Oleh: Imam Nashirudin*
Kalau diibaratkan orang sakit, maka saya mengibaratkan kondisi Direktorat Jenderal Pajak saat ini sedang sakit. Lazimnya orang yang sakit, terkadang pasien menginginkan (want) sesuatu tetapi berbeda dengan yang dikatakan (say) dan berbeda dengan yang diperlukan (need). Sebagai contoh, seorang pasien jantung mungkin menginginkan makan daging ayam, tetapi dalam kondisi labil, yang dikatakan, dia ingin makan sate kambing. Dokter yang menangani pasien tersebut tentu tidak akan begitu saja memenuhi keinginan yang disampaikan oleh pasien, karena jika dipenuhi, sate kambing akan membahayakan si pasien. Barangkali yang diperlukan oleh pasien tersebut saat itu adalah obat dan mengatur pola hidup sehat agar dia lekas sembuh.
Analog tersebut saya sampaikan untuk memberi masukan atas pilihan aksi yang dilakukan para petinggi Direktorat Jenderal Pajak guna menangkis serangan bertubi-tubi dari berbagai pihak atas kasus mafia perpajakan yang melibatkan oknum pegawai pajak, termasuk kasus tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK dan terkait target penerimaan pajak 1000 Triliun. Reaksi cepat yang diberikan para pimpinan atas permasalahan SDM yang sedang jadi sorotan adalah kembali memanggil para pegawai untuk diceramahi dan pengiriman para pegawai ke pelatihan bela Negara. Tujuan akhir kegiatan itu tidak jauh dari pengamanan penerimaan pajak tahun 2012. Pertanyaan kecilnya adalah apakah kebijaka itu tepat untuk saat ini? Apakah langkah-langkah tersebut mendesak dan diperlukan? Apakah yang disampaikan (say) sama dengan yang diperlukan (need)? Apakah kebijakan itu dapat secara efektif memacu semangat juang para pegawai pajak guna mengamankan penerimaan pajak tahun 2012?
Menurut pendapat saya, yang diperlukan Direktorat Jenderal Pajak untuk saat ini adalah bagaimana kita bisa menciptakan rasa aman, nyaman dalam bekerja, memotivasi seluruh pegawai agar mereka mau lebih bekerja keras dan meningkatkan kinerja guna mengamankan penerimaan pajak. Banyak pegawai pajak yang pada masa silam, masa sebelum pemberian renumerasi tinggi, rela kerja lembur di kantor sampai jam 12 malam, bahkan lebih, untuk menyelesaikan berbagai tugas, termasuk tugas pemeriksaan dan tugas-tugas lainnya. Mereka melakukan itu meskipun tidak ada uang lembur! Kenapa bisa seperti itu? Kenapa mereka mau melakukannya? Bagaimana kondisi saat ini? Berapa gelintir pegawai pajak saat ini yang dengan gembira, dengan iklas dan tanpa mengeluh bersedia lembur meskipun ada uang lemburnya? Apanya yang salah? Bukankah renumerasinya sudah tinggi?
Menurut saya, sampai dengan saat ini, uang masih menjadi daya tarik yang luar biasa bagi siapa saja. Dan uanglah menurut pendapat saya yang menjadi faktor penggerak utama para pegawai dimasa lalu dan dimasa sekarang. Tentang pentingnya uang sebagai alat untuk memotivasi pegawai, sebuah peribahasa Inggris mengatakan, ”kalau uang sudah bicara, malaikat di syurgapun tertarik untuk ikut mendengarkan”. Uang yang dibicarakan disini adalah uang resmi yang syah diluar renumerasi, uang yang secara kode etik dan aturan organisasi boleh diterima. Bukankah pasal 36 D undang- undang KUP telah secara jelas mengatur dan memberi peluang bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk memberikan insentif tambahan atas dasar pencapaian kinerja tertentu ? Bukankah pasal dalam KUP tersebut saat ini bisa dimanfaatkan untuk mendongkrak semangat kerja pegawai? Kenapa masalah ini tidak dijadikan prioritas? Menurut saya, perlu segera ada pembicaraan dan pembahasan serius tentang masalah ini, bagaimana metodologinya dan bagaimana merealisasikannya !
Ide ini pernah saya sampaikan di tahun 2009 yang lampau, melalui
artikel yang saya tulis dan saya kirimkan ke berbagai pihak internal Direktorat
Jenderal Pajak, namun progressnya belum terlihat hingga saat ini. Pembinaan
pegawai dan peningkatan kinerja pegawai sangat erat berhubungan dengan
tercapainya motivasi pegawai. Dan uang, masih menjadi daya tarik utama
kebanyakan pegawai. Pembinaan pegawai dengan pendekatan religius akan lebih
efektif jika diikuti dengan pemberian ’rangsangan” yang tepat, dapat dijangkau
dan masuk akal. Pegawai tidak cukup diberi ”iming-iming” kehidupan enak di
syurga kelak. Dimana di syurga mereka yang baik akan hidup nyaman, enak dengan
didampingi para bidadari yang selalu cantik, selalu menarik. Bidadari yang
selalu menggetarkan hati, bidadari yang selalu suci, tidak pernah men dan tidak
pernah mencret. Direktorat Jenderal Pajak perlu memberi motivasi ”duniawi” yang
tepat untuk menggerakkan pegawai, guna mengamankan penerimaan pajak 1000 Triliun
di tahun 2012. Selamat bekerja, selamat berkarya, Jayalah Indonesiaku.
*Kasi Keberatan dan Banding ll Kanwil DJP Jakarta Khusus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar