Oleh: Imam Nashirudin
Menyimak Jaring pengaman system keuangan yang diluncurkan oleh Menkeu dan Gubernur BI di Gedung Depkeu pada Kamis 16 oktober 2008 kemarin, sebagai respon atas krisis keuangan global yang tengah berlangsung, saya sedikit lega, tapi saya juga skeptis, Apakah pengambil kebijakan akan mampu menghadapi ”pressure groups” baik dari dalam negeri maupun dari para negara pemberi utang maupun negara yang punya power besar? Bagaimana caranya agar Jaring pengaman tersebut dapat dijalankan secara optimal? Saya tidak menggunakan kata efektif, mengingat asumsi-asumsi diatas.
Menurut saya, Jaring pengaman sistem keuangan akan lebih optimal dilaksanakan bila ada transparansi. Kenapa kebijakan ekonomi harus transparan? Transparansi kebijakan ekonomi sangat erat kaitannya dengan percepatan pemulihan dan pembangunan ekonomi suatu Negara. Seperti kita ketahui, dalam ilmu ekonomi kita dihadapkan dengan berbagai altrnatif tindakan, dan setiap alternatif tindakan mempunyai konsekwensi yang berbeda. Kita bebas memilih alternative tindakan kita, tetapi kita tidak bebas untuk mengambil konsekwensi dari setiap pilihan yang kita buat.
Karena dalam keputusan ekonomi selalu ada yang merasa lebih diuntungkan dan ada yang merasa menjadi korban, baik secara langsung maupun tidak. Maka kebijakan-kebijakan ekonomi selalu menarik untuk disimak dan dikaji. Dan diseputar kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil, selalu muncul berbagai pertanyaan, fair kah kebijakan itu? Misalnya kebijakan suku bunga tinggi. Dengan suku bunga tinggi, pemerintah dapat menekan inflasi, menarik masuk modal jangka pendek, cadangan devisa meningkat, rupiah menguat, tetapi sektor riil tertekan. Bila suku bunga diturunkan untuk mendorong sektor riil, modal jangka pendek akan lari dan cadangan devisa akan turun dan rupiah akan tertekan.
Dalam bidang ekonomi makro, pemerintah mempunyai dua jenis kebijakan yang bisa dijalankan secara bersam-sama atau secara terpisah untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan dalam APBN. Kebijakan itu adalah kebijakan moneter dan kebijakan fiscal. Kebijakan moneter amat efektif untuk mengatasi inflasi yang disebabkan oleh kelebihan permintaan ( demand pull inflation). Sedangkan kebijakan fiscal, efektif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja serta mengatasi kemiskinan dan inflasi yang disebabkan oleh kenaikan biaya produksi (cost push inflation).
Timbul pertanyaan mengapa perlu transparan, mengapa perlu dumumkan dan dijelaskan dengan rinci dan sejelas-jelasnya? Pertama, rakyat dan para pembayar pajak berhak mengetahui uangnya dipakai untuk siapa dan mengapa perlu dipakai? Lantas bagaimana duduk persoalan sebenarnya? Berapa uang kita sesungguhnya, berapa utangnya? Utang dalam negeri dan utang dari pasar modal luar negeri, uangnya buat apaan? Mengapa uang tinggal sebesar itu, berapa yang disebabkan oleh dampak krisis keuangan global, berapa yang disebabkan oleh mismanagement dan berapa yang disebabkan oleh penyelewengan criminal?
Alasan lain perlunya transparansi adalah agar kontrol social berjalan, agar tidak ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan dengan cara-cara yang tidak terhormat. Ada beberapa kebijakan pemerintah yang sering menjadi tanda tanya besar. Seperti kebijakan pembelian kembali saham-saham BUMN, Kebijakan untuk menambah utang, kebijakan pembiayaan deficit APBN dan kebijakan penjualan asset-asset nasional guna menutup deficit anggaran. Kenapa pemerintah mengambil kebijakan seperti itu? Apa dasarnya? Mengapa seperti itu? Apa tidak ada cara lain yang lebih kreatif untuk menutup deficit? Ada apa gerangan?
Transparansi juga memberi kesempatan kepada masyarakat untuk menilai apakah pemerintah fair dalam keputusan-keputusannya, sekaligus masyarakat dapat memberi masukan ke pemerintah. Untuk kebijakan fiscal, kita sering bertanya-tanya, kebijakan fiscal apa yang secara signifikan telah diambil oleh pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menyerap pengangguran. Apakah tidak ada alternative tindakan yang bisa dikerjakan selain ngotak-atik anggaran untuk menyeimbangkan pengeluaran dengan penerimaan demi menjaga defisit anggaran pada tingkat yang rendah? Kenapa system pajak tidak disederhanakan, dan tariff pajak diturunkan secara berarti? Bukankah pengalaman Negara lain, menunjukkan, penyederhanaan system perpajakan dan penurunan tariff pajak akan memberi insentif bagi sektor riil, sekaligus meningkatkan penerimaan Negara dan pengeluaran Negara. Tarif pajak diturunkan, tetapi rasio pajak terhadap PDB akan meningkat, karena orang akan terdorong untuk melapor semua penghasilannya dengan tariff rendah.
Penutup
Secara singkat kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil baik moneter maupun fiscal, menurut pendapat saya perlu diumumkan dan dikomunikasikan dengan lebih baik dan lebih transparan. Ketertutupan dan ketidakjelasan tentang asumsi dan latar belakang kebijakan yang diambil pemerintah akan menciptakan keragu-raguan dan kecurigaan. Secara politis, ketidak jelasan ini akan menimbulkan resistensi dan reaksi dari berbagai kalangan sehingga kebijakan itu justru menjadi tidak produktif.
Tidak selalu kebijakan ekonomi yang diambil berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Masalah ini bisa disebabkan karena banyak hal. tetapi seorang pengambil keputusan atau tim pengambil keputusan harus berani ambil resiko dan harus berani ambil tanggung jawab.
• Penulis adalah Kasi waskon l KPP Madya Jakarta Utara
• Website penulis: SOLUSI UNTUK INDONESIA dgn alamat http://host-ekonomi.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar