Rabu, 27 Mei 2009

Neoliberalisme vs Ekonomi Kerakyatan

Oleh: Imam Nashirudin


“Saya tidak tahu apa itu neoliberalisme dan apa itu ekonomi kerakyatan, tapi yang saya rasakan adalah bahwa semakin hari dan semakin tahun saya merasa bertambah miskin ,” kata seorang peternak ayam petelur. Bisnis yang saya jalankan ini adalah bisnis keluarga yang dikelola secara turun-temurun. Tahun 1980 an, nilai hasil panen telur ayam kami satu becak, senilai dengan sebuah televise berwarna 14 inchi. Maksud saya, pada tahun 1980 an, kalau telur satu becak itu laku semua, uangnya cukup untuk membeli satu buah televisi berwarna 14 inchi. Bagaimana kondisi saat ini? Apakah di tahun 2009 sekarang ini, satu becak telur senilai dengan satu buah televisi berwarna 14 inchi? Sangat tidak cukup! Satu becak telur, nilainya saat ini paling sekitar Rp 300.000,- sedangkan harga televise berwarna 14 inchi mencapai 1,5 juta. Bukankah ini suatu bukti bahwa pengusaha kecil semakin miskin dan semakin tidak berdaya? Apakah ini implikasi paham neoliberalisme yang secara tidak sadar telah kita terapkan? Kenapa bisa seperti ini? Bagaimana penjelasannya?
Pengusaha kecil dan menengah biasanya menghadapi pasar persaingan sempurna atau pasar yang mendekati persaingan sempurna. Dalam kondisi seperti itu, pengusaha berada dalam posisi yang lemah jika harus berhadap-hadapan dengan faktor-faktor eksternal. Misalnya, kenaikan Tarif dasar listrik sebesar 5%. Bagi pengusaha ayam petelur, kenaikan ini akan secara signifikan mempengaruhi besarnya biaya operasional. Namun demikian, pengusaha ayam petelur tadi tidak bisa begitu saja menaikkan harga jual telurnya sebesar kenaikan biaya operasionalnya. Kenapa? Karena dia menghadapi pasar persaingan sempurna, dimana di masyarakat banyak orang yang melakukan bisnis serupa. Jika dia nekad menaikkan harga jual telurnya hingga bisa menutup kenaikan biaya produksinya, maka produknya tidak akan laku. Dengan kenaikan biaya operasional sebesar 5%, jika diikuti dengan kenaikan harga jual sebesar 2% saja sudah bagus. Artinya, dengan adanya kenaikan tarif dasar listrik, keuntungan pengusaha ayam petelur tadi akan semakin kecil.
Bagaimana untuk industri besar yang padat modal, seperti halnya pabrik pembuat televisi seperti dalam contoh diatas? Pabrik besar biasanya menghadapi pasar oligopoli, pasar dimana produsen untuk barang yang sama jumlahnya sedikit. Dalam kondisi pasar oligopoli, produsen lebih mudah menyesuaikan harga jual jika terjadi kenaikan biaya operasional. Sebagai contoh, kenaikan tarif dasar listrik sebesar 5%, akan lebih mudah diikuti oleh produsen televisi tadi dengan menaikkan harga jual produk akhirnya bahkan melebihi kenaikan tarif dasar listrik, meskipun komponen biaya listrik bukan merupakan komponen biaya utama dalam industri televisi. Artinya, dengan adanya kenaikan tarif dasar listrik, keuntungan para pemilik modal besar tidak terpengaruh, bahkan dengan alasan kenaikan tarif dasar listrik tadi, para pengusaha mempunyai alasan untuk menaikkan harga jual produknya lebih tinggi jika dibandingkan dengan kenaikan biaya operasinya. Contoh diatas menunjukkan bahwa orang yang kaya (pemilik modal besar) akan semakin kaya dan orang yang miskin akan semakin miskin. Tanpa keberpihakan dan tanpa tindakan yang nyata dari pemerintah, pembangunan yang dilakukan akan meminggirkan pengusaha kecil dan akan menjadikan rakyat kebanyakan menjadi semakin miskin. Kebijakan ekonomi yang lebih mementingkan pemilik modal besar adalah salah satu ciri kebijakan ekonomi neoliberalisme.
Tulisan ini dibuat untuk menjawab berbagai pertanyaan yang ditujukan ke saya dan tidak untuk dimaksudkan guna dukung-mendukung pasangan capres-cawapres tertentu. Umumnya kandidat capres dan cawapres menegaskan diri sebagai penyokong ekonomi kerakyatan sambil terbata-bata menjelaskan maksudnya. Mudah-mudahan contoh kasus diatas bisa membantu menjelaskan. Kita butuh kandidat yang cermat menghitung setiap rencana kebijakannya, lalu dengan elegan menawarkan itu kepada kita sebagai suatu solusi atas permasalahan yang ada dan sebagai janji yang terukur.


1 komentar:

abdul zaini mengatakan...

ya Ekonomi liberal dan Kerakyatan Sekarang menjadi terkenal tetapi menurut saya, kedua sistem ekonomi ini harus berjalan seimbang karena bila tidak akan berjalan ekstrim, jadi ekonomi liberal atau komunis. dan di indonesia saya kira bukan liberal karena masih ada subsidi, BLT d PMDM dll