Oleh: Imam Nashirudin, SE, AK, MM*
Menyimak Krisis subprime mortgage di Amerika Serikat, dan Anjloknya bursa saham di Asia, Eropa dan Amerika, saya ingin sedikit “urun rembug” dan berbagi pendapat tentang masalah tersebut. Apa sebenarnya yang terjadi dan mungkinkah Indonesia mengalami nasib yang sama? Bagaimana masalah yang sebenarnya, dan bagaimana kondisi Indonesia saat ini? Apakah krisis keuangan global yang kita alami saat ini akan bertambah parah? Kenapa kita tidak belajar dari masa lalu? Dimana peran pemerintah? Apakah ini masalah miss management ataukah masalah kriminal?
Mortgage yang disebut-sebut sebagai pemicu krisis keuangan di Amerika serikat, bisa dibagi menjadi dua, yaitu: prime mortgage dan subprime mortgage. Subprime mortgage adalah mortgage dengan resiko yang lebih tinggi dibanding Prime mortgage yang biasanya diberikan kepada peminjam yang memiliki sejarah kredit yang bagus atau peminjam yang dapat menunjukkan kemampuannya untuk membayar hutang. Subprime mortgage diberikan kepada masyarakat yang tidak memiliki kualifikasi diatas, dengan maksud untuk memberi kemudahan kepemilikan hunian yang layak dan sekaligus dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Munculnya industri subprime mortgage memungkinkan orang-orang yang tadinya tidak bisa membeli rumah menjadi bisa membeli rumah.
Karena resiko subprime mortage yang lebih tinggi, maka bunga yang dikenakan kepada peminjam juga lebih tinggi. Menurut data statistik, tingkat gagal bayar subprime mortgage (sekitar 7%) dan prime mortgage (sekitar 1%).
Kronologisnya terjadinya krisis keuangan di Amerika yang awalnya disebabkan oleh subprime mortgage, dapat saya jelaskan, kurang lebih sebagai berikut: masyarakat Amerika Serikat dengan kredit rating yang relatif buruk membeli rumah melalui subprime mortgage. Terjadi transaksi individual antara peminjam dan pemberi mortgage (subprime lenders)
Subprime lenders kemudian mengumpulkan berbagai mortgage dan menjual sekumpulan mortgage tersebut kepada bank komersial. Bank komersial kemudian menjual sebagian portfolio mortgage tersebut kepada investment bank.
Subprime mortgage ini ada yang dikumpulan dan dikemas ulang dalam bentuk Mortgage-Backed Securitites - MBS. MBS merupakan aset yang memiliki pendapatan yaitu ketika pemimjam mortgage membayar bunga mortgage dan ketika mereka melunasi hutangnya. Pendapatan ini bisa dipilah-pilah menjadi beberapa tranches dengan tingkat senioritas yang berbeda. Semua bunga dari peminjam mortgage pertama kali akan dibayar sebagai bunga kepada pemilik MBS dengan senioritas paling tinggi. Kalau ada sisa, baru pendapatan itu masuk ke pemilik dengan senioritas lebih rendah. Demikian seterusnya. Bisa dilihat bahwa semakin rendah tingkat senioritasnya, semakin tinggi resiko dari MBS ini. Karena resikonya yang paling rendah, maka MBS paling senior harganya juga paling mahal.
Rating agencies semacam Standard & Poor’s (S&P) memberikan rating terhadap MBS ini. Ternyata, rating AAA untuk MBS lebih besar resiko gagal bayarnya dibanding dengan surat hutang dengan rating AAA juga.
Beberapa MBS ini, bersama instrumen utang lainnya, kemudian dikemas ulang lagi menjadi Collateralized Debt Obligations (CDOs). Sama seperti MBS, CDO juga merupakan aset dengan berbagai sumber pendapatan: dari pendapatan MBS, dan dari pendapatan instrumen hutang lainnya. CDOs juga dipilah-pilah lagi menjadi beberapa tranches dengan tingkat senioritas yang berbeda. Diperkirakan ada 100 milyar dollar AS aset CDOs yang kalau dirunut balik dijamin oleh subprime mortgages (dari perkiraan total CDOs sebesar 375 milyar dollar AS).
CDOs ini kemudian dijual ke berbagai bank, perusahaan asuransi, hedge funds, reksa dana (mutual funds), dll baik di Amerika Serikat maupun di luar. Jadilah resiko subprime mortgage tersebar ke mana-mana. Ketika para pemilik property dengan system subprime mortagage tidak mampu membayar cicilan propertinya atau malahan yang bersangkutan dinyatakan bangkrut, maka imbasnya akan kemana-mana.
Hubungannya dengan kejatuhan bursa saham di Eropa, Asia dan Indonesia adalah, ketika perusahaan-perusahaan yang kantor pusatnya atau holdingnya berada di Amerika serikat mengalami krisis dan mengalami kesulitan likuiditas, maka dana-dana milik perusahaan yang diinvestasikan di pasar modal Eropa, asia termasuk Indonesia ditarik guna menambah likuiditas perusahaan induknya. Penarikan investasi besar-besaran ini kemudian diikuti dengan kepanikan investor lokal yang ikut-ikutan melepas sahamnya, sehingga pasar saham jatuh.
Fenomena seperti diatas dalam dunia bisnis sebenarnya hal yang biasa dan lumrah, dimana resiko akan berbanding lurus dengan manfaatnya. Semakin tinggi resiko maka manfaatnya juga akan semakin tinggi. Kebijakan property seperti subprime mortgage banyak diikuti Negara-negara lain, meskipun dengan bentuk dan kemasan yang berbeda. Di Indonesia, Tingkat suku bunga SBI yang rendah pada tahun 2000 an sampai dengan tahun 2007 telah diikuti oleh suburnya industri property di Indonesia yang didukung oleh banyak industri perbankan. Ketatnya persaingan untuk mendapatkan customer, memaksa industri property dan perbankan melonggarkan persyaratan yang diperlukan bagi seorang nasabah untuk memiliki property. Bahkan beberapa unit dengan type tertentu bisa dimiliki dengan uang muka beberapa ratus ribu rupiah saja dan selembar fotocopy KTP. Praktek “jor –joran” pemberian kredit ini sebenarnya bukan hanya di sector property, tapi juga merambah sector lain seperti otomotif, konsumsi dll.
Imbas krisis keuangan di Amerika Serikat telah mempengaruhi, hampir seluruh perekonomian di dunia. Pada Selasa, 8 Oktober 2008 IHSG anjlok dan diikuti dengan penutupan perdagangan saham dan derivative. Otoritas moneterpun sudah memberi sinyal kenaikan suku bunga SBI. Dalam kondisi seperti sekarang, Kenakan suku bunga SBI wajar dilakukan untuk meredam gejolak inflasi dan sekaligus menarik dana masyarakat. Kenaikan SBI ini akan diikuti dengan kenaikan suku bunga kredit. Bagaimana nasib para pengutang property dan para pengutang lainnya yang tidak kredibel ? Kredit macet, dan jika meninpa banyak nasabah, akan mempengaruhi likuiditas dan solvabilitas industri perbankan, bahkan bisa mengakibatkan kebangkrutan. Krisis perbankan akan berpengaruh ke sector riil. Kalau sektor riil terkena imbasnya, akan berakibat kepada kenaikan harga-harga komoditi, penutupan perusahaan-perusahaan, High Inflasi dan PHK karyawan besar-besaran. Meningkatnya jumlah pengangguran sebagai dampak PHK, akan mendongkrak tingkat kemiskinan dan kriminalitas. Jangan Tanya kenapa!
Penutup
Kita berharap pemerintah segera mengambil langkah konstruktif yang smart, cepat dan tegas untuk mengatasi dampak krisis keuangan global saat ini. Transparansi pengelolaan keuangan negara dimasa depan sangat diperlukan guna kontrol publik.
• Penulis adalah Kasi Waskon l KPP Madya Jakarta Utara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar