang yang tinggi. Pegawai pajak adalah pegawai pegawai pilihan dengan pengalaman dan skill tinggi, mereka bukan para pegawai yang selalu butuh panduan secara detil. Mereka adalah pegawai pegawai yang kreatif, pegawai yang mampu dan menguasai ”medan pertempuran”. Mereka adalah patriot patriot sejati, mereka adalah harimau-harimau garang yang dikarenakan sesuatu hal, menjadikan mereka sekarang sedang tertidur. Modernisasi, penegakan kode etik dan maraknya aksi KPK serta sistem renumerasi yang baru disebut-sebut berimplikasi pada menurunnya ”semangat tempur” para patriot DJP. Kita perlu membangunkan ”harimau yang sedang tidur” agar kembali dengan gagah mengaum dan menunjukkan taringnya. DJP perlu pegawai yang profesional, militan, tegas, berani, jujur dan disegani. Banyak pegawai pajak yang pada masa silam, rela kerja lembur di kantor sampai jam 12 malam bahkan lebih untuk menyelesaikan tugas-tugas pemeriksaan dan tugas tugas lainnya. Mereka melakukan itu meskipun tidak ada uang lembur? Kenapa bisa seperti itu? Bagaimana kondisi saat ini? Berapa gelintir pegawai pajak saat ini yang dengan gembira, dengan iklas dan tanpa mengeluh bersedia lembur meskipun ada uang lemburnya? Apanya yang salah? Bukankah renumerasinya sudah tinggi?

Menurut saya, sampai dengan saat ini, uang masih menjadi daya tarik yang luar biasa bagi siapa saja. Dan uanglah menurut pendapat saya yang menjadi faktor penggerak utama para pegawai dimasa lalu. Tentang pentingnya uang sebagai alat untuk memotivasi pegawai, sebuah peribahasa Inggris mengatakan, ”kalau uang sudah bicara, malaikat di syurgapun tertarik untuk ikut mendengarkan”. Uang yang dibicarakan disini adalah uang resmi yang syah diluar renumerasi yang diterima, uang yang secara kode etik dan aturan organisasi boleh diterima. Bukankah KUP yang baru memberi peluang bagi DJP untuk memberikan renumerasi tambahan jika target tertentu bisa dicapai? Bukankah pasal dalam KUP tersebut bisa dimanfaatkan saat ini untuk mendongkrak semangat kerja pegawai? Kenapa masalah ini tidak dipertimbangkan sebagai salah satu prioritas dalam pembahasan? Menurut saya, perlu segera ada pembicaraan dan pembahasan serius tentang masalah ini, bagaimana metodologinya dan bagaimana merealisasikannya?

Pembinaan pegawai dan peningkatan kinerja pegawai sangat erat berhubungan dengan tercapainya motivasi pegawai. Dan uang, masih menjadi daya tarik utama kebanyakan pegawai. Pembinaan pegawai dengan pendekatan religius akan lebih efektif jika diikuti dengan pemberian ’rangsangan” yang tepat, dapat dijangkau dan masuk akal. Pegawai tidak cukup diberi ”iming-iming” kehidupan enak di syurga kelak, dimana mereka akan hidup nyaman, enak dengan didampingi para bidadari cantik, yang selalu cantik, selalu menarik. Bidadari yang selalu menggetarkan hati, bidadari yang selalu suci, tidak pernah men dan tidak pernah mencret. DJP perlu memberi motivasi ”duniawi” yang tepat untuk menggerakkan pegawai, guna mengamankan penerimaan pajak tahun 2009. Selamat bekerja, selamat berkarya, Jayalah Indonesiaku.