Rabu, 05 November 2008

Krisis Keuangan Global Tidak Mempengaruhi Penerimaan Pajak. Benarkah??

Oleh: Imam Nashirudin


Sebagai warga negara dan juga sebagai aparatur pajak tentu saja, saya tidak ingin realisasi penerimaan pajak tahun 2008 terganggu gara-gara krisis keuangan global. Kenapa? Karena peranan penerimaan pajak yang memberi kontribusi ke negara lebih dari 70% ini memegang peran yang sangat kritikal dan penting. Namun demikian, kalau ada statemen yang mengatakan kalau krisis keuangan tidak mempengaruhi penerimaan pajak, saya ragu dan saya jadi bertanya-tanya. Ini harapan atau kenyataan. Sayapun berharap seperti itu. Tapi apakah kondisi riil di lapangan memang begitu? Seperti kita ketahui, penerimaan pajak sangat terkait dengan kondisi makro ekonomi suatu negara. Kalau kondisi makro ekonomi baik, maka penerimaan pajak seharusnya juga baik dan begitu sebaliknya.
Ketika suku bunga pinjaman bank naik, ketika daya serap pasar Eropa dan Amerika melemah, ketika daya beli masyarakat turun, ketika nilai tukar rupiah terus melemah terhadap dolar Amerika, benarkah hal ini tidak mengakibatkan kelesuan dunia usaha? Benarkah profitabilitas perusahaan dalam kondisi seperti itu tidak akan turun? Kalau terkait dengan turunnya margin keuntungan perusahaan, memang dampaknya baru terlihat nyata pada pembayaran PPh pasal 29 tahun depan. Lalu bagaimana dengan jenis pajak lainnya? PPN dalam negeri, PPN import, PPh pasal 21 dan pajak-pajak lainnya? Contoh kongkret, kenaikan suku bunga pinjaman Bank saat ini telah mengakibatkan penurunan penjualan otomotif khususnya penjualan sepeda motor yang konon prosentase penjualan kreditnya mencapai angka 90%. Berarti ada PPN dalam negeri yang tertunda penerimaannya. Hal ini belum dihitung dengan bisnis turunannya, seperti industri mur baut, industri pelek, industri perakitan sepeda motor dll. Masalah yang sama juga dihadapi perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor konstruksi dan properti. PPN import juga akan mengalami penurunan dengan melemahnya rupiah dan penurunan daya serap pasar untuk produk-produk yang berorientasi ekspor ke Amerika dan Eropa. Apa hubungannya dengan PPN import, hubungannya adalah banyak perusahaan industri dalam negeri yang bahan bakunya diperoleh dengan cara import. Jika daya beli masyarakat turun, daya serap pasar internasional juga turun, pengusaha secara otomatis akan menurunkan pembelian import bahan baku, yang berarti penurunan penerimaan pajak dari PPN Import dan PPh pasal 22 import.
Yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini adalah, kenapa kita takut melihat kenyataan? Kenapa kita tidak berani bersikap realistis dan mengakui fakta yang ada di lapangan? Dengan melihat kenyataan yang ada, kita bisa segera mencari fokus baru, kita bisa mencari alternatif-alternatif pemikiran lain, kita bisa segera melakukan koordinasi dan mengevaluasi kembali rencana kerja tiga bulan kedepan. Sektor apa saja yang akan mengalami penurunan dan darimana penurunan penerimaan tersebut harus ditutup? Dimana posisi korps Direktorat Jenderal Pajak saat ini? Apa kemungkinan-kemungkinan yang bisa digali dengan melihat keadaan yang ada, apa kendalanya dan bagaimana mengatasi kendala-kendala yang ada secara efektif dan efisien. Apa kelemahan kita? Apa kelebihan kita? Bagaimana kemungkinan-kemungkinannya?
Singkat kata, sudah waktunya kita dan seluruh jajaran korps Direktorat Jenderal Pajak keluar dari kerangkeng perasaan aman, seolah-olah krisis tidak berpengaruh apa-apa. Demi mengamankan target penerimaan pajak hingga akhit tahun. Selamat bekerja. Sukses selalu. Jayalah Indonesiaku!

1 komentar:

Agus Win mengatakan...

Permisiii ... numpang mampir ...