Senin, 08 Oktober 2012

PEGAWAI BUKAN ASSET NEGARA

Oleh: Imam Nashirudin


Tidak efektifnya organisasi pemerintahan bisa disebabkan oleh banyak hal, namun ada beberapa hal untuk kondisi saat ini, yang menurut pendapat saya penting dan kritikal, yaitu kita terlalu mensimplifikasikan permasalahan, kita tidak pernah mempersoalkan dan mempelajari dengan lebih baik perihal asumsi dasar untuk menggerakkan pegawai dengan efektif. Dan hubungan antara pegawai dengan organisasi tidak pernah berada pada rasionalitas yang mutlak, semestinya kita harus berani melihat bahwa pegawai punya bangunan nalar yang rumit.
Pemahaman SDM sebagai asset organisasi dan pemahaman bahwa seolah olah organisasi punya hak penguasaan penuh atas seluruh hak dan harkat martabat pegawai adalah kekelirun. Pegawai bukanlah aset organisasi dan pegawai tidak bisa diperlakukan seperti halnya benda mati. Tulisan ini sengaja dibuat untuk bahan masukan dan refleksi terkait kebijakan pengelolaan pegawai dan perburuhan di Indonesia termasuk dilingkungan DitJend Pajak. Mari kita simak definisi dan penjabaran asset. FASB mendefinisi aset dalam rerangka konseptualnya sebagai berikut (SFAC No 6, prg 25):

Assets are probable future economic benefits obtained or controlled by a perticular entity as a result of past transactions or events.”
(Aset adalah manfaat ekonomik masa datang yang cukup pasti atau diperoleh atau dikuasai/dikendalikan oleh suatu entitas akibat transaksi atau kejadian masa lalu.)
Berdasar uraian diatas, pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga karakteristik utama yang harus dipenuhi agar suatu objek atau pos dapat disebut aset, yaitu:
1. Manfaat ekonomik yang datang cukup pasti
Untuk dapat disebut sebagai aset, suatu objek harus mengandung manfaat ekonomik di masa datang yang cukup pasti. Uang atau kas mempunyai manfaat atau potensi jasa karena daya belinya atau daya tukarnya. Sumber selain kas mempunyai manfaat ekonomik karena dapat ditukarkan dengan kas, barang, atau jasa, karena dapat digunakan untuk memproduksi barang dan jasa, atau karena dapat digunakan untuk melunasi kewajiban.
2. Dikuasai atau dikendalikan entitas
Untuk dapat disebut sebagai aset, suatu objek atau pos tidak harus dimiliki oleh entitas tetapi cukup dikuasai oleh entitas. Oleh, karena itu, konsep penguasaan atau kendali lebih penting daripada konsep kepemilikan. Penguasaan disini berarti kemampuan entitas untuk mendapatkan, memelihara/menahan, menukarkan, menggunakan manfaat ekonomik dan mencegah akses pihak lain terhadap manfaat tersebut. Hal ini dilandasi oleh konsep dasar substansi mengungguli bentuk yuridis (substance over form). Pemilikan (ownership) hanya mempunyai makna yuridis atau legal.
3. Timbul akibat transaksi masa lalu
Kriteria ini sebenarnya menyempurnakan kriteria penguasaan dan sekaligus sebagai kriteria atau tes pertama (first-test) pengakuan objek sebagai aset. Aset harus timbul akibat dari transaksi atau kejadian masa lalu adalah kriteria untuk memenuhi definisi. Penguasaan harus didahului oleh transaksi atau kejadian ekonomik. FASB memasukkan transaksi atau kejadian sebagai kriteria aset karena transaksi atau kejadian tersebut dapat menimbulkan (menambah) atau meniadakan (mengurangi) aset. Misalnya perubahan tingkat bunga, punyusutan atau kecelakaan.
Pertanyaannya adalah dengan kriteria tersebut diatas, apakah sumber daya manusia, dalam hal ini pegawai, buruh, termasuk pegawai DitJend Pajak memenuhi semua kriteria diatas, sehingga layak disebut sebagai asset? Tidak! Untuk syarat no. 1 dan 3 terkait manfaat ekonomi dan timbul sebagai akibat dari transaksi masa lalu terpenuhi. Tetapi tidak untuk syarat no 2 yaitu dikuasai dan dikendalikan oleh entitas. Manusia dalam hal ini SDM bukan barang, tetapi mahluk hidup yang mempunyai hak azasi. Hak hidup, hak berserikat dan berkumpul, hak menyatakan pendapat dan lain lain. Hak hak asasi manusia tersebut diperoleh langsung dari Tuhan, sehingga organisasi, perusahaan ataupun negara tidak bisa menguasai hak tersebut. Organisasi tidak boleh melanggar HAM, guna mencapai tujuan.

Larangan berorganisasi diluar kantor, larangan menjadi pengurus RT/RW, larangan menjadi pengurus tempat ibadah, larangan menjadi panitia peringatan hari kemerdekaan dll dengan alasan mengganggu konsentrasi pekerjaan, menurut saya adalah kebijakan yang kontra produktif, berdampak negatif untuk organisasi dalam jangka panjang dan melanggar HAM.

Pemahaman yang baik akan sumber daya manusia merupakan poin kritikal yang penting dan mutlak dikuasai oleh setiap pengambil kebijakan dalam suatu organisasi di era keterbukaan dan di era yang menuntut profesionalisme saat ini. Pendekatan dan kebijakan yang tepat akan membuat pegawai disiplin, bersemangat, gembira dan sungguh-sungguh berusaha untuk merealisasikan tercapainya tujuan organisasi.

Penutup
Secara singkat kebijakan-kebijakan kepegawaian yang diambil baik menyangkut mutasi, promosi, penjatuhan sanksi kepegawaian dan kebijakan kebijakan lain, menurut pendapat saya perlu didasarkan atas penelitian yang mendalam dan seksama serta diumumkan dan dikomunikasikan dengan lebih baik dan lebih transparan. Ketertutupan dan ketidakjelasan tentang asumsi dan latar belakang kebijakan yang diambil pimpinan akan menciptakan keragu-raguan dan kecurigaan. Secara politis, ketidak jelasan ini akan menimbulkan resistensi dan reaksi negatif dari pegawai sehingga kebijakan itu justru menjadi tidak produktif. Kebijakan yang rasional, manusiawi dan transparan akan mendorong peningkatan kinerja suatu organisasi