Senin, 17 Maret 2008

BPK RI VS Direktorat Jenderal Pajak : Upaya-upaya BPK Menembus Dinding Tebal DJP

Oleh: Putri Widyawati


Sesuai dengan amanat konstitusi yang dituangkan dalam amandemen UUD 45 pasal 23E bahwa BPK RI sebagai satu-satunya lembaga eskternal pemeriksa keuangan negara.
Keuangan negara yang menjadi obyek pemeriksaan BPK adalah keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang meliputi pula di dalamnya pengelolaan dan tanggung jawab penerimaan negara yang bersumber dari pajak.

Berkaitan dengan itu, BPK mempunyai kewenangan memeriksa Direktorat Jenderal Pajak, sebagai institusi yang memberi kontribusi paling besar dalam menyumbang APBN mencapai 70%.
Namun kewenangan BPK harus terganjal dengan pasal 34 UU No 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Polemik tentang pemeriksaan oleh BPK terhadap Institusi DJP sampai saat ini belum menemui titik temu kesepakatan. Berbagai alternatif telah diupayakan.
Ketua BPK, Anwar Nasution pernah mengirim surat kepada Ketua DPR RI Agung Laksono. Dalam surat tersebut Ketua BPK menyampaikan pendapat BPK mengenai RUU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang saat itu drafnya sedang dibahas Panitia Khusus (Pansus) DPR.

Berkaitan dengan pembatasan akses pemeriksaan itu, dalam surat itu BPK mengimbau DPR untuk mengubah ketentuan dalam Pasal 34 Ayat 2a huruf b Undang-Undang Perpajakan. Karena dinilai bertentangan dengan Pasal 23 E UUD 1945, yang memberikan kedudukan konstitusional bagi BPK sebagai satu lembaga pemeriksa keuangan negara.
Tetapi rupanya RUU telah ditetapkan menjadi UU No 28 tahun 2007 dan pasal 34 masih tidak berubah. Dan langkah BPK untuk memeriksa penerimaan dan piutang dari sektor pajak terganjal.

Sebenarnya hubungan antara BPK dan DJP mengalami pasang surut. Tahun 2001 – 2006 barangkali merupakan hubungan terbaik antara BPK RI dan DJP. Dimana BPK dapat melakukan pemeriksaan dan mendapat akses masuk memperoleh data-data yang diperlukan. Tidak banyak kendala yang diperoleh karena tiap tahun BPK mengajukan surat permohonan ke Menteri Keuangan untuk mendapat akses masuk terhadap data-data. Dan dari DJP selalu mendapat respon baik dengan dikeluarkan semacam Surat Keputusan dari Dirjen Pajak tentang ijin memperoleh data-data yang dibutuhkan dalam rangka pemeriksaan.

Namun sejak tahun 2007, surat ijin tersebut menjadi barang langka yang tidak bisa dikeluarkan oleh Dirjen Pajak maupun Menteri Keuangan, dengan alasan pasal 34 ayat (1) dan ayat (2a) UU 28/2007.
Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2a) UU 28/2007 lengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2a) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) adalah:
a. Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan.
b. Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara.

Berulang kali BPK melayangkan surat ke DJP maupun Menteri Keuangan, tapi tidak mendapatkan hasil yang diharapkan.

Menurut penulis, ada beberapa alternatif yang dapat dicoba berkaitan dengan pembatasan pemeriksaan. Dapat digunakan untuk jangka menengah atau jangka panjang. Alternatif yang penulis sajikan sebenarnya adalah kumpulan dari yang pernah penulis baca dari berbagai media.

Pak Anwar Nasution dalam kapasitasnya sebagai pimpinan lembaga negara, tentu bisa memperoleh selembar surat, seperti yang bernomor S-1234/MK.04/1987 yang ditandatangani Menteri Keuangan (saat itu) Radius Prawiro. Surat itu dikirim kepada Menko Ekuin dan Pengawasan Pembangunan pada 3 November 1987. Surat bertajuk Realisasi pemberian restitusi pajak itu muncul setelah Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan bukti bahwa dalam proses pemberian restitusi pajak telah terjadi sejumlah penyimpangan. Dokumen itu kemudian dibawa ke sidang kabinet dan disampaikan langsung kepada Presiden (saat itu) Soeharto. Menanggapi temuan BPKP itu, Radius menjawab dengan mengutip Pasal 34 UU KUP lengkap dengan penjelasannya, persis seperti disampaikan oleh Darmin maupun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Mendengar penjelasan tersebut, Presiden Soeharto menjawab, "Jika menteri keuangan tidak bisa membuat surat izin kepada BPKP untuk mengaudit pajak, maka saya sendiri yang akan menandatangani surat itu." Tidak sampai 24 jam kemudian, kata seorang mantan pejabat BPKP, sebuah surat dengan tembusan kepada Kepala BPKP dan Dirjen Pajak sudah ada di meja kerja Menko Ekuin dan Wasbang saat itu. Surat itu menjadi awal kerja sama Ditjen Pajak dan BPKP yang terus berlangsung hingga hari ini, tak sebatas pemeriksaan khusus restitusi pajak, tetapi juga pemeriksaan khusus WP grup, pemeriksaan khusus WP potensial, tim pemeriksaan gabungan dan tim optimalisasi penerimaan negara. Mungkinkah surat Radius itu bisa dijadikan yurisprudensi, sehingga BPK, yang derajatnya di atas BPKP, bisa mengaudit pajak?

Atau bisa juga perang dingin ini dicairkan dengan semacam Mou atau kesepakatan antara BPK RI dengan DJP tentang kemudahan BPK RI mendapatkan data-data yang diperlukan, sementara pihak DJP juga tidak dianggap melakukan pelanggaran pasal 34. Seperti yang sedang diusahakan selama ini. Sehingga akan diperoleh win-win solution.

DJP menawarkan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bisa memeriksa Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) untuk menilai kinerja petugas pajak. Namun pemeriksa harus menandatangani komitmen untuk tidak membuka hasil pemeriksaan kepada publik.
Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution mengatakan pihaknya telah tiga kali bertemu dengan Ketua BPK Anwar Nasution untuk membicarakan protokolnya. Pembicaraan itu telah dilakukan sejak satu tahun lalu.
"Saya sudah bicarakan dengan Pak Anwar. Kalau yang mau dinilai kinerja petugas pajak, ya bisa dilihat hasil pemeriksaan SPT petugas pajak,: kata Darmin di Gedung DPR Jakarta, kemarin. Menurut dia, pembicaraan masih berjalan hingga saat ini.
Dirjen Pajak Darmin Nasution mempersilakan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit hasil pemeriksaan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) petugas pajak. Namun, ia meminta agar BPK tidak memeriksa seluruh SPT Wajib Pajak. "Kita menawarkan ke BPK, untuk hasil pemeriksaan silakan dicari sampel. Kan, nggak mungkin juga kalau diperiksa semua. Terserah kepada BPK untuk memilih sampelnya. Nah, itu boleh diperiksa," kata Dirjen Pajak Darmin Nasution kepada wartawan. Menurutnya, dari sampel yang diambil BPK harus diperiksa secara menyeluruh untuk mengetahui berapa banyak petugas pajak yang melakukan penyimpangan. Selain itu, BPK juga harus memberitahu berapa banyak petugas pajak yang memeriksa dengan benar. "Kalau sampelnya 500, ya 500-nya yang diperiksa. Dan hasilnya kita minta, dari 500 itu berapa petugas pajak yang pemeriksaannya betul. Berapa yang tidak betul,"
katanya.

BPK belum bisa menerima tawaran tersebut, karena tetap saja ada pembatasan akses data pemeriksaan.
Apalagi pernyataan Pak Darmin di anulir lagi oleh Bu Menteri.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai pernyataan Dirjen Pajak tidak dapat diartikan bahwa BPK dapat mengakses wajib pajak sampai detail. "Jadi bukan berarti BPK dapat mengakses data wajib pajak hingga detail. Informasi yang akan diberikan kepada auditor BPK hanya besaran setoran pajak dari masing-masing wajib pajak," jelasnya. Menurut dia, pada dasarnya pemerintah tidak menginformasikan hal baru terkait dengan audit yang akan dilakukan BPK di Ditjen Pajak.

Kesepakatan belum dicapai, dan BPK telah mempersiapkan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Seperti yang terjadi saat sekarang.
Badan Pemeriksa Keuangan tetap menginginkan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, yang merupakan amandemen ketiga Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Ketua BPK Anwar Nasution menegaskan pihaknya tetap akan mengajukan rencana uji materi (judicial review) terhadap undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
Pernyataan Anwar sekaligus menegaskan bahwa BPK enggan menempuh jalur dialog dengan Departemen Keuangan. Alasannya, kebaikan hati pejabat pemerintah saat ini tidak menjamin amanat konstitusional yang dimiliki BPK tetap berjalan.

Bahwa apa yang dilakukan oleh BPK selama ini, agar bisa mengakses data ke DJP adalah sebagai sebuah upaya. Sehingga BPK sebagai pemeriksa eksternal keuangan negara dapat melakukan tugasnya sesuai dengan yang diamanatkan dalam konstitusi.
Bahwa dalam melaksanakan amanat konstitusi tersebut BPK mendapat ganjalan dari sebuah peraturan yang lahir dari pemerintah setelah melalui persetujuan DPR, yaitu pasal 34 UU no 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan dan Tata Cara Perpajakan.

Dalam mencapai cita-cita, seseorang harus punya rencana A, rencana B, rencana C dan selanjutnya. Jika rencana A gagal, maka gunakan rencana B. Jika rencana B gagal gunakan rencana C dan seterusnya. Bisa juga untuk mencapai cita-cita dengan menggabungkan beberapa rencana. Makin banyak alternatif rencana, makin mudah mencapai cita-cita.
Jika BPK diibaratkan seseorang yang sedang meraih cita-cita, maka BPK telah menempuh rencana A. Sementara rencana A belum menemukan hasil, rencana B telah dijalankan.
Semoga BPK masih mempunyai banyak rencana, agar dapat masuk, menembus dinding tebal DJP untuk mencapai tujuan seperti yang sudah diamanatkan dalam konstitusi.

*Penulis tinggal di Jakarta

Menggali Potensi Penerimaan Negara dari Zakat sebagai Solusi Pengentasan Kemiskinan. Mungkinkah?

Oleh: Kartika Sari


Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) meminta DPR menjadikan zakat sebagai pengurang pajak karena zakat dapat berperan dalam pengentasan kemiskinan. Karena itu, DPR diminta untuk segera mengamandemen UU Pajak Penghasilan (PPh).
Saat ini zakat baru ditetapkan sebagai pengurang penghasilan kena pajak (PKP) dan bukan sebagai pengurang langsung atas pajak. Hal tersebut berdasarkan UU No 17 tahun 2000 tentang amandemen atas UU No 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan (PPh) dan UU No 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Kebijakan tersebut dinilai tidak berdampak besar terhadap perkembangan zakat di Indonesia.

Akhir-akhir ini, berkembang aspirasi untuk mengamandemen UU No. 38/ 1999 dan revisi UU No. 17 tahun 2000 yang sedang dalam pembahasan. Berbagai usulan telah disampaikan agar pembayaran zakat mengurangi kewajiban pajak (tax deductable).
Keinginan tersebut sama sekali bukan tanpa dasar. Di negara-negara Amerika dan Eropa, donasi yang dikeluarkan perseorangan atau perusahaan diterima pemerintah sebagai bagian pembayaran pajak. Di Malaysia, zakat yang dibayarkan telah diakui sebagai pengurang pajak.

Zakat memiliki peran sosial sama seperti pajak. Termasuk berperan pengentasan kemiskinan. Karena itu, zakat sudah selayaknya menjadi pengurang pajak agar masyarakat termotivasi untuk membayar zakat. Dengan demikian, zakat sebagai pengentas kemiskinan dapat berkembang pesat di Indonesia.
Ketua I Baznas, Eri Sudewo juga mengungkap hal serupa. Bila pajak dapat dijadikan sebagai pengurang pajak, maka zakat dapat menjadi instrumen pendukung program pemerintah. Hal tersebut dilakukan dengan mendorong pengelolaan pajak untuk kepentingan infrastruktur non sosial. Sedangkan, zakat untuk pengelolaan sosial. `’Jadi, zakat dikelola untuk kepentingan sosial pengentas kemiskinan dan bencana. Sedangkan, pajak digunakan untuk membangun infrastruktur. Saya kira konsep ini cukup tepat,” katanya.

Penanganan kemiskinan dengan mendorong perkembangan zakat lebih baik dibandingkan dengan berutang ke luar negeri. Namun, saat ini, pemerintah memilih menangani persoalan kemiskinan di Indonesia dengan mencari utang luar negeri.
Berdasarkan hasil pengkajian Baznas, potensi zakat profesi satu tahun di Indonesia bisa mencapai sekitar Rp 32 triliun. Kalau potensi dana zakat tersebut disadari pemerintah dan dikelola dengan baik, maka permasalahan kemiskinan di Indonesia dapat diatasi dengan segera tanpa harus berutang.
Dualisme kewajiban pajak dan zakat tersebut telah dikompromikan dengan Undang-undang nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat dan Undang-undang nomor 17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan, dengan mengakui zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak.

Sayangnya, karena zakat hanya diakui sebagai biaya, maka dampak bagi kewajiban pajak masih relatif kecil. Sehingga regulasi tersebut belum cukup efektif untuk meningkatkan pajak maupun zakat. Lain halnya jika pembayaran zakat mengurangi kewajiban pajak, hilangnya kewajiban ganda itu tentu sangat melegakan umat Islam.
Ada kekhawatiran pada sebagian kalangan, bila zakat mengurangi pajak, maka perolehan pajak akan berkurang. Kekhawatiran tersebut tidaklah beralasan. Penerimaan zakat tidak akan banyak mengurangi penerimaan pajak.
Fakta empiris membantah kekhawatiran tersebut. Data penerimaan zakat dan pajak di Malaysia selama tahun 2001-2006, terlihat bahwa peningkatan zakat ternyata seiring dengan peningkatan pajak. Artinya saat zakat mengurangi pajak, maka penerimaan zakat dan pajak justru meningkat.
Beranikah kita mencontohnya?
Di negara serumpun, Malaysia, realisasi pengelolaan zakat oleh negara bukan basa-basi. Hasilnya sangat signifikan. Di Malaysia, pendapatan zakat dan pajak mengalami peningkatan pasca penerapan kebijakan zakat sebagai pengurang pajak. Ternyata, dana pajak yang dikumpulkan tidak mengalami penurunan. Dalam laporan Kementerian Keuangan Malaysia 2006 dan Laporan Pusat Pungutan Zakat Malaysia 2006, terungkap bahwa pendapatan pajak dan zakat memiliki korelasi positif. Ustadz Didin mengambil contoh, pada tahun 2001 pendapatan zakat sebesar 321 juta ringgit dan pendapatan pajak berkisar pada angka 79,57 milyar ringgit. Tahun berikutnya, pendapatan zakat naik menjadi 374 juta ringgit. Demikian pula dengan pendapatan pajak yang naik menjadi 83,52 milyar ringgit. Pada tahun 2005, pendapatan zakat telah mencapai angka 573 juta ringgit, sedangkan pajak 106,3 milyar ringgit. Dengan demikian, prosentase pendapatan zakat terhadap pajak relatif konstan, yaitu berkisar antara 0,4% (2001) hingga 0,54% (2005), tegasnya.
Prof. Dr. H. Didin Hafidhuddin, Ketua BAZNAS, mengatakan bahwa UUD Pasal 34 telah mengamanatkan kepada negara untuk memperhatikan dan mengangkat nasib fakir miskin, akan tetapi hingga kini menurut beliau belum ada UU khusus yang berbicara pengentasan kemiskinan. Oleh karena itu menurut Ustadz Didin, sangatlah tepat jika zakat dijadikan instrumen oleh negara dalam mengurangi angka kemiskinan. Disinilah relefansi usulan agar zakat dapat mengurangi pajak, bukan hanya sekadar pengurang penghasilan kena pajak, berdasarkan UU No. 17 tahun 2000 dan UU No. 38 tahun 1999.
Perlu juga disadari bahwa sesungguhnya antara UU no 17/2000 dan UU No 38/1999 tidaklah konsisten. Sebab seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa didalam UU No 17/2000 dinyatakan bahwa yang dapat dikurangkan atas penghasilan kena pajak hanyalah zakat penghasilan (zakat profesi). Padahal pada saat yang sama di dalam UU No 38/1999 disebutakan bahwa zakat (tanpa ada embel−embel atas penghasilan) dapat dikurangkan atas penghasilan kena pajak. Sementara sangat jelas bahwa yang dimaksud zakat di dalam UU No 38/1999 adalah semua harta yang wajib disisihkan oleh kaum muslimin sesuai dengan ketentuan agama, yang terdiri atas ; emas, perak, dan uang ; perdagangan dan perusahaan; hasil pertanian; hasil perkebunan; hasil pertambangan; hasil peternakan; hasil pendapatan dan jasa; serta rikaz.
Hal lain yang patut disayangkan, bahwa UU Zakat tidak menetapkan sanksi yang seimbang antara pengelola dan muzaki.Dikatakan dalam UU No 38 / 1999 pengelola zakat yang terbukti lalai tidak mencatat atau mencatat secara tidak benar harta zakat, infak, sedekah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat, diancam hukuman kurungan selama−lamanya tiga bulan dan atau denda sebanyak−banyaknya Rp 30 juta. Idealnya, sanksi hukum tidak hanya dikenakan kepada pengelola zakat saja, tapi juga kepada muzaki yang tidak melaksanakan kewajibannya.
Bicara zakat di Indonesia, agaknya tertakdir kisruh. Guratan sejarah tak bisa ditepis, profesionalitas pengelolaan zakat dimulai dari masyarakat. LAZ bangkit karena negara tak mau tahu soal zakat. Diakui atau tidak, UU 38 tahun 1999 diilhami maraknya LAZ. Namun hadirnya UU itu, agaknya disemangati memangkas LAZ. Saat Jusuf Kalla menjabat Menko Kesra di era Gus Dur, ia tak sepakat zakat dikelola negara. Hal senada diulang ketika Munas FOZ di Balikpapan tahun 2003. Alasannya sederhana, dia tak percaya.
Sepekan menjelang tutup Ramadhan 1427 H, Presiden SBY tunaikan zakat via Baznas. Esoknya Wapres RI juga bayar zakat. Namun JK tetap konsisten dengan opininya. Zakatnya tak ditunaikan di lembaga bentukan pemerintah. JK punya postulat sendiri, yang pilihannya jatuh pada LAZ NU (Nahdatul Ulama).
Sebagian pejabat yang berwenang di zakat, meyakini bahwa soal zakat di Indonesia bersumber pada UU 38 tahun 1999. Namun bagi arsitek UU, pengelolaan zakat belum menjalankan petuah UU. Jika ditilik dari isi UU itu, ada dugaan terjadi pemaksaan multiperan di satu tubuh. Baznas dipaksa punya tiga peran: regulator operasional, pengawas, dan sekaligus berfungsi sebagai operator. Mustahil bisa diraih kinerja terbaik, jika pengatur laku berperan juga sebagai pengawas dan bahkan jadi pemain.
Sudah berkali-kali kelembagaan zakat diadvokasi untuk dibenahi. Ada tiga alternatif yang digagas. Pertama, jika pemerintah sungguh-sungguh, bentuk segera kementerian zakat dan wakaf. Agar efisien dan efektif, pilih kementerian non-departemen. Mintalah bantuan Ditjen Pajak sebagai gerai penghimpunan zakat di seluruh Indonesia. Syaratnya, dengan terpaksa Baznas ditutup, agar tak terjadi dualisme manajemen dan komando.
Alternatif kedua, bentuk Ditjen Zakat sederajat dengan Ditjen Pajak. Agar zakat bisa mengurangi pajak, Ditjen Zakat ditempatkan di Depkeu. Karena tugasnya hanya menghimpun dana, maka pendayagunaan zakat mesti melibatkan BAZ kabupaten/kota dan LAZ. Alternatif ketiga, jika ditjen sulit dibentuk, saatnya Baznas diprofesionalkan. Ihlaskan Baznas independen di bawah presiden atau wapres.
Dana zakat yang terhimpun dimasukkan ke dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan penggunaan PNBP dana zakat sesuai dengan prosedur penggunanaan PNBP. Dalam penyaluran dana zakat disesuaikan dengan Alquran dan Sunnah Rosul, yang ditetapkan dalam suatu peraturan dari pemerintah. Selain itu, yang tak bisa ditawar-tawar lagi adalah SDM pengelolanya haruslah handal, berkualitas, amanah, dan memiliki kafa’ah (kapabilitas) syari’ah dan manajamen zakat tentunya. Oleh karena itu, SDM yang selama ini mengelola BAZ dan LAZ dengan amanah dan profesional, harus dilibatkan, tentunya setelah melalui proses fit and proper test yang ketat. Dengan demikian diharapkan, jika zakat dikelola ‘satu pintu’ oleh negara oleh SDM profesional dan amanah, selain lebih ‘yunnah’ juga insya Allah akan lebih multimanfaat bagi ummat.
Apabila yang diinginkan Baznaz dikabulkan pemerintah, yaitu zakat sebagai pengurang pajak. Dilanjutkan dengan pengelolaan dana zakat yang transparan dan profesional maka itu adalah kemajuan yang hebat. Umat Islam tidak ragu-ragu menunaikan zakatnya melalui lembaga resmi pemerintah. Dan saya yakin, dana zakat yang terhimpun akan optimal, dan sangatlah tepat jika zakat dijadikan instrumen oleh negara dalam mengurangi angka kemiskinan.
Karena seiring dengan kekuatan yang besar, datang tanggungjawab yang besar.

Penulis adalah seorang dosen dan tinggal di Jakarta

Selasa, 04 Maret 2008

PENYELESAIAN PALSU DALAM PEMERIKSAAN

Oleh: Imam Nashirudin, SE., Ak, MM[1]

Pemeriksaan dilakukan dengan tujuan Untuk menguji kebenaran, kewajaran dan merefleksikan kondisi perusahaan, ataupun kondisi suatu institusi/departemen yang sebenarnya. Laporan keuangan yang sudah di audit tadi kemudian dipakai sebagai dasar oleh berbagai pihak untuk pengambilan keputusan.

Maka, kalau laporan keuangan yang sudah diaudit tadi ternyata tidak mencerminkan kebenaran atau kewajaran, celakalah yang mengambil keputusan. Lalu yang menjadi pertanyaan vital adalah, apakah laporan audit di indonesia dapat dipercaya sebagai cerminan dan gambaran kewajaran dan kebenaran suatu perusahaan/Organisasi/institusi? Untuk menjawabnya kita perlu belajar dari sejarah, Kita bisa menengok kasus kredit macet di BPPN yang nilainya mencapai trilliunan rupiah. Dalam tulisan ini Saya tidak akan membahas panjang lebar tentang krisis ekonomi yang diawali dengan krisis perbankan tersebut. Pada saat ini saya akan membahas timbulnya penyelesaian palsu dalam pemeriksaan yang dampaknya berimbas ke berbagai sektor termasuk sektor perbankan dan berakibat sangat buruk bagi perekonomian kita.
Auditor dalam suatu organisasi merupakan subyek dari dua sumber kekuasaan yang berbeda, yaitu kekuasaan birokratis dan kekuasaan profesional. Kekuasaan profesional merupakan kompetensi keahlian yang diakui, yang mendorong seseorang untuk secara sukarela mengikuti arahan profesinya. Sedangkan kekuasaan birokratis sebaliknya, merupakan kekuatan perintah yang memiliki legitimasi karena berada dalam posisi resmi, yang mewajibkan bawahannya untuk mengikuti arahan dibawah ancaman atau sanksi.
Tekanan dari pimpinan atas perilaku etis, faktor mental dan rendahnya kemampuan teknis auditor dalam hal pemeriksaan akan mendorong seorang auditor untuk membuat penyelesaian palsu dalam pemeriksaan (false sign of). False sign of atau penyelesaian palsu adalah suatu tindakan dari seorang auditor yang membuat laporan tidak sesuai dengan temuan faktual di lapangan, ataupun membuat laporan pemeriksaan yang tidak didasarkan atas pengujian yang semestinya. Hal ini biasanya disebabkan oleh banyaknya tugas pemeriksaan yang harus diselesaikan, pendeknya jangka waktu pemeriksaan, rendahnya penguasaan teknis pemeriksaan, intervensi pimpinan, ataupun masalah mental pemeriksa.

KEBIJAKAN PEMERIKSAAN
Dalam tulisan ini saya ingin mengusulkan perlunya peninjauan kembali tentang beberapa aturan kebijakan pemeriksaan di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, di lingkungan dimana sekarang saya bekerja, diantaranya tentang kebijakan pemeriksaan dengan kriteria rutin khususnya pemeriksaan untuk kriteria SPT lebih bayar, mengingat jumlah tenaga fungsional yang dimiliki DJP sangat terbatas sedangkan volume pekerjaannya cukup banyak, kemudian masalah aturan tentang penentuan besarnya target penyelesaian pemeriksaan, luas pemeriksaan, jangka waktu penyelesaian pemeriksaan, sistem pembinaan dan recruitment tenaga auditor. Penetapan target yang tidak terlalu tinggi dan volume pemeriksaan yang tidak terlalu banyak akan mendorong pemeriksa untuk menghasilkan laporan pemeriksaan yang berkualitas dan menghindarkan terjadinya penyelesaian palsu. Sistem pembinaan dan recruitment auditor yang baik akan menghasilkan seorang auditor yang profesional dan dapat diandalkan.

Penutup
Intervensi dari pimpinan struktural maupun non struktural dengan berbagai pertimbangan, penetapan target penyelesaian pemeriksaan yang terlalu tinggi, jangka waktu penyelesaian pemeriksaan yang pendek, luasnya pemeriksaan, penguasaan teknis pemeriksaan yang rendah serta faktor mental individu yang rendah akan mendorong auditor untuk melakukan tindakan tidak etis berupa pembuatan penyelesaian palsu.
Pembinaan dan pengawasan yang baik akan mendorong tingkat penyelesaian pemeriksaan dan akan mendorong peningkatan kualitas hasil pemeriksaan.
[1]Penulis adalah Ketua Forum SOLUSI UNTUK INDONESIA

EVALUASI KINERJA DAN KAMBING HITAM

Oleh : Imam Nashirudin, SE., Ak, MM

Dalam ungkapan Belanda, “Kambing Hitam” ialah Zondebok, artinya “bandot yang berdosa”. Dari sudut mayoritas alam hewani di belahan dunia yang bermusim dingin itu, domba berbulu putih tebal adalah mayoritas, sedangkan kambing yang berbulu hitam dan berkulit tipis nyaris tidak ada. Seandainya kancil di tanah air masih bisa berbicara seperti didalam dongeng, pasti dia akan meng “kick balik” istilah itu: Kambing hitam? What is that? Apaan tuh! Ganti: domba putih! Bilang sama orang kompeni Belanda, disini jangan cari zondebok, tapi carilah zondeschaap!
Terlepas dari kebenaran terminology penggunaan istilah kambing hitam di Indonesia, tapi istilah tersebut sering digunakan apalagi pada akhir tahun, dimana target kinerja biasanya akan dievaluasi.

Bagi yang kinerjanya bagus tidak ada masalah, namun bagi yang kinerjanya jelek, biasanya siap-siap mencari kambing hitam ataukah siap-siap untuk dijadikan kambing hitam? Waspadalah, kalau anda dijadikan kambing hitam, anda harus siap untuk disembelih oleh siapa saja. Kambing hitam, kalau kambing qurban, itu mulia.
Mengkambinghitamkan pihak lain, seperti, anak buah yang serba “minim”, kurangnya sarana dan prasarana, menurut saya adalah tindakan yang tidak “gentle” dan menunjukkan tidak adanya koordinasi. Seorang Pimpinan harus berani ambil resiko dan harus berani ambil tanggung jawab, jika target yang telah ditentukan tidak bisa dipenuhi.
Target yang ditetapkan oleh suatu institusi biasanya dibuat dengan pertimbangan pertimbangan dan asumsi tertentu. Seperti target penjualan, target penerimaan pajak, target penyaluran kredit dan lain lain. Adapun halnya dengan target penerimaan negara dari sektor pajak yang dibebankan ke Direktorat Jenderal Pajak yang kemudian target tersebut didistribusikan ke tiap-tiap kantor, tidak bisa dilepaskan dari faktor faktor eksternal seperti pertumbuhan ekonomi dalam negeri, adanya bencana alam, tingkat keamanan, kepastian hukum, inflasi dan lain lain. Sayangnya banyak orang yang lebih melihat pada hasil akhir dan tidak secara teliti melihat proses pencapaian target tersebut. Jika target yang dibebankan pada suatu institusi atau suatu kantor terlalu rendah, tentu dengan mudah, tanpa upaya yang ekstra mereka akan dengan mudah pula mencapainya. Begitupun sebaliknya dengan beban yang terlalu besar, suatu kantor atau institusi akan kesulitan untuk memenuhi target tersebut.
Dalam proses evaluasi, mustinya DJP melihat bagaimana proses untuk memenuhi target tersebut dilakukan. Pertama sekali, tentu saja, apakah target yang dibebankan tersebut telah dialokasikan secara benar dan adil? Benar dan adil disini, harus mempertimbangkan potensi nyata yang ada pada suatu kantor. Kemudian dilihat, apakah responsibilities centre tersebut telah melakukan langkah-langkah strategis yang tepat dan cukup guna mencapai target yang ditetapkan? Apakah kendala-kendala pencapaian target tersebut controllable bagi pusat responsibilities center tersebut? Bagaimana jika tidak tercapainya target dikarenakan oleh variable-variable yang uncontrollable. Penilaian secara profesional dengan memperhatikan kaidah-kaidah ilmiah terhadap tiap-tiap responsibilities center menurut saya mutlak diperlukan guna peningkatan kinerja DJP ke depan. Saya setuju, jika hasil evaluasi yang dilakukan secara obyektif dan ilmiah tersebut dijadikan dasar untuk pemberian reward and punishment, karena DJP perlu pimpinan-pimpinan di pusat-pusat responsibilities center yang tahu tugasnya. DJP perlu kandidat yang lebih baik guna menghadapi tantangan-tantangan yang lebih kompleks, dan DJP tidak perlu menyediakan tempat untuk on the job training, bagi kandidat yang tidak punya nyali dan keberanian untuk ”bertempur” di lapangan.
Singkatnya, semoga kita mau bersabar dan berpikir serta mengambil keputusan berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah. Kita tidak hidup di republik mimpi seperti yang ditayangkan di televisi. Mari kita berpikir dan bertindak dengan menggunakan nalar dan akal sehat kita. Reward and Punishment sebagai instrument untuk memotivasi pegawai di lingkungan kantor modern mutlak diperlukan. Selamat bekerja, Selamat berkarya, Jayalah Indonesiaku!

PRESTASI KERJA

Oleh: Imam Nashirudin, SE., Ak, MM



Ada yang berpendapat bahwa keberhasilan mencapai target atau standar kerja suatu institusi atau suatu departemen adalah karena kebetulan, nasib baik, keberuntungan ataupun karena alasan rasi bintang dilangit. Untungnya orang yang mempunyai pandangan seperti itu jumlahnya sedikit. Prestasi kerja yang baik adalah buah dari kerja keras yang cerdas dan terarah. Selain do’a dan ridha Allah SWT, kepandaian, kreatifitas, team work yang bagus dan ketekunan adalah unsur utama.

Unsur-unsur tersebut sebenarnya sudah dimiliki oleh kebanyakan pegawai di kantor kita. Sayangnya banyak diantara kita yang menurut pendapat saya, kurang menyadari dan mereka menunggu sampai peristiwa-peristiwa genting terjadi sebelum kita menyiapkan diri.
Bekerja dalam kultur yang kompleks, awan badai selalu menggantung meskipun hujan belum juga turun. Pendeknya, suka atau tidak, tugas dan tanggung jawab untuk mengamankan penerimaan pajak yang selalu meningkat tiap tahun menghadang kita didepan. Yang saya maksudkan adalah: Kita diminta untuk membuat rencana kerja yang terinci dan applicable, membuat prognosa riil penerimaan sebagai akibat dampak kenaikan harga minyak, membuat analisa potential loss dengan adanya kebijakan penurunan suku bunga bank, menganalisis potensi penerimaan, melakukan intensifikasi, melakukan ekstensifikasi, membuat extra effort, membuat laporan penerimaan, hingga laporan evaluasi penerimaan akhir tahun.
Disitulah kita: Dalam waktu singkat tugas-tugas tersebut harus diselesaikan. Sesungguhnya, pada saat tulisan ini dibuat, kita tengah berada diambang banyak tugas yang belum akan berlangsung dalam waktu dekat ini.
Sayangnya, kita seringkali menunggu hujan deras sebelum kita mulai mempelajari dan mengumpulkan data. Pada saat itu, kita sudah harus melakukan intensifikasi dan melakukan extra effort guna mengamankan penerimaan, dimana waktunya sudah sangat mepet. Cukuplah dikatakan, satu-satunya pilihan pada saat itu adalah berimprovisasi atau jalani saja.
Kultur kita dipenuhi dengan pepatah yang mengingatkan untuk membuat perencanaan yang baik dan terinci dalam melaksanakan tugas, dan bukannya berimprovisasi, mulai dari pernyataan Benyamin Franklin yang menyatakan ”Jika anda gagal membuat rencana berarti anda membuat rencana untuk gagal” sampai motto pelatih football George Allen ”Definisi sukses adalah persiapan total”. Intisarinya adalah pentingnya memanfaatkan waktu sejak awal.
Jika saya akan melakukan hal yang baru, atau akan melakukan pendalaman terhadap masalah tertentu, saya selalu mengingatkan diri saya sendiri akan pepatah cina: ” Jika anda ingin tahu ada apa di depan sana, tanyalah orang yang baru saja kembali dari sana”. Menerapkan hal ini, saya selalu berusaha mempelajari arsip, dokumentasi terakhir dan mencari info ke pihak lain yang pernah berurusan dengan masalah yang sedang saya tangani. Bagaimanapun, peramal terbaik akan perilaku masa depan adalah perilaku masa lalu.
Singkatnya, marilah kita berintrospeksi diri, perbaiki kekurangan, akui kesuksesan teman dan tidak lupa saya mengucapkan selamat kepada yang telah mencapai prestasi baik di tahun ini.
Banyak cara yang bisa dilakukan untuk merayakan prestasi yang telah dicapai, ada yang melakukan tradisi ”cukur gundul”, potong tumpeng ataupun mengadakan ceremonial dengan dimeriahkan oleh hiburan musik dangdut. Seperti salah satu perhelatan di Suatu kantor yang pernah saya lihat. Mungkin karena para pegawai sudah lama tidak bisa menghibur diri, maka giliran acara syukuran tiba, dimana dalam acara syukuran tersebut dimeriahkan dengan organ tunggal dan musik dangdut, hasrat pegawai untuk mencari hiburan tidak terbendung, goyangan ala Inul pun diumbar, termasuk ibu-ibu darma wanita dan para pegawai putri. Goyangan mereka tidak kalah seru dari pedangdut populer. ” Ayo, tariik mang......................” ujar seorang staf laki-laki.

Modernisasi SDM Direktorat Jenderal Pajak - BUKAN BASA BASI

Oleh: Imam Nashirudin, SE., Ak, MM





“ Kalau cinta itu buta”
“ Buat apa ada Bikini”


“Setiap Gue dapat jawabannya”
“Ada yang ganti Pertanyaannya”



Kalimat-kalimat diatas adalah beberapa contoh kata-kata yang pernah digunakan dalam sebuah iklan rokok, produksi Sampurna. Saya yakin banyak diantara kita yang harus berpikir beberapa kali sambil menyunggingkan senyum atau bertanya-tanya, apa sih yang mau disampaikan? Untuk memahami makna dari berbagai iklan tersebut.

Persis seperti kebanyakan masyarakat dan wajib pajak yang selalu bertanya-tanya tentang perubahan-perubahan yang dilakukan Direktorat jenderal Pajak, termasuk modernisasi kantor pajak.

Tidak ada yang salah dengan organisasi yang lama, organisasi yang telah lama tumbuh dan memiliki lingkungan kerja yang harmonis. Tetapi manakala dunia berubah, menjadi lebih kompetitif dan dinamis, kita semua harus cepat melakukan penyesuaian. Nilai-nilai social harmony itu mau tidak mau harus diperkaya dengan nilai-nilai kecepatan, berorientasi pada bisnis, pelayanan dan competitiveness. DJP mutlak harus berubah menjadi lebih professional dan transparan. Yang tidak kalah penting dari proses modernisasi structural, adalah melakukan cultural migrations, dari yang sebelumnya tidak/belum competitive dan corporative menjadi budaya yang lebih competitive dan corporative. Hal ini diperlukan untuk mempercepat terjadinya value creation yang merupakan prioritas utama peningkatan kinerja DJP.
Ketergantungan DJP terhadap sumber daya manusia (pegawai) sangatlah besar, karena kalaupun kita telah berhasil merubah struktur organisasi menjadi organisasi yang lebih dinamis dan fungsional, tetapi kalau sikap mental, tingkah laku dan budaya yang berkembang tidak disesuaikan dengan nilai-nilai baru yang cocok dengan tuntutan zaman, maka reformasi tersebut menjadi tidak bermakna..
Sumber Daya Manusia DJP mengemban peran ganda yang harus dimainkannya, yaitu sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat. Sebagai abdi Negara, pegawai pajak adalah unsur aparatur Negara yang berfungsi melaksanakan administrasi pemerintahan dibidang pengawasan dan penerimaan Negara dari sektor pajak. Disisi lain, fungsi pegawai pajak adalah sebagai abdi masyarakat, karena secara khusus pegawai pajak menjalankan fungsi pelayanan kepada masyarakat dalam bidang perpajakan untuk kepentingan wajib pajak khususnya dan Negara pada umumnya. Keberadaan pegawai pajak dalam menjalankan tugasnya tidak hanya dihargai sebagai abdi semata, namun Negara memberikan penghargaan terhadap pengabdian tersebut dalam bentuk gaji, tunjangan khusus, tunjangan istri dll.
Sikap dan tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau seorang pegawai sangatlah erat kaitannya dengan motivasi yang melatarbelakanginya.. Motivasi yang mendasari tingkah laku seseorang akan memberi warna terhadap perbuatan yang dihasilkan. Motivasi seseorang untuk melakukan suatu aktivitas, tergantung pada mampu atau tidaknya aktivitas tersebut memenuhi kebutuhan fisik dan non fisiknya. Kalau kita kaitkan dengan teori kebutuhan Maslow, prioritas seseorang dalam bertindak dipengaruhi oleh skala kebutuhan yang diperingkat sebagai berikut:
1. Kebutuhan akan sandang, papan dan pangan
2. Kebutuhan akan rasa aman dari ancaman dan gangguan
3. Kebutuhan akan persahabatan dan cinta kasih
4. Kebutuhan akan adanya respek dan penghargaan
5. Kebutuhan akan pengembangan diri

Bersasarkan teori Maslow tersebut, setiap individu yang ingin mengembangkan karier di lingkungan PNS termasuk DJP, sejak dini harus sudah menyadari bahwa prioritas untuk pemenuhan kebutuhan fisik (sandang, pangan dan papan), secara normal adalah bukan untuk memenuhi kebutuhan materi secara besar-besaran. Karena keterbatasan kemampuan pemerintah untuk memenuhinya, baik itu dari struktur penggajian, maupun penyediaan tunjangan khusus dan jaminan social lainnya. Dengan demikian, menurut penulis, yang menjadi daya tarik berkarier sebagai PNS karena adanya point 2 sampai 5 dalam teori Maslow tersebut.
Dengan berkarier sebagai PNS, termasuk sebagai pegawai pajak, setiap individu mempunyai kesempatan untuk dapat meraih jenjang karier setinggi-tingginya. Secara ekstrem dapat dikatakan bahwa, setiap pegawai DJP boleh bercita-cita menjadi Dirjend Pajak bahkan menjadi Menteri Keuangan sepanjang pegawai tersebut berusaha untuk memenuhi semua persyaratan yang dibutuhkan guna meraih kedudukan tersebut. Hal ini merupakan masalah yang sulit untuk dicita-citakan di lingkungan swasta, terlebih jika perusahaan swasta tersebut adalah perusahaan keluarga.

Penutup

Intisari yang dapat diambil dari uraian diatas adalah jelas bahwa, keberhasilan reformasi ataupun modernisasi yang dilakukan oleh DJP sangatlah bergantung pada kesadaran, pemahaman, kesiapan dan kesanggupan para pegawai untuk beradaptasi dengan tuntutan perubahan zaman.
Jika diasumsikan bahwa seluruh pegawai dilingkungan DJP menyadari bahwa berkarier sebagai PNS termasuk sebagai pegawai pajak, secara normal bukan untuk memenuhi kebutuhan materi secara besar-besaran, maka titik berat motivasinya adalah terpenuhinya factor lain seperti kesempatan berkarier, rasa aman, pengakuan dan penghargaan. Tingginya tingkat kepastian terpenuhinya motivasi pegawai, akan berkorelasi dengan peningkatan kinerja DJP.

IMPLIKASI PENGAWASAN PAJAK TERHADAP PEREKONOMIAN NASIONAL

Oleh: Imam Nashirudin, SE., Ak, MM

Setiap pemakai laporan keuangan tidak bisa menghindari untuk mengambil keputusan, meskipun keputusan itu adalah keputusan untuk tidak melakukan apapun. Untuk mengurangi resiko dalam pengambilan keputusan, pemakai laporan keuangan memerlukan data yang benar. Untuk menjamin keakuratan dan kebenaran angka-angka yang tersaji dalam laporan keuangan, maka diperlukan suatu pemeriksaan.

Dalam menyelesaikan tugas pemeriksaan, auditor dihadapkan dengan berbagai masalah Mereka harus mengambil tindakan atau memilih suatu alternative tindakan untuk mencapai sasaran mereka. Tanpa sasaran dan tanpa data yang jelas mengenai sasaran tersebut, keputusan yang diambil akan sia-sia. Keputusan yang baik akan mencakup 2 sasaran secara bersamaan, yaitu efisiensi dan efektivitas Efisiensi adalah penggunaan sumberdaya dalam jumlah minimum yang diperlukan untuk mencapai sasaran. Efektivitas dilain pihak, menekankan pada hasil, khususnya tingkat pencapaian tujuan dari pemakaian sumber sumber.

Untuk menjamin kewajaran dan merefleksikan kondisi perusahaan yang sebenarnya, maka laporan tersebut diaudit oleh akuntan publik. Laporan keuangan yang sudah di audit tadi, dipakai sebagai dasar oleh berbagai pihak untuk pengambilan keputusan. Para pemakai laporan keuangan tersebut meliputi manajemen, investor, kreditor, pemerintah dan secara teoritik karyawan, supplier dan masyarakat, yang dalam realitanya di Indonesia tidak bisa memanfaatkan laporan keuangan tersebut secara langsung. Manajemen sebagai pemakai utama laporan keuangan membutuhkan informasi tersebut untuk mengetahui kemampuan mereka dalam mengelola perusahaan, investor membutuhkan informasi laporan keuangan untuk mendapatkan informasi mengenai deviden yang akan dibayarkan, juga prospek perusahaan dimasa depan. Kreditur membutuhkan informasi untuk mengetahui apakah pembayaran bunga oleh perusahaan dapat mereka terima tepat waktu, juga untuk mengetahui keamanan kredit yang mereka berikan.

Pemerintah memerlukan informasi untuk kepentingan perpajakan dan perencanaan ekonomi.
Maka, kalau laporan keuangan yang sudah diaudit tadi ternyata tidak mencerminkan kebenaran atau kewajaran, celakalah yang mengambil keputusan. Lalu yang menjadi pertanyaan vital adalah, apakah laporan audit perusahan-perusahaan di indonesia memang dapat dipercaya sebagai cerminan dan gambaran kewajaran dan kebenaran suatu perusahaan? Mengenai hal ini kita bisa belajar dari sejarah, kita bisa melihat kembali kasus kredit macet perbankan yang masuk ke BPPN. Karena BPPN tidak yakin dengan laporan keuangan hasil audit yang disampaikan oleh para banker, maka BPPN meminta konsultan asing, yaitu Lehman Brothers dan JP Morgan untuk melakukan audit dengan cara lain. Cara lain tersebut tidak disebut audit, tetapi due diligence, atau penelitian sungguh-sungguh.

Hasil due diligence tersebut sungguh mengagetkan , ternyata hasilnya berbeda jauh, bagai bumi dan langit. Asset yang terkandung dalam neraca audit JP Morgan dan Lehman Brothers jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai asset hasil audit yang tercantum pada neraca yang disampaikan oleh para banker, bahkan ada yang nilainya Cuma 20% dari nilai asset yang tercantum dalam laporan keuangan. Siapa yang salah? Dan kenapa bisa demikian? Hal ini bisa terjadi karena, due diligence oleh JP Morgan dan Lehman Brothers dilakukan atas dasar keyakinan mereka terhadap nilai asset sesungguhnya, setelah mereka melakukan berbagai penelitian, pengujian dan pembandingan dengan cermat.

Tidak demikian dengan akuntan publik. Akuntan disini bekerja dengan cara melakukan verifikasi antara angka yang tercantum dalam laporan keuangan yang disusun manajemen perusahaan dengan dokumen dasar. Jadi, kalau ada pembelian aktiva sebesar 200 Milyar dan transaksi itu didukung oleh kwitansi atau bukti pembayaran lain sebesar 200 milyar, maka transaksi tersebut dianggap benar. Bagaimana kalau manajemen perusahaan dan penjual aktiva bohong? Misalnya nilai aktiva tersebut sebenarnya Cuma 100 milyar tetapi dibukukan 200 milyar dan kwitansinya dibuat 200 milyar?

Bukankah pegangan akuntan public di Negara maju juga didasarkan atas dokumen dasar pembukuan seperti yang diberikan oleh manajemen? Benar, tetapi di sana apa yang tercantum dalam dokumen dasar mencerminkan kebenaran. Mereka tidak akan mau mengeluarkan kuitansi sebesar 200 milyar kalau transaksinya Cuma 100 milyar. Kenapa? Karena dia akan menciptakan laba palsu bagi perusahaannya, laba yang tidak ada dan dia akan dikenakan pajak atas laba yang tidak ada. Di Indonesia lain. Konon dia berani menerbitkan kuitansi sebesar 200 milyar walaupun harga sebenarnya Cuma 100 milyar, karena kontrol pajak di Indonesia lemah.

Statemen tersebut belum tentu benar 100 prosen, tapi kita bisa menjadikan statemen tersebut sebagai bahan koreksi dan introspeksi kita untuk perbaikan ke depan. Benarkah selama ini kontrol pajak kita lemah? Benarkah kasus-kasus seperti diatas dapat lolos dari pantauan tim pemeriksa pajak? Bagaimana itu bisa terjadi? Apakah ini masalah kemampuan teknis pemeriksa yang tidak memadai, ataukah masalah mental pemeriksa? Jikapun statemen itu benar, saya yakin, kasus lemahnya kontrol pajak di Indonesia bukanlah satu-satunya sebab timbulnya kasus “pepesan kosong” di BPPN, kasus dimana nilai riil asset sesungguhnya yang disita jauh lebih kecil nilainya jika dibandingkan dengan nilai aktiva yang tercantum dalam laporan keuangan hasil audit.

Penutup
Apakah pernah disadari betapa dahsyatnya akibat buruk dari lemahnya kontrol pajak terhadap perekonomian nasional kita. Kita menjadi saksi sejarah, betapa carut marutnya ekonomi kita saat krisis tahun 1998, dan bahkan dampaknya masih terasa hingga kini. Krisis ekonomi yang utamanya disebabkan oleh krisis perbankan yang berimbas ke sektor riil. Bunga bank waktu itu mencapai 70 prosen, sektor riil mati, banyak perusahan tutup , PHK dimana-mana, pengangguran melonjak dan angka kemiskinan meningkat tajam. Kita perlu belajar dari sejarah, agar kasus serupa tidak terulang dimasa yang akan datang.

PARADOKS EKONOMI

Oleh: Imam Nashirudin, SE., Ak., MM


Buntut penutupan usaha di berbagai tempat di Indonesia terasa makin getir. Karyawan yang di PHK bertebaran. Beban hidup yang dirasakanpun makin bertambah berat. “Jaman susah begini, kenyang urusan belakangan yang penting perut terisi,” kata sholihin, korban PHK yang kini jadi tukang ojek. Maka, sudah beberapa bulan ini, makan siangnya kerap diisi dengan ubi atau singkong rebus.

Kondisi ekonomi katanya membaik, rupiah stabil bahkan menguat, inflasi turun dan IHSG naik. Tapi kenapa hidup tetap saja terasa berat. Apanya yang salah? Apakah data-data yang dipakai sebagai dasar untuk membuat statemen oleh para ekonom itu salah? Apa tidak salah kalau para pengamat memberikan pernyataan-pernyataan tentang kondisi ekonomi kita yang sudah baik, sehingga tidak lama lagi pabrik-pabrik akan bekerja kembali, lapangan kerja akan terbuka dan daya beli akan meningkat. Apa statemen-statemen itu benar dan layak untuk dipercaya?

Kita tidak dapat menyalahkan para pengamat, Kalau kemudian angka absolutnya kemiskinan meningkat dan pengangguran bertambah, itu urusan lain, karena para ekonom memang begitu. Yang dia sebutkan satuan-satuan ekonomi, yang kalau mengecil minusnya dianggap membaik, dan begitu sebaliknya, kalau angka minusnya bertambah besar, maka ekonomi dianggap memburuk. Memang ada perbedaan antara bahasa yang biasa dipakai oleh para ekonom dengan apa yang dirasakan oleh rakyat banyak, terutama yang miskin. Kita mesti tahu, bahasa yang dipakai oleh para pengamat adalah bahasa, sesuai dengan yang diperoleh dari bangku kuliah. Kata-kata yang disampaikan oleh para pengamat bukanlah nilai absolutnya, tetapi trend-nya.

Misalnya, stabilitas dan menguatnya nilai rupiah. Dengan menguatnya rupiah, banyak yang berpendapat bahwa titik terendah sudah terlewati dan ekonomi akan bangkit kembali. Apakah benar selalu demikian gambarannya? Kalau penguatan itu didasarkan atas membaiknya fundamental ekonomi, itu benar. Tapi bisa juga menguatnya nilai rupiah disebabkan oleh factor-faktor lain. Seperti, implikasi penetapan bunga yang tinggi oleh pemerintah. Bunga yang tinggi akan menggiurkan pemegang dollar untuk memasukkan uangnya ke Indonesia dan ditanamkan dalam bentuk rupiah. Mari kita berhitung betapa menariknya suku bunga tinggi. Bila kita punya uang 100.000 dollar AS didepositokan di luar negeri dengan bunga 5% per tahun, maka bunganya 5.000 dollar AS. Kalau uang itu dirupiahkan dengan kurs Rp 10.000,- per dollar AS misalnya, menjadi 1 milyar rupiah. Dengan bunga 15% setahun, hasilnya Rp 150 juta atau senilai 15.000 dollar AS. Berarti, 3kali lipat daripada deposito di luar negeri.
Menariknya penempatan uang dalam deposito rupiah jelas membuat permintaan rupiah meningkat. Maka, sesuai dengan hukum permintaan, bilamana permintaan naik dan jumlah barang yang diminta tetap, maka nilainya akan naik. Sehingga permintaan tersebut akan menguatkan nilai rupiah.. Faktor yang melandasinya? Yakni, suku bunga yang tinggi.

Faktor lain, kenyataan bahwa penerimaan nasional tidak cukup untuk membiayai APBN. Untuk menutup kekurangan tersebut, pemerintah berutang ke luar negeri dalam bentuk dollar. Untuk biaya sehari-hari pemerintah harus menjual dollar. Jadi pasokan dollar meningkat dan permintaan rupiah bertambah.
Factor eksternal, yakni melemahnya dollar AS terhadap mata uang lainnya di dunia. Sebab, kalau nilai rupiah terhadap dollar tidak ikut menguat, akan terjadi arbitrase valuta. Jadi bukan pencerminan dari menguatnya fundamen ekonomi Indonesia, melainkan pencerminan dari melemahnya dollar AS.

Apa artinya inflasi tahun lalu 10 % dan sekarang 5% ? Artinya, kalau harga barang pada awal tahun 2005 Rp 10.000,- maka pada akhir tahun menjadi Rp 11.000,0 dan akan meningkat lagi pada saat ini menjadi Rp 11.000,- ditambah dengan 5% atau Rp 11.550,-.
Lho? Harga masih meningkat kok dikatakan sudah bagus? Inilah paradoks antara ekonom dengan perut. Ekonom mengatakan membaik, tetapi perut rakyat justru bertambah lapar.
Itu tadi belum memperhatikan pendapatannya. Kalau pendapatan dianggap tetap besarnya, perut menjadi bertambah lapar.

Bercerita tentang perut dan lapar, penulis teringat dengan penggemblengan yang dilakukan oleh sebuah perguruan silat di jawa tengah. Untuk mencapai tingkat tertentu dalam ilmu yang didalaminya, seorang murid harus digembleng dengan menahan lapar atau ngrowot, puasa hanya dengan makan umbi-umbian rebus atau ngalong, puasa hanya makan buah-buahan selama 21 hari. Jika mau mutih, makan nasi putih saja.
Mereka harus mampu mengenali diri sendiri, dan berlanjut dengan memahami sinyal-sinyal dari alam. Jika ngrowot sudah rampung, diteruskan ngebleng, tidak makan dan minum plus tidak tidur selama 72 jam. Rasa bosan , capek, ngantuk dan lapar harus ditekan sampai sirna.

Konon seseorang yang sedang menjalani laku penggemblengan akan mengalami perjalanan spiritual yang luar biasa. Di kamar yang gelap ia bisa melihat aneka cahaya silih berganti. Dan kamar itu bau wewangian yang khas, tapi bukan parfum. Ngrowot dan makan siang tukang ojek sholihin, yang korban PHK, sama: umbi-umbian. Namun, karena beda tujuan dan caranya, hasilnya pun jadi lain

INFLASI GELAR

Oleh: Imam Nashirudin

Tampaknya tidak bisa dipungkiri lagi, memasuki alam persaingan bebas, dimana profesionalisme menjadi sebuah kebutuhan, khususnya di lingkungan birokrasi tengah berlangsung pelbagai pergeseran kearah sebuah “komunitas” baru, yang didalamnya peran ilmu pengetahuan (dan tekhnologi tentu saja) semakin menjadi demikian (di)penting(kan). Ini sesuai dengan ramalan lama teoritikus social eropa dan amerika tentang munculnya masyarakat post industrial.

Gelar akademik, bagaimanapun, secara tradisional menunjuk pada puncak-puncak pencapaian proses pendidikan formal seseorang, baik S1, S2 atau S3 sehingga ia dianggap layak, mampu dan pantas untuk menjalankan suatu jabatan ataupun profesi tertentu. Jalan kearah itu tidak mudah, setidaknya kalau dipertimbangkan dengan biaya pendidikan yang kiat meroket. Karena itu pula, secara inheren, gelar kesarjanaan dilahirkan untuk menjadikan seseorang masuk dalam kelompok yang berwibawa. Semakin tinggi atau semakin panjang gelar akademik yang dimiliki oleh seseorang, maka orang tersebut akan semakin terpandang dan berwibawa.

Ketika awal mengambil program S1 di Bulaksumur, Yogyakarta, saya beranggapan bahwa orang yang mempunyai gelar akademik tinggi itu mirip seorang Begawan dalam cerita pewayangan. Seseorang yang gemar “bertapa” dan menjauhi glamour kehidupan dunia. Seseorang yang low living and high thingking . Mereka adalah jiwa-jiwa terpanggil yang selalu asyik masyuk dalam dunianya, untuk selalu mencari gagasan baru, atau menyempurnakan gagasan-gagasan yang pernah ada demi kesejahteraan masyarakat. Namun sekarang, kenyataan yang ada telah bergeser, sekarang seorang biduan pun, yang tidak jelas kapan kuliahnya, juga menyandang gelar Doktor.

Berdasarkan data yang diperoleh dari sebuah survey yang dilakukan oleh Dewan Riset Nasional di Amerika Serikat, dari tangan “orang-orang” bergelar kemudian mengalir deras ribuan judul buku baru dan jutaan gagasan yang saling menantang. Bagaimana disini? khususnya di lingkungan birokrasi kita? Sebagian pemilik gelar, tampaknya belum bisa mengikis sikap malu-malu kaum bumiputra. Mereka malu untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang ilmiah, cerdas, applicable dan masuk akal, persis demikian pemalunya mereka untuk menghasilkan karya yang layak dibaca dan diperdebatkan secara terhormat. Jika banyaknya “orang bergelar” dibandingkan dengan profesionalisme dan upaya-upaya perbaikan untuk mencapai Good Governance, menurut saya, kita telah terlampau kelebihan jumlah “orang bergelar”. Maka seperti uang yang mengerut nilainya dan tertekuk kekuatan daya belinya, ketika jumlahnya melampaui barang yang tersedia. Kalau orang ekonomi, menyebut kondisi seperti itu inflasi, dalam hal ini inflasi gelar. Kondisi kepemilikan gelar di lingkungan birokrasi kita saat ini, memperlihatkan mulai terjadinya hal yang serupa.

Sehubungan dengan adanya fenomena diatas dan karena adanya keinginan kita untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (Good Governance), maka perhatian kita tertuju pada pengelolaan dan pemenuhan pegawai. Secara umum, pada hemat saya, penempatan untuk posisi-posisi strategis masih lebih didominasi oleh struktur birokrasi dan panjangnya gelar yang dimiliki oleh seseorang daripada memikirkan bagaimana memperoleh substansi yang sungguh-sungguh berkualitas. Kalau kita memikirkan hal-hal yang substansial, maka masalah procedur birokrasi hendaknya dijadikan embel-embel saja .
Permasalahan dalam pemenuhan kebutuhan pegawai, “berpendidikan vs berpengalaman”
Pengalaman identik dengan learning by doing, sedangkan pendidikan identik dengan learning by studying. Mempertentangkan kedua hal tersebut dalam pembinaan dan pengembangan pegawai dapat membawa akibat yan tidak diinginkan dan sangat tidak relevan bagi kinerja Direktorat Jenderal Pajak. Apalagi jika tidak disesuaikan dengan kebutuhan , kondisi dan situasi organisasi.
Kedua-duanya sama-sama mengandung unsur bertambahnya ilmu dan sama-sama merupakan proses belajar. Antara pendidikan dan pengalaman sebenarnya dapat menjadi suatu sinergi. Ketajaman orang berpengalaman akan lebih terasah jika dibarengi dengan proses peningkatan diri melalui pendidikan formal. Kepandaian orang yang berpendidikan akan semakin bermanfaat bagi Direktorat Jenderal Pajak jika dibarengi dengan diberikannya pengalaman tentang perpajakan kepada mereka. Pilihan antara yang berpendidikan VS berpengalaman haruslah dikerangkakan dalam pola win-win system dengan mengacu kepada kepentingan dan kinerja Direktorat Jenderal Pajak sebagai target akhir.
Untuk tetap menjaga azas keadilan dan mendapatkan orang yang tepat untuk dikembangkan, maka pemilihan secara transparan dan melalui system yang jelas dan berpola adalah merupakan solusi yang terbaik. Sebagai contoh, untuk dapat menduduki jabatan tertentu, pola pemilihan dan pengangkatan didasarkan atas test yang terstandarisasi dengan persyaratan yang terstandarisasi dan pemilihan berdasarkan yang terbaik dan terukur secara langsung.

Penutup
Tidak ada yang perlu disesali dari berlangsungnya inflasi gelar di lingkungan birokrasi kita. Pertama, sudah lama pada dasarnya kita tidak pernah yakin betul akan adanya korelasi langsung antara kecerdasan, kepandaian, intelektualitas dan kemampuan memimpin dengan gelar akademis yang disandang seseorang. Kedua, apabila tuntutan substansial menghendaki, bahwa seorang pejabat di lingkungan birokrasi harus unggul bukan hanya dibidang keilmuan yang sesuai dengan jenis pekerjaannya, keanekaragaman pekerjaannya, wawasannya dan penguasaannya, namun juga teruji dalam berbagai aspek kejiwaan, maka pelibatan para psikolog dan psikiater tidak dapat ditinggalkan. Tes-tes dan wawancara dilakukan dengan mendalam dan sejarah hidup sang calon juga diperiksa dengan seksama, bukan hanya dibedakan berdasarkan Curriculum vitae semata.

Masih Relevankah Laporan Keuangan Dipakai sebagai Dasar Pengambilan Keputusan?

Penulis: Imam Nashirudin, SE., AK, MM

Abstraksi:
Laporan keuangan yang disusun oleh bagian akuntansi adalah laporan yang berbasis atau didasarkan atas data histories, sehingga laporan yang dibuat adalah laporan-laporan yang mencerminkan kondisi masa lalu. Apakah kondisi masa lalu masih bisa dipakai sebagai dasar yang baik untuk menilai apalagi memproyeksikan kondisi perusahaan dimasa depan?

Pendahuluan
Pembangunan yang dilakukan secara berkesinambungan selama 61 tahun berturut-turut telah mengubah struktur produksi Indonesia dari perekonomian yang berkonsentrasi pada kegiatan primer kepada kegiatan sekunder.
Dari sudut mikro perusahaan, transformasi itu meliputi proses akumulasi, alokasi dan distribusi sumber-sumber ekonomi berpengaruh kepada unit mikro perusahaan atau economics of the firm. Transformasi struktur ekonomi dalam mikro perusahaan berarti adanya unit-unit usaha yang telah berhasil mengakumulasi assets, revenue, struktur penerimaan lainnya dan hubungannya dengan Negara dalam skala yang jauh lebih besar daripada skala yang dikenal pada tahun-tahun sebelumnya.
Untuk mendukung tercapainya sasaran perusahaan dan pembangunan nasional dalam skala yang lebih luas, profesi akuntansi dituntut untuk dapat menyajikan informasi yang lebih relevan dengan pengambilan keputusan. Relevan artinya informasi yang disajikan harus dihubungkan dengan maksud penggunaannya. Bila informasi tidak relevan dengan pengambilan keputusan, informasi tersebut tidak akan ada gunanya betapapun kualitas lain terpenuhi.

Para pemakai laporan keuangan selalu menghadapi berbagai masalah yang harus ditangani. Setiap masalah mempunyai tingkat ketidakpastian tertentu, dan setiap
alternative tindakan memiliki tingkat resiko yang tertentu pula. Supaya masalah yang timbul dapat diselesaikan dengan sebaik munkin, para pemakai laporan keuangan harus mampu menekan tingkat ketidakpastian dan resiko serendah mungkin. Untuk mengurangi ketidakpastian dan resiko, para pemakai laporan keuangan membutuhkan informasi yang berhubungan dengan masalah yang bersangkutan. Para pemakai laporan keuangan meliputi manajemen, investor, kreditor jangka panjang, pemerintah dan secara teoritik karyawan, supplier, masyarakat yang dalam realitanya tidak bisa memanfaatkan laporan keuangan tersebut secara langsung (di Indonesia).

Manajemen sebagai pemakai utama laporan keuangan membutuhkan informasi tersebut untuk mengetahui kemampuan mereka dalam mengelola perusahaan. Investor membutuhkan informasi mengenai deviden yang akan dibayarkan, juga prospek perusahaan dimasa depan. Kreditur jangka panjang membutuhkan informasi untuk mengetahui apakah pembayaran bunga oleh perusahaan dapat mereka terima tepat waktu, juga untuk mengetahui keamanan kredit yang mereka berikan. Pemerintah memerlukan informasi tersebut untuk kepentingan perpajakan dan perencanaan ekonomi.

Para pemakai laporan keuangan tidak dapat menghindari untuk mengambil keputusan, meskipun keputusan itu adalah keputusan untuk tidak melakukan apapun. Mereka harus mengambil tindakan atau memilih suatu alternative untuk mencapai sasaran mereka. Tanpa saran dan data yang jelas mengenai sasaran tersebut, keputusan yang diambil akan sia-sia. Keputusan yang baik akan mencakup 2 sasaran secara bersamaan, yaitu efisiensi dan efektivitas. Efisiensi adalah penggunaan sumberdaya dalam jumlah minimum yang diperlukan untuk mencapai sasaran. Efektivitas dilain pihak, menekankan pada hasil khususnya tingkat pencapaian tujuan dari pemakaian sumber-sumber.
Sasaran pelaporan keuangan dari suatu Negara dapat berubah-ubah karena dipengaruhi oleh perubahan lingkunan ekonomi, hukum, politik dan social yakni lingkungan dimana terjadinya pelaporan keuangan. Berikut ini adalah beberapa tujuan pembuatan laporan keuangan, yang bisa dipakai sebagai pedoman dan pembanding.

1. Memberikan informasi keuangan yang dapat dipercaya dan bermanfaat bagi investor dan kreditor untuk dasar pengambilan keputusan investasi dan pemberian kredit.
2. Memberikan informasi posisi keuangan perusahaan dengan menunjukkan sumber-sumber ekonomi perusahaan serta asal kekayaan tersebut.
3. Memberikan informasi keuangan yang dapat menunjukkan prestasi perusahaan dalam menghasilkan laba.
4. Memberikan informasi keuangan yang dapat menunjukkan kemampuan perusahaan dalam melunasi utang-utangnya.
5. Memberikan informasi keuangan yang dapat menunjukkan sumber-sumber pembiayaan perusahaan.
6. Memberikan informasi yang dapat membantu para pemakai dalam meramalkan aliran kas masuk perusahan.
Faktor lingkungan yang dipertimbangkan adalah:
• Sistem perekonomian yang maju
• Sistem perbankan yang canggih
• Sistem peradilan yang kuat dan mantap
• Pasar modal sebagai sumber utama pendanaan perusahaan
• Pengakuan hak milik individual
• Perseroan terbuka sebagai bentuk perusahaan yang umum
• Penekanan penilaian prestasi individual
• Pemisahan pemilik dan manajemen secara tegas
• Proses pengambilan keputusan rasional
• System birokrasi yang sudah mantap
Pergeseran Kepentingan Penggunaan Laporan Keuangan
Pada awal perkembangan akuntansi di Indonesia, laporan keuangan digunakan sebagai bahan pertanggungjawaban manajemen atas hasil operasi yang telah dilakukannya selama satu periode akuntansi. Para pemakai laporan keuangan yang terdiri dari manajemen, investor, kreditor jangka panjang, pemerintah, karyawan, supplier, konsumen dan masyarakat umum hanya mendapatkan laporan yang berisi pertanggung
jawaban terhadap pengelolaan resources. Mereka cukup puas dengan laporan itu dan juga menggunakan laporan tersebut untuk untuk memprediksi keadaan dimasa datang.
Pergeseran waktu telah mengubah pola pikir dan perilaku pemakai laporan keuangan. Para pemakai laporan keuangan tidak lagi percaya dengan laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen untuk menggambarkan kondisi perusahaan dimasa datang. Hal ini bukan karena laporan keuangan tersebut tidak reliable, tetapi karena laporan tersebut mengandung cacat/kelemahan yang cukup berarti. Para pemakai laporan keuangan tidak hanya sekedar ingin mengetahui kemampuan perusahaan dalam pengelolaan resources pada masa lalu, tetapi juga ingin mengetahui keadaan dan kemampuan perusahaan dimasa sekarang dan masa yang akan datang. Para pemakai laporan keuangan sekarang lebih kritis dan sudah menyadari bahwa penggunaan laporan keuangan sebagai dasar pengambilan keputusan mempunyai bias yang sangat besar. Karena laporan keuangan disusun menggunakan data historis. Sehingga angka-angka yang ada dalam neraca, laporan rugi laba, laporan perubahan posisi keuangan dan catatan atas laporan keuangan merupakan informasi masa lalu, informasi yang menggambarkan kondisi perusahaan pada periode sebelumnya.
Keadaan perusahaan pada masa lalu terbukti tidak bisa dipakai sebagai pedoman yang baik untuk memproyeksikan keadaan perusahan dimasa yang akan datang. Perusahan yang mempunyai kemampuan besar dan mampu mendapatkan laba besar pada masa lalu tidak menjamin bahwa perusahaan tersebut juga mempunyai kemampuan yang sama dimasa depan. Begitu sebaliknya, perusahan yang merugi diwaktu lalu, tidak bisa diartikan perusahaan tersebut tidak profitable dimasa depan.
Pengaruh Inflasi dalam Pengukuran
Inflasi yang timbul di suatu Negara akan membawa dampak terhadap perubahan harga suatu barang dari waktu ke waktu. Perubahan tingkat harga (naik) sebagai akibat inflasi akan sangat berpengaruh terhadap laporan keuangan yang disusun. Selanjutnya akan mempengaruhi perilaku pemakai laporan keuangan, khususnya jika laporan keuangan tersebut akan dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan.
Secara garis besar penyebab inflasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu cost push inflation dan demand pull inflation. Cost push inflation disebabkan oleh meningkatnya harga-harga factor produksi. Cost push inflation di Indonesia biasanya terlihat jelas sesudah adanya devaluasi, karena kebanyakan bahan baku di Indonesia masih import. Demand pull inflation terjadi karena peredaran uang yang relative lebih banyak dibanding barang atau jasa yang ditawarkan.
Perubahan tingkat harga sebagai dampak dari inflasi sangat mempengaruhi stabilitas satuan keuangan. Hal ini selanjutnya akan menimbulkan kesulitan apabila pengukuran didasarkan pada historical cost, dan apabila kita akan membandingkan prestasi perusahaan selama beberapa tahun. Karena pengukuran dalam akuntansi terutama dilakukan dalam satuan keuangan (monetary unit).
Sebagai contoh, suatu asset dalam tahun 1996 dibeli dengan harga Rp 500 juta kemudian dalam tahun 1998 dibeli lagi asset yang sama dengan harga Rp 950 juta. Dalam neraca atau buku besar, asset ini berjumlah Rp 1, 450 milyard (Rp 500 juta + Rp 950 juta). Padahal Rp 500 juta tahun 1996 dan Rp 950 juta tahun 1998 masing-masing mampu membeli 1 (satu) unit asset yang sama. Jadi Rp 500 juta tahun 1996 mempunyai daya beli (purchasing power) yang sama dengan Rp 950 juta pada tahun 1998. Oleh karena itu, penjumlahan angka sejumlah Rp 1,450 juta sebenarnya tidak logis. Hal ini sama sebenarnya sama dengan menambahkan 1000 Km dengan 621 mil (yang sama dengan 1000 Km). Apakah hasilnya akan 1621 mil atau 1621 Km? Tentu saja tidak, karena angka penjumlahan tersebut diatas (Rp 1, 450 milyard), merupakan penjumlahan dari angka-angka yang tidak mempunyai skala ukuran yang sama.
Laporan Keuangan Alternatif
Laporan keuangan alternative ini mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu fungsi accountability dan decision usefulness. Untuk kepentingan accountability atau pertanggungjawaban, laporan ini disusun dengan menggunakan data historis, dan untuk kepentingan decision usefulness, laporan keuangan didasarkan atas data current value dan future value. Kedua dasar tersebut mempunyai kelemahan dan kelebihan masing-masing. Karena data historis merupakan data yang paling obyektif (karena menggunakan
data yang telah benar-benar terjadi), maka dasar ini dipakai sebagai dasar untuk pembuatan laporan keuangan utama. Current value dan future value dipakai sebagai dasar untuk pembuatan laporan keuangan pelengkap (supplementary report).
Keuntungan penggunaan laporan keuangan alternative ini, adalah:
1. Laporan keuangan ini tidak hanya berfungsi sebagai alat pertanggungjawaban manajemen kepada pemilik dan pemakai laporan keuangan lainnya, tetapi juga memberikan informasi harga dimasa depan untuk barang dan jasa yang diperoleh perusahaan. Oleh karena itu, laporan keuangan alternative ini, juga memberikan dasar untuk kepentingan pengambilan keputusan. Laporan keuangan ini sekaligus memberikan informasi yang konsisten dengan tindakan dan prestasi manajemen.
2. Memberikan informasi yang dapat menunjukkan laba operasi dan untung fluktuasi harga sehingga dapat memberikan informasi tentang pengaruh perubahan harga terhadap profitabilitas perusahaan. Laporan ini lebih realistic untuk mengambarkan prestasi manajemen.
3. Laporan model ini lebih lengkap, karena tidak hanya memuat neraca berbasiskan data historis, tetapi juga neraca yang menggunakan data berbasis current value dan future value. Hal ini lebih realistic untuk menggambarkan kondisi perusahaan dimasa sekarang.
4. Laporan keuangan model ini dapat memberikan informasi mengenai efisiensi suatu perusahaan yang lebih baik sebagai dasar penentu hubungan pemakai laporan keuangan dengan perusahaan. Laporan ini dapat dipakai unuk memperbandingkan suatu perusahaan dengan perusahaan lain dengan lebih baik.
5. Laporan ini memberikan informasi capital perusahaan dan asset-asset yang lain dengan lebih realistic, sehingga lebih mudah dipakai untuk dasar monitor dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan.
Penutup
Dengan adanya perubahan structural dalam bidang ekonomi, social, hukum dan politik, pada saat ini sudah saatnya tujuan akuntansi keuangan di Indonesia diperluas, tidak hanya untuk kepentingan accountability saja, tetapi sekaligus untuk kepentingan pengambilan keputusan.
Begitu pula untuk kepentingan Ditjend Pajak dalam rangka menggambarkan kemampuan sesungguhnya dari wajib pajak. Penggunaan informasi ini lebih realistic untuk DJP saat menentukan potensi potensi pajak.
Laporan keuangan alternative ini memang masih harus dikaji dengan lebih cermat untuk kepraktisan dan kemudahan dalam penerapannya, karena adanya beberapa kesulitan terutama masalah guidance yang akan dipakai sebagai dasar pembuatan laporan keuangan berbasis current value dan future value. Tetapi dengan perkembangan tehnologi yang sudah sangat pesat, terutama tekhnologi komputer, saya yakin kesulitan-kesulitan itu bisa diatasi dengan baik. Sebagai bahan pembanding, beberapa perusahaan di United States, United Kingdom, Australia dan New Zealand menyertakan equity accounting dalam laporan keuangan sebagai supplementary report.