Oleh: Imam Nashirudin*
Dalam sebuah seminar di Singapura beberapa waktu yang lalu, seorang ekonom dari Indonesia dengan nada keras menyatakan kepada para ekonom dari IMF untuk tidak terus-menerus menasehati. Kata-katanya kurang lebih seperti ini, “Jangan nasehati saya, kami tidak butuh nasehat kalian, kami lebih tahu apa yang dihadapi negeri kami dan kami lebih tahu apa yang musti kita lakukan. Ekonom Indonesia yang bicara keras itu, tidak lain adalah iron lady kita, ibu Sri Mulyani. Saya salut atas sikap dan ketegasannya. Dan terbukti, sekarang negeri kita putus hubungan dengan IMF dan sekarang kita tidak punya utang dengan IMF. Semua hutang sudah dilunasi. Tapi berdasarkan sebuah laporan, yang tidak saya mengerti adalah, kenapa hutang ke IMF yang bunganya lebih lunak dihindari tetapi kita mengambil hutang lain yang lebih mahal, yaitu hutang melalui obligasi pemerintah di pasar modal luar negeri. Apakah ini karena adanya tekanan secara politis ataukah karena sebab lain? Mudah-mudahan bukan karena emosi sesaat, emosi karena seorang yang bergelar doctor ekonomi terus menerus dinasehati seperti halnya menasehati mahasiswa S-1 yang baru mengambil mata kuliah pengantar ekonomi l.
Kesuksesan melunasi hutang ke IMF menjadi salah satu kebanggan dan komoditi oleh salah sebuah Parpol. Hutang ke IMF, menjadi nol, katanya. Bagaimana dengan timbulnya hutang baru yang totalnya lebih besar dan bunganya lebih mahal, bung!
Saya bukanlah orang yang alerkhi dengan hutang untuk membiayai pembangunan, karena memang secara faktual pendapatan negara kita tidak mencukupi untuk membiayai pembangunan. Masalahnya adalah kita tidak tahu pasti berapa uang kita sesungguhnya, berapa utangnya? Utang dalam negeri dan utang dari pasar modal luar negeri, uangnya buat apaan? Mengapa uang tinggal sebesar itu, berapa yang disebabkan oleh dampak krisis keuangan global, berapa uang yang dipakai untuk membiayai para pejabat Negara melakukan kampanye dan berapa yang disebabkan oleh mismanagement dan berapa yang disebabkan oleh penyelewengan criminal?
Menurut saya, perlu ada transparansi, agar tidak ada kecurigaan dan tidak ada prasangka buruk terhadap pemerintah. Kemenangan dalam pemilu akan terasa hambar kalau diliputi dengan berbagai tuduhan-tuduhan kecurangan yang tidak perlu, ataupun kecurangan-kecurangan yang sebenarnya memang tidak dilakukan. Karena seperti diketahui, potensi kecurangan melalui penggunaan dana pemerintah untuk kepentingan money politic oleh kandidat incumbent sangatlah besar dan hal ini sebenarnya sudah lama disadari oleh para ekonom di seluruh dunia dan masalah tersebut banyak dibahas di textbook-textbook ekonomi. Di negara-negara lain, kasus Money politik oleh kandidat incumbent biasanya dilakukan dengan cara pemberian bantuan dan subsidi ke kelompok-kelompok masyarakat tertentu, kenaikan gaji Pegawai pemerintah, sumbangan-sumbangan social dan lain-lainnya.
Manusia adalah tempatnya salah dan lupa, sehingga ajaran agama menyuruh kita untuk saling mengingatkan dan saling nasehat-menasehati dalam hal kebaikan. Berapa banyak orang cerdik pandai di negeri Pancasila ini yang akhirnya tergelincir oleh masalah uang dan atau oleh masalah selangkangan. Dengan adanya transparansi, masyarakat dapat ikut membantu mengawasi dan mengingatkan agar pemegang amanah rakyat selalu berjalan dalam rel yang benar.
Selamat melaksanakan pesta demokrasi, semoga pemilu Presiden aman buat semua anak bangsa. (Bang Nash)
Dalam sebuah seminar di Singapura beberapa waktu yang lalu, seorang ekonom dari Indonesia dengan nada keras menyatakan kepada para ekonom dari IMF untuk tidak terus-menerus menasehati. Kata-katanya kurang lebih seperti ini, “Jangan nasehati saya, kami tidak butuh nasehat kalian, kami lebih tahu apa yang dihadapi negeri kami dan kami lebih tahu apa yang musti kita lakukan. Ekonom Indonesia yang bicara keras itu, tidak lain adalah iron lady kita, ibu Sri Mulyani. Saya salut atas sikap dan ketegasannya. Dan terbukti, sekarang negeri kita putus hubungan dengan IMF dan sekarang kita tidak punya utang dengan IMF. Semua hutang sudah dilunasi. Tapi berdasarkan sebuah laporan, yang tidak saya mengerti adalah, kenapa hutang ke IMF yang bunganya lebih lunak dihindari tetapi kita mengambil hutang lain yang lebih mahal, yaitu hutang melalui obligasi pemerintah di pasar modal luar negeri. Apakah ini karena adanya tekanan secara politis ataukah karena sebab lain? Mudah-mudahan bukan karena emosi sesaat, emosi karena seorang yang bergelar doctor ekonomi terus menerus dinasehati seperti halnya menasehati mahasiswa S-1 yang baru mengambil mata kuliah pengantar ekonomi l.
Kesuksesan melunasi hutang ke IMF menjadi salah satu kebanggan dan komoditi oleh salah sebuah Parpol. Hutang ke IMF, menjadi nol, katanya. Bagaimana dengan timbulnya hutang baru yang totalnya lebih besar dan bunganya lebih mahal, bung!
Saya bukanlah orang yang alerkhi dengan hutang untuk membiayai pembangunan, karena memang secara faktual pendapatan negara kita tidak mencukupi untuk membiayai pembangunan. Masalahnya adalah kita tidak tahu pasti berapa uang kita sesungguhnya, berapa utangnya? Utang dalam negeri dan utang dari pasar modal luar negeri, uangnya buat apaan? Mengapa uang tinggal sebesar itu, berapa yang disebabkan oleh dampak krisis keuangan global, berapa uang yang dipakai untuk membiayai para pejabat Negara melakukan kampanye dan berapa yang disebabkan oleh mismanagement dan berapa yang disebabkan oleh penyelewengan criminal?
Menurut saya, perlu ada transparansi, agar tidak ada kecurigaan dan tidak ada prasangka buruk terhadap pemerintah. Kemenangan dalam pemilu akan terasa hambar kalau diliputi dengan berbagai tuduhan-tuduhan kecurangan yang tidak perlu, ataupun kecurangan-kecurangan yang sebenarnya memang tidak dilakukan. Karena seperti diketahui, potensi kecurangan melalui penggunaan dana pemerintah untuk kepentingan money politic oleh kandidat incumbent sangatlah besar dan hal ini sebenarnya sudah lama disadari oleh para ekonom di seluruh dunia dan masalah tersebut banyak dibahas di textbook-textbook ekonomi. Di negara-negara lain, kasus Money politik oleh kandidat incumbent biasanya dilakukan dengan cara pemberian bantuan dan subsidi ke kelompok-kelompok masyarakat tertentu, kenaikan gaji Pegawai pemerintah, sumbangan-sumbangan social dan lain-lainnya.
Manusia adalah tempatnya salah dan lupa, sehingga ajaran agama menyuruh kita untuk saling mengingatkan dan saling nasehat-menasehati dalam hal kebaikan. Berapa banyak orang cerdik pandai di negeri Pancasila ini yang akhirnya tergelincir oleh masalah uang dan atau oleh masalah selangkangan. Dengan adanya transparansi, masyarakat dapat ikut membantu mengawasi dan mengingatkan agar pemegang amanah rakyat selalu berjalan dalam rel yang benar.
Selamat melaksanakan pesta demokrasi, semoga pemilu Presiden aman buat semua anak bangsa. (Bang Nash)
1 komentar:
Sampai dengan akhir 2008, proporsi Pinjaman Luar Negeri berdasarkan Sumber Pinjaman sebanyak 53.22% berasal dari pinjaman yang dilakukan secara bilateral, 29.10% dari pinjaman multilateral dan sisanya berasal dari porsi pinjaman comercial kredit, leasing kredit dan leasing.
Proporsi Pinjaman Luar Negeri berdasarkan Mata Uang sebanyak 42.7% dalam denominasi mata uang Yen Jepang, 29.4% dalam US Dollar, 16.6% dalam Euro dan 1.8% dalam mata uang Poundsterling.
Jika dilihat, pinjaman bilateral kita kepada jepang memegang proporsi terbesar portofolio utang luar negeri. Sesuatu yang wajar mengingat adanya "ikatan batin" masa lalu sejarah yang melanggengkan utang budi jepang terhadap kita.
Portofolio utang komersial tetap diutamakan dari SUN, ORI dan Sukuk dalam negeri. Walaupun rate bunga berada jauh diatas softloan lembaga keuangan internasional, saya memandang ada nilai positif dari pengalihan utang IMF ke SUN :
1. Mengurangi intervensi kebijakan moneter dan fiskal oleh pihak asing.
2. Menciptakan kedigdayaan ekonomi yang dipercaya rakyat.
3. Atas bunga yang dibayarkan, uang tetap beredar di dalam negeri dan menggerakkan sektor riil.
4. Imbal (meski tidak materiil) penerimaan pajak dari pendapatan bunga.
Perlu diwaspadai pula, rate bunga ORI yang terlalu tinggi akan pula berpotensi membawa kondisi crowded out. Ketika yield ORI jauh berada diatas bunga deposito, maka likuiditas akan beramai-ramai mengalir ke ORI.
Sifat industri perbankan yang menggantungkan hidup dari deposit nasabah, maka bank akan terdorong untuk menarik minat nasabah dengan menaikkan bunga depositonya, dan akhirnya bunga kredit tak pelak ikut merangkak naik.
Naiknya bunga perbankan akan mendorong nilai minimal return yang dikehendaki investor obligasi, sehingga lelang ORI akan terdorong untuk menaikkan tingkat yield'nya pula.
Bukankah ini suatu siklus tanpa akhir?
Posting Komentar