Senin, 25 Juni 2012

INFLASI GELAR

Oleh: Imam Nashirudin

Tampaknya tidak bisa dipungkiri lagi, memasuki alam persaingan bebas, dimana profesionalisme menjadi sebuah kebutuhan, khususnya di lingkungan birokrasi tengah berlangsung pelbagai pergeseran kearah sebuah “komunitas” baru, yang didalamnya peran ilmu pengetahuan (dan tekhnologi tentu saja) semakin menjadi demikian (di)penting(kan). Ini sesuai dengan ramalan lama teoritikus social eropa dan amerika tentang munculnya masyarakat post industrial.

Gelar akademik, bagaimanapun, secara tradisional menunjuk pada puncak-puncak pencapaian proses pendidikan formal seseorang, baik S1, S2 atau S3 sehingga ia dianggap layak, mampu dan pantas untuk menjalankan suatu jabatan ataupun profesi tertentu. Jalan kearah itu tidak mudah, setidaknya kalau dipertimbangkan dengan biaya pendidikan yang kiat meroket. Karena itu pula, secara inheren, gelar kesarjanaan dilahirkan untuk menjadikan seseorang masuk dalam kelompok yang berwibawa. Semakin tinggi atau semakin panjang gelar akademik yang dimiliki oleh seseorang, maka orang tersebut akan semakin terpandang dan berwibawa.

Ketika awal mengambil program S1 di Bulaksumur, Yogyakarta, saya beranggapan bahwa orang yang mempunyai gelar akademik tinggi itu mirip seorang Begawan dalam cerita pewayangan. Seseorang yang gemar “bertapa” dan menjauhi glamour kehidupan dunia. Seseorang yang low living and high thingking . Mereka adalah jiwa-jiwa terpanggil yang selalu asyik masyuk dalam dunianya, untuk selalu mencari gagasan baru, atau menyempurnakan gagasan-gagasan yang pernah ada demi kesejahteraan masyarakat. Namun sekarang, kenyataan yang ada telah bergeser, sekarang seorang biduan pun, yang tidak jelas kapan kuliahnya, juga menyandang gelar Doktor.

Berdasarkan data yang diperoleh dari sebuah survey yang dilakukan oleh Dewan Riset Nasional di Amerika Serikat, dari tangan “orang-orang” bergelar kemudian mengalir deras ribuan judul buku baru dan jutaan gagasan yang saling menantang. Bagaimana disini? khususnya di lingkungan birokrasi kita? Sebagian pemilik gelar, tampaknya belum bisa mengikis sikap malu-malu kaum bumiputra. Mereka malu untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang ilmiah, cerdas, applicable dan masuk akal, persis demikian pemalunya mereka untuk menghasilkan karya yang layak dibaca dan diperdebatkan secara terhormat. Jika banyaknya “orang bergelar” dibandingkan dengan profesionalisme dan upaya-upaya perbaikan untuk mencapai Good Governance, menurut saya, kita telah terlampau kelebihan jumlah “orang bergelar”. Maka seperti uang yang mengerut nilainya dan tertekuk kekuatan daya belinya, ketika jumlahnya melampaui barang yang tersedia. Kalau orang ekonomi, menyebut kondisi seperti itu inflasi, dalam hal ini inflasi gelar. Kondisi kepemilikan gelar di lingkungan birokrasi kita saat ini, memperlihatkan mulai terjadinya hal yang serupa.

Sehubungan dengan adanya fenomena diatas dan karena adanya keinginan kita untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (Good Governance), maka perhatian kita tertuju pada pengelolaan dan pemenuhan pegawai. Secara umum, pada hemat saya, penempatan untuk posisi-posisi strategis masih lebih didominasi oleh struktur birokrasi dan panjangnya gelar yang dimiliki oleh seseorang daripada memikirkan bagaimana memperoleh substansi yang sungguh-sungguh berkualitas. Kalau kita memikirkan hal-hal yang substansial, maka masalah procedur birokrasi hendaknya dijadikan embel-embel saja .
Permasalahan dalam pemenuhan kebutuhan pegawai, “berpendidikan vs berpengalaman”
Pengalaman identik dengan learning by doing, sedangkan pendidikan identik dengan learning by studying. Mempertentangkan kedua hal tersebut dalam pembinaan dan pengembangan pegawai dapat membawa akibat yan tidak diinginkan dan sangat tidak relevan bagi kinerja Direktorat Jenderal Pajak. Apalagi jika tidak disesuaikan dengan kebutuhan , kondisi dan situasi organisasi.
Kedua-duanya sama-sama mengandung unsur bertambahnya ilmu dan sama-sama merupakan proses belajar. Antara pendidikan dan pengalaman sebenarnya dapat menjadi suatu sinergi. Ketajaman orang berpengalaman akan lebih terasah jika dibarengi dengan proses peningkatan diri melalui pendidikan formal. Kepandaian orang yang berpendidikan akan semakin bermanfaat bagi Direktorat Jenderal Pajak jika dibarengi dengan diberikannya pengalaman tentang perpajakan kepada mereka. Pilihan antara yang berpendidikan VS berpengalaman haruslah dikerangkakan dalam pola win-win system dengan mengacu kepada kepentingan dan kinerja Direktorat Jenderal Pajak sebagai target akhir.
Untuk tetap menjaga azas keadilan dan mendapatkan orang yang tepat untuk dikembangkan, maka pemilihan secara transparan dan melalui system yang jelas dan berpola adalah merupakan solusi yang terbaik. Sebagai contoh, untuk dapat menduduki jabatan tertentu, pola pemilihan dan pengangkatan didasarkan atas test yang terstandarisasi dengan persyaratan yang terstandarisasi dan pemilihan berdasarkan yang terbaik dan terukur secara langsung.

Penutup
Tidak ada yang perlu disesali dari berlangsungnya inflasi gelar di lingkungan birokrasi kita. Pertama, sudah lama pada dasarnya kita tidak pernah yakin betul akan adanya korelasi langsung antara kecerdasan, kepandaian, intelektualitas dan kemampuan memimpin dengan gelar akademis yang disandang seseorang. Kedua, apabila tuntutan substansial menghendaki, bahwa seorang pejabat di lingkungan birokrasi harus unggul bukan hanya dibidang keilmuan yang sesuai dengan jenis pekerjaannya, keanekaragaman pekerjaannya, wawasannya dan penguasaannya, namun juga teruji dalam berbagai aspek kejiwaan, maka pelibatan para psikolog dan psikiater tidak dapat ditinggalkan. Tes-tes dan wawancara dilakukan dengan mendalam dan sejarah hidup sang calon juga diperiksa dengan seksama, bukan hanya dibedakan berdasarkan Curriculum vitae semata.

Tidak ada komentar: