Oleh: Putri Widyawati
Sesuai dengan amanat konstitusi yang dituangkan dalam amandemen UUD 45 pasal 23E bahwa BPK RI sebagai satu-satunya lembaga eskternal pemeriksa keuangan negara.
Keuangan negara yang menjadi obyek pemeriksaan BPK adalah keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang meliputi pula di dalamnya pengelolaan dan tanggung jawab penerimaan negara yang bersumber dari pajak.
Berkaitan dengan itu, BPK mempunyai kewenangan memeriksa Direktorat Jenderal Pajak, sebagai institusi yang memberi kontribusi paling besar dalam menyumbang APBN mencapai 70%.
Namun kewenangan BPK harus terganjal dengan pasal 34 UU No 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Polemik tentang pemeriksaan oleh BPK terhadap Institusi DJP sampai saat ini belum menemui titik temu kesepakatan. Berbagai alternatif telah diupayakan.
Ketua BPK, Anwar Nasution pernah mengirim surat kepada Ketua DPR RI Agung Laksono. Dalam surat tersebut Ketua BPK menyampaikan pendapat BPK mengenai RUU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang saat itu drafnya sedang dibahas Panitia Khusus (Pansus) DPR.
Berkaitan dengan pembatasan akses pemeriksaan itu, dalam surat itu BPK mengimbau DPR untuk mengubah ketentuan dalam Pasal 34 Ayat 2a huruf b Undang-Undang Perpajakan. Karena dinilai bertentangan dengan Pasal 23 E UUD 1945, yang memberikan kedudukan konstitusional bagi BPK sebagai satu lembaga pemeriksa keuangan negara.
Tetapi rupanya RUU telah ditetapkan menjadi UU No 28 tahun 2007 dan pasal 34 masih tidak berubah. Dan langkah BPK untuk memeriksa penerimaan dan piutang dari sektor pajak terganjal.
Sebenarnya hubungan antara BPK dan DJP mengalami pasang surut. Tahun 2001 – 2006 barangkali merupakan hubungan terbaik antara BPK RI dan DJP. Dimana BPK dapat melakukan pemeriksaan dan mendapat akses masuk memperoleh data-data yang diperlukan. Tidak banyak kendala yang diperoleh karena tiap tahun BPK mengajukan surat permohonan ke Menteri Keuangan untuk mendapat akses masuk terhadap data-data. Dan dari DJP selalu mendapat respon baik dengan dikeluarkan semacam Surat Keputusan dari Dirjen Pajak tentang ijin memperoleh data-data yang dibutuhkan dalam rangka pemeriksaan.
Namun sejak tahun 2007, surat ijin tersebut menjadi barang langka yang tidak bisa dikeluarkan oleh Dirjen Pajak maupun Menteri Keuangan, dengan alasan pasal 34 ayat (1) dan ayat (2a) UU 28/2007.
Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2a) UU 28/2007 lengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2a) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) adalah:
a. Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan.
b. Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara.
Berulang kali BPK melayangkan surat ke DJP maupun Menteri Keuangan, tapi tidak mendapatkan hasil yang diharapkan.
Menurut penulis, ada beberapa alternatif yang dapat dicoba berkaitan dengan pembatasan pemeriksaan. Dapat digunakan untuk jangka menengah atau jangka panjang. Alternatif yang penulis sajikan sebenarnya adalah kumpulan dari yang pernah penulis baca dari berbagai media.
Pak Anwar Nasution dalam kapasitasnya sebagai pimpinan lembaga negara, tentu bisa memperoleh selembar surat, seperti yang bernomor S-1234/MK.04/1987 yang ditandatangani Menteri Keuangan (saat itu) Radius Prawiro. Surat itu dikirim kepada Menko Ekuin dan Pengawasan Pembangunan pada 3 November 1987. Surat bertajuk Realisasi pemberian restitusi pajak itu muncul setelah Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan bukti bahwa dalam proses pemberian restitusi pajak telah terjadi sejumlah penyimpangan. Dokumen itu kemudian dibawa ke sidang kabinet dan disampaikan langsung kepada Presiden (saat itu) Soeharto. Menanggapi temuan BPKP itu, Radius menjawab dengan mengutip Pasal 34 UU KUP lengkap dengan penjelasannya, persis seperti disampaikan oleh Darmin maupun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Mendengar penjelasan tersebut, Presiden Soeharto menjawab, "Jika menteri keuangan tidak bisa membuat surat izin kepada BPKP untuk mengaudit pajak, maka saya sendiri yang akan menandatangani surat itu." Tidak sampai 24 jam kemudian, kata seorang mantan pejabat BPKP, sebuah surat dengan tembusan kepada Kepala BPKP dan Dirjen Pajak sudah ada di meja kerja Menko Ekuin dan Wasbang saat itu. Surat itu menjadi awal kerja sama Ditjen Pajak dan BPKP yang terus berlangsung hingga hari ini, tak sebatas pemeriksaan khusus restitusi pajak, tetapi juga pemeriksaan khusus WP grup, pemeriksaan khusus WP potensial, tim pemeriksaan gabungan dan tim optimalisasi penerimaan negara. Mungkinkah surat Radius itu bisa dijadikan yurisprudensi, sehingga BPK, yang derajatnya di atas BPKP, bisa mengaudit pajak?
Atau bisa juga perang dingin ini dicairkan dengan semacam Mou atau kesepakatan antara BPK RI dengan DJP tentang kemudahan BPK RI mendapatkan data-data yang diperlukan, sementara pihak DJP juga tidak dianggap melakukan pelanggaran pasal 34. Seperti yang sedang diusahakan selama ini. Sehingga akan diperoleh win-win solution.
DJP menawarkan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bisa memeriksa Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) untuk menilai kinerja petugas pajak. Namun pemeriksa harus menandatangani komitmen untuk tidak membuka hasil pemeriksaan kepada publik.
Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution mengatakan pihaknya telah tiga kali bertemu dengan Ketua BPK Anwar Nasution untuk membicarakan protokolnya. Pembicaraan itu telah dilakukan sejak satu tahun lalu.
"Saya sudah bicarakan dengan Pak Anwar. Kalau yang mau dinilai kinerja petugas pajak, ya bisa dilihat hasil pemeriksaan SPT petugas pajak,: kata Darmin di Gedung DPR Jakarta, kemarin. Menurut dia, pembicaraan masih berjalan hingga saat ini.
Dirjen Pajak Darmin Nasution mempersilakan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit hasil pemeriksaan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) petugas pajak. Namun, ia meminta agar BPK tidak memeriksa seluruh SPT Wajib Pajak. "Kita menawarkan ke BPK, untuk hasil pemeriksaan silakan dicari sampel. Kan, nggak mungkin juga kalau diperiksa semua. Terserah kepada BPK untuk memilih sampelnya. Nah, itu boleh diperiksa," kata Dirjen Pajak Darmin Nasution kepada wartawan. Menurutnya, dari sampel yang diambil BPK harus diperiksa secara menyeluruh untuk mengetahui berapa banyak petugas pajak yang melakukan penyimpangan. Selain itu, BPK juga harus memberitahu berapa banyak petugas pajak yang memeriksa dengan benar. "Kalau sampelnya 500, ya 500-nya yang diperiksa. Dan hasilnya kita minta, dari 500 itu berapa petugas pajak yang pemeriksaannya betul. Berapa yang tidak betul,"
katanya.
BPK belum bisa menerima tawaran tersebut, karena tetap saja ada pembatasan akses data pemeriksaan.
Apalagi pernyataan Pak Darmin di anulir lagi oleh Bu Menteri.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai pernyataan Dirjen Pajak tidak dapat diartikan bahwa BPK dapat mengakses wajib pajak sampai detail. "Jadi bukan berarti BPK dapat mengakses data wajib pajak hingga detail. Informasi yang akan diberikan kepada auditor BPK hanya besaran setoran pajak dari masing-masing wajib pajak," jelasnya. Menurut dia, pada dasarnya pemerintah tidak menginformasikan hal baru terkait dengan audit yang akan dilakukan BPK di Ditjen Pajak.
Kesepakatan belum dicapai, dan BPK telah mempersiapkan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Seperti yang terjadi saat sekarang.
Badan Pemeriksa Keuangan tetap menginginkan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, yang merupakan amandemen ketiga Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Ketua BPK Anwar Nasution menegaskan pihaknya tetap akan mengajukan rencana uji materi (judicial review) terhadap undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
Pernyataan Anwar sekaligus menegaskan bahwa BPK enggan menempuh jalur dialog dengan Departemen Keuangan. Alasannya, kebaikan hati pejabat pemerintah saat ini tidak menjamin amanat konstitusional yang dimiliki BPK tetap berjalan.
Bahwa apa yang dilakukan oleh BPK selama ini, agar bisa mengakses data ke DJP adalah sebagai sebuah upaya. Sehingga BPK sebagai pemeriksa eksternal keuangan negara dapat melakukan tugasnya sesuai dengan yang diamanatkan dalam konstitusi.
Bahwa dalam melaksanakan amanat konstitusi tersebut BPK mendapat ganjalan dari sebuah peraturan yang lahir dari pemerintah setelah melalui persetujuan DPR, yaitu pasal 34 UU no 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan dan Tata Cara Perpajakan.
Dalam mencapai cita-cita, seseorang harus punya rencana A, rencana B, rencana C dan selanjutnya. Jika rencana A gagal, maka gunakan rencana B. Jika rencana B gagal gunakan rencana C dan seterusnya. Bisa juga untuk mencapai cita-cita dengan menggabungkan beberapa rencana. Makin banyak alternatif rencana, makin mudah mencapai cita-cita.
Jika BPK diibaratkan seseorang yang sedang meraih cita-cita, maka BPK telah menempuh rencana A. Sementara rencana A belum menemukan hasil, rencana B telah dijalankan.
Semoga BPK masih mempunyai banyak rencana, agar dapat masuk, menembus dinding tebal DJP untuk mencapai tujuan seperti yang sudah diamanatkan dalam konstitusi.
*Penulis tinggal di Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar